Rabu, 18 April 2012

Suara yang Paling Indah

Alkisah, seorang tua yang tidak berpendidikan tengah mengunjungi sebuah kota besar untuk pertama kali dalam hidupnya. Dia dibesarkan di sebuah dusun di pegunungan yang terpencil, bekerja keras membesarkan anak-anaknya, dan kini sedang menikmati kunjungan perdananya ke rumah anak-anak yang modern.

Suatu hari, saat berkeliling kota orang tua itu mendengar suara yang menyakitkan telinga. Belum pernah dia mendengar suara yang begitu tidak enak didengar semacam itu di dusunnya yang sunyi. Dia bersikeras mencari sumber bunyi itu. Suara sumbang tersebut kemudian menuntunnya ke sebuah ruangan di belakang sebuah rumah. Seorang anak nampak sedang belajar bermain biola.

"Ngiiik, ngooook!" berasal dari frekuensi senar biola yang tak tergesek sempurna tersebut.

Saat ia mengetahui bahwa itulah yang dinamakan "biola", dia memutuskan untuk tidak pernah mau lagi mendengar suara yang mengerikan tersebut.

Hari berikutnya di bagian lain kota, orang tua ini mendengar sebuah suara yang seolah membelai-belai telinga tuanya. Belum pernah sekalipun gendang telinganya dimanjakan getaran melodi seindah itu di lembah gunungnya. Dia pun mencari sumber suara tersebut. Ketika sampai di sumbernya, dia tiba di ruangan depan sebuah rumah. Nampak jelas di bola matanya seorang wanita tua, Sang Maestro, sedang memainkan sonata dengan biolanya.

Seketika, si orang tua ini menyadari kekeliruannya. Suara tidak mengenakkan kemarin bukanlah kesalahan biola, bukan pula salah Sang Anak. Itu hanyalah proses belajar seorang anak yang belum sempurna memainkan biolanya.

Dengan kebijaksanaan polosnya sang tua berfikir bahwa memainkan biola itu sama dengan agama. Saat kita bertemu dengan seorang yang menggebu-gebu terhadap kepercayaannya, tidaklah benar menyalahkan agamanya. Itu hanyalah proses belajar pemula yang belum bisa "memainkan agamanya" dengan baik. Tatkala kita bertemu dengan seorang yang bijak, seorang maestro agamanya, itu merupakan pertemuan yang indah yang menginspirasi kita selama bertahun-tahun. Aapapun agama mereka.

Namun, ini bukanlah akhir sebuah cerita............

Hari ketiga, di bagian kota lain si orang tua mendengar suara lain yang bahkan melebihi kemerduan dan kejernihan suara sang maestro biola. Menurut Anda suara apakah itu??

Melebihi indahnya suara aliran air pegunungan di musim semi, melebihi tentramnya suara angin di musim gugur di sebuah hutan, melebihi merdunya nyanyian burung-burung yang berkicau setelah hujan lebat. Bahkan melebihi keindahan hening pegunungan sunyi di suatu malam musim salju. Suara apakah gerangan yang telah menggerakkan hati orang tua beruntung itu?

itulah suara sebuah orkestra besar yang memainkan sebuah simfoni.

Bagi si orang tua, alasan mengapa itulah suara terindah di dunia adalah, pertama, setiap anggota orkestra merupakan maestro alat musiknya masing-masing; dan kedua, mereka telah belajar lebih jauh lagi untuk bisa bersama-sama dalam sebuah harmoni.

"Mungkin ini sama dengan agama," pikir si orang tua. "Marilah kita semua mempelajari hakikat kelembutan agama kita melalui pelajaran-pelajaran kehidupan. Marilah kita menjadi maestro cinta kasih di dalam agama masing-masing. Lalu setelah mempelajari agama kita dengan baik, lebih jauh lagi, mari kita belajar untuk bermain, seperti halnya para anggota sebuah orkestra, bersama-sama dengan penganut agama lain dalam sebuah harmoni!!"

Itulah suara yang paling indah..........^_^


~Diambil dari kisah inspiratif Ajahn Brahm~
lintasberita
3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar