Oleh: Lutfi Kusuma Dewi
A.
Pendahuluan
Telah banyak
tantangan yang muncul di tengah-tengah kekeliruan manusia sepanjang sejarah,
tetapi barangkali tidak ada yang lebih serius dan lebih merusak terhadap
manusia daripada tantangan yang di bawa
oleh peradaban Barat saat ini. Seorang pemikir Islam abad ini, Syed Muhammad
Naquib al-Attas berani mengatakan bahwa “tantangan terbesar yang muncul secara
diam-diam di zaman kita adalah tantangan ilmu, sesungguhnya bukan sebagai lawan
kejahilan, tetapi ilmu yang difahami dan disebarkan ke seluruh dunia oleh
peradaban Barat.
Hakikat ilmu telah menjadi bermasalah karena ia telah
kehilangan tujuan hakikinya akibat dari pemahaman yang tidak adil. Ilmu yang
seharusnya menciptakan keadilan dan perdamaian, justru membawa kekacauan dalam
kehidupan manusia bahkan ilmu yang terkesan nyata justru menghasilkan
kekeliruan. Ilmu yang di sajikan dan disampaikan dengan topeng dilebur secara
halus bersama-sama dengan ilmu yang benar sehingga orang lain tanpa sadar
menganggap secara keseluruhannya merupakan ilmu yang sebenarnya. Watak,
kepribadian, esensi, dan ruh peradaban Barat seperti apakah yang telah mengubah
dirinya sendiri serta dunia ini dan membawa semua yang menerima tafsiran ilmu
itu ke dalam suatu kekacauan yang menuju kepada kehancuran ?
‘Peradaban Barat’ yang Al- Attas maksudkan adalah peradaban yang berkembang dari pencampuran historis berbagai kebudayaan, filsafat, nilai dan aspirasi Yunani dan Romawi kuno, penyatuannya dengan ajaran Yahudi dan Kristen dan perkembangan serta pembentukan lebih jauh yang dilakukan oleh orang-orang Latin, Germanik, Celtik, dan Nordik. Dari Yunani kuno diserap unsur-unsur filosofis, epistemologis, dasar-dasar pendidikan, etika, dan estetika. Dari Romawi diserap unsur- unsur hukum, ketatanegaraan, dan pemerintahan. Dari ajaran Yahudi dan Kristen diserap unsur-unsur keyakinan beragama. Dan dari orang-orang Latin, Germanik, Celtik, dan Nordik kemerdekaan, semangat kebangsaan dan nilai-nilai tradisi mereka, serta pengembangan ilmu sains (fisika) dan teknologi.
Dengan kekuatan ini, bersama bangsa Slavia, mereka telah mendorong peradaban ini ke puncak kekuasaan. Islam juga telah memberikan banyak sumbangan yang penting kepada peradaban Barat di dalam bidang ilmu dan di dalam menanamkan semangat rasional dan sains. Tetapi ilmu serta semangat rasional dan sains itu telah di susun kembali dan ditata ulang untuk di sesuaikan dengan acuan kebudayaan Barat, sehingga melebur dan menyatu dengan unsur-unsur yang lain yang membentuk watak serta kepribadian peradaban Barat.
‘Peradaban Barat’ yang Al- Attas maksudkan adalah peradaban yang berkembang dari pencampuran historis berbagai kebudayaan, filsafat, nilai dan aspirasi Yunani dan Romawi kuno, penyatuannya dengan ajaran Yahudi dan Kristen dan perkembangan serta pembentukan lebih jauh yang dilakukan oleh orang-orang Latin, Germanik, Celtik, dan Nordik. Dari Yunani kuno diserap unsur-unsur filosofis, epistemologis, dasar-dasar pendidikan, etika, dan estetika. Dari Romawi diserap unsur- unsur hukum, ketatanegaraan, dan pemerintahan. Dari ajaran Yahudi dan Kristen diserap unsur-unsur keyakinan beragama. Dan dari orang-orang Latin, Germanik, Celtik, dan Nordik kemerdekaan, semangat kebangsaan dan nilai-nilai tradisi mereka, serta pengembangan ilmu sains (fisika) dan teknologi.
Dengan kekuatan ini, bersama bangsa Slavia, mereka telah mendorong peradaban ini ke puncak kekuasaan. Islam juga telah memberikan banyak sumbangan yang penting kepada peradaban Barat di dalam bidang ilmu dan di dalam menanamkan semangat rasional dan sains. Tetapi ilmu serta semangat rasional dan sains itu telah di susun kembali dan ditata ulang untuk di sesuaikan dengan acuan kebudayaan Barat, sehingga melebur dan menyatu dengan unsur-unsur yang lain yang membentuk watak serta kepribadian peradaban Barat.
B.
Hakikat Manusia
Manusia
memiliki hakikat ganda atau dwi hakikat (dual nature), ia adalah jiwa
dan raga, ia adalah suatu diri jasmani dan ruh sekaligus yang tertera dalam QS.
Al-Hijr: 29 dan QS. Al-Mu’minun: 12-14. Allah SWT mengajarkan nama-nama (al-asma’)
tentang segala sesuatu (QS. Al-Baqarah : 31). Dengan ‘nama-nama itu’
dapat disimpulkan bahwa yang di maksud adalah ilmu (al-‘ilm) tentang
segala sesuatu (al-ashya’).
Tempat ilmu
ini, baik al’ilm maupun ma’rifah, ada pada jiwa manusia (al-nafs),
hatinya (al-qalb), dan akalnya (al-‘aql). Oleh karena manusia
mengetahui (‘arafa) Allah dengan mentauhidkannya sebagai tuhan sejati,
maka ilmu tersebut serta realitas keadaan yang terkait dengannya mempunyai
kesan mengikat manusia dalam suatu perjanjian yang menentukan dalam hidup,
perilaku, dan perbuatannya dalam hubungan antara dirinya dengan Allah SWT(QS.
Al-a’raf: 172). ‘Keterikatan’ dan ‘penentuan’ manusia dengan Tuhannya dalam
suatu perjanjian ini dalam hal tujuan hidup, perilaku dan perbuatannya ini pada
dasarnya merupakan keterikatan dan penentuan dalam bentuk agama (din)
dan penyerahan diri (aslama) yang sejati. Maka, din dan aslama
kedua-duanya berkait erat dalam hakikat manusia (fitrah). Tujuan sejati
manusia adalah untuk menjalankan ‘ibadah kepada Allah (QS.
Az-Zariyat: 56), dan kewajibannya adalah taat (ta’ah) kepada Allah SWT
sesuai dengan hakikat dasar (fitrah) yang telah di ciptakan Allah
baginya(QS. Ar-rum: 30). Tetapi di samping itu manusia juga “bersifat
alpa atau lupa (nisyan)”. Manusia disebut insan adalah karena
setelah bersaksi akan kebenaran perjanjian yang menuntutnya untuk mematuhi
perintah dan larangan Allah, ia alpa (nasiya) memenuhi kewajiban dan tujuan
hidupnya itu (di riwayatkan dari Ibnu ‘Abbas), “Sesungguhnya manusia disebut
insan karena setelah berjanji dengan-Nya, ia lupa (nasiya)”, dengan merujuk
kepada (QS. Ta Ha: 115). Sifat alpa ini merupakan penyebab keingkaran manusia,
dan sifat tercela ini mengerahkannya kepada ketidakadilan(zulm) dan
kejahilan (jahl)(QS. Al-Ahzab:72). Namun demikian, Allah SWT telah
melengkapinya dengan daya pandangan dan kefahaman yang benar dan kecenderungan
menikmati kebenaran sejati serta percakapannya dan komunikasi yang benar.
Selain itu
Allah SWT telah melengkapinya dengan kecerdasan untuk membedakan yang benar
dari yang salah, atau kebenaran dari kepalsuan. Meskipun kecerdasan itu mungkin
membingungkannya, asalkan ia jujur dan setia terhadap hakikat dirinya yang
benar, maka Allah dengan segala karunia, belas kasih dan rahmatNya, jika Ia
menghendaki akan memberikan petunjukNya(huda) untuk membantunya
memperoleh kebenaran dan perilaku yang benar.
Untuk
menyimpulkan semua penjelasan di atas, maka dapat kita katakan sekarang bahwa
manusia secara keseluruhan adalah tempat(makan atau mahall) bagi kemunculan din
dan oleh karena itu ia seperti sebuah kota. Sejatinya seorang manusia tak
ubahnya dengan seorang penghuni kota di dalam dirinya, penduduknya dari
kerajaan dari miniaturnya sendiri.
C.
Hakikat Ilmu
Secara umum
dapat difahami bahwa ilmu tidak memerlukan pendefinisian(hadd). Makna yang terkandung dalam istilah ‘ilm
secara alami dapat langsung dimengerti manusia berdasarkan pengetahuannya
tentang ilmu. Karena ilmu adalah salah satu sifat yang paling penting baginya.
Apa arti ilmu telah jelas baginya sehingga tidak diperlukan penjelasan yang
menerangkan sifat khususnya. Telah diterima bahwa ilmu dapat diklasifikasikan
ke dalam unsur-unsur yang utama, sehingga dasar pengklasifikasian, selama yang
berhubungan dengan manusia itu dapat bermanfaat. Semua ilmu datang dari Allah
SWT. Untuk tujuan pengklasifikasian yang sesuai dengan tindakan kita, kita
katakan bahwa dengan cara yang sama sebagaimana manusia yang terdiri dari dwi
hakikat yang memiliki dua jiwa, demikian pula ilmu terbagi kepada dua jenis,
yang satu adalah hidangan dan kehidupan bagi jiwanya, dan yang lain adalah
bekalan untuk melengkapkan diri manusia di dunia untuk mengejar tujuan- tujuan
pragmatisnya.
Ilmu jenis
pertama diberikan oleh Allah melalui wahyuNya kepada manusia, dan ini merujuk
kepada Kitab Suci al-Qur’an. Al-Qur’an adalah wahyu yang lengkap dan terakhir,
sehingga ia sudah mencakupi sebagai bimbingan dn keselamatan manusia, dan tidak
ada ilmu selainnya, kecuali yang didasarkan atasnya dan yang merujuk kepadanya,
yang dapat membimbing dan menyelamatkan manusia.
Di sini kita
akan membicarakan ilmu pada tingkat ihsan, yaitu ketika ibadah telah
tercapai, atau dengan kata lain serupa dengan ma’rifah. Karena ilmu tersebut
pada akhirnya bergantung kepada Rahmat Allah sebagai prasyarat memperolehnya,
maka dapatlah disimpulkan bahwa untuk mendapatkan ilmu tersebut ilmu tentang
dasar-dasar Islam (islam-iman-ihsan), prinsip-prinsipnya(arkan),
arti dan maksudnya, serta pemahaman dan pelaksanaannya yang benar dalam
kehidupan dan amalan sehari-hari. Setiap Muslim harus mempunyai ilmu tentang
persyarat itu, harus mengerti dasar-dasar islam dan Keesaan Allah, Esensi-Nya,
dan sifat-sifat-Nya(tauhid), harus mempunyai ilmu tentang Al-Qur’an.
Nabi SAW, sunnah dan kehidupannya, serta mengamalkan ilmu itu yang didasarkan
pada amal dan pengabdian pada Allah sehingga setiap Muslim sudah berada dalam
peringkat awal ilmu tingkat pertama tersebut, bahwa ia sudah siap sedia di atas
jalan lurus yang akan membimbingnya menuju Allah. Pencapaiannya dalam mengejar kebaikan
tertinggi(ihsan) akan bergantung kepada ilmunya sendiri, kemampuan,
kekuatan perenungan, pencapaian serta keikhlasan.
Jenis ilmu
yang kedua merujuk kepada ilmu-ilmu sains (‘ulum) yang diperoleh melalui
pengalaman, pengamatan, dan penelitian. Ilmu jenis pertama diberikan oleh Allah
kepada manusia melalui pengungkapan langsung, sedangkan yang kedua melalui
usaha penyelidikan rasional dan didasarkan atas pengalamannya tentang segala
sesuatu yang dapat di tangkap pancaindra dan difahami oleh akal. Yang pertama
merujuk kepada ilmu tentang kebenaran objektif yang diperlukan untuk membimbing manusia,
sedangkan yang kedua merujuk kepada ilmu mengenai data yang dapat di tangkap
oleh pancaindra dan difahami akal yang dipelajari untuk kegunaan dan pemahaman
kita.
Dari sudut
pandang manusia, dua jenis ilmu itu harus di peroleh melalui perbuatan secara
sadar(‘amal), karena tidak ada ilmu yang berguna tanpa amal yang lahir dari
ilmu tersebut, dan tidak ada amal yang bermakna tanpa ilmu. Ilmu yang jenis
pertama menyingkap misteri wujud dan eksistensi dan mengungkapkan hubungan
sejati antara diri manusia dan Tuhannya, dan oleh karena bagi manusia ilmu
tersebut terkait dengan tujuan utama manusia untuk mengetahui, maka dapat
disimpulkan bahwa ilmu mengenai prasyarat ilmu tersebut menjadi dasar dan asas
utama untuk ilmu jenis kedua, karena ilmu yang kedua itu sendiri, tanpa
bimbingan ilmu yang pertama, tidak akan dapat menuntun manusia degan benar di
dalam kehidupannya dan hanya akan membingungkan, mengelirukan, dan menjerat
manusia ke dalam kancah pencarian yang tanpa akhir dan tujuan.
Kita juga
melihat bahwa ada batas bagi manusia terhadap ilmu jenis pertama dan tertinggi
itu, sementara tidak ada batas bagi ilmu jenis kedua, sehingga selalu wujud kemungkinan
pengembaraan tanpa henti yang didorong akibat penipuan intelektual dan khayalan
diri di dalam keraguan dan keingintahuan yang berterusan.
Pembagian
kewajiban mencari ilmu ke dalam dua kategori ini merupakan suatu cara
menerapkan keadilan terhadap ilmu dan bagi orang yang mempelajarinya, karena semua
ilmu tentang prasyarat ilmu jenis pertama adalah baik untuk manusia, sedangkan tidak
semua ilmu jenis kedua baik untuknya. Ini karena orang yang mempelajari
ilmu jenis kedua ini, yang dapat membawa pengaruh yang cukup besar dalam
peranan dan kedudukan sekularnya sebagai warga negara, belum tentu merupakan
seorang manusia yang baik. Konsep ‘manusia yang baik’ dalam Islam tidak
hanya bermaksud ‘baik’ dalam pengertian social seperti difahami orang pada
umumnya, tetapi ia juga mesti pertama-tama baik terhadap dirinya, tidak berlaku
zalim(tidak adil) terhadap dirinya sebagaimana yang telah diterangkan.
Sekiranya ia
tidak dapat adil terhadap dirinya, bagaimana ia dapat benar-benar adil terhadap
orang lain?
Jadi kita melihat bahwa dalam islam:
(a) ilmu merangkumi iman dan kepercayaan serta (b) tujuan menuntut ilmu adalah
penanaman kebaikan atau keadilan dalam diri manusia sebagai manusia dan diri
pribadi, dan bukannya sekadar manusia sebagai warga negara atau bagian yang tak
terpisahkan dari masyarakat. Inilah nilai manusia sebagai manusia sejati,
sebagai penduduk dalam kota dirinya (self’s city), sebagai warga negara dalam
kerajaan mikrokosmiknya sendiri, sebagai ruh. Inilah yang perlu ditekankan,
manusia bukan sekedar suatu diri jasmani yang nilainya di ukur dalam pengertian
pragmatis yang melihat kegunaannya bagi Negara, masyarakat, dan dunia.
Sebagai
landasan dan filosofis bagi tujuan dan maksud pendidikan, dan bagi pembinaan
suatu ilmu teras yang terpadu dalam system pendidikan, Al-Attas merasakan
penting untuk mengumpulkan kembali sifat utama pandangan islam tentang
realitas. Melihat bahwa pandangan Islam terhadap realitas itu terpusat pada
wujud, maka dari itu dengan cara yang sama wujud dalam islam dilihat dari suatu
hierarki dari yang tertinggi hingga yang terendah. Dalam konteks ini terlihat
juga hubungan antara manusia dan alam semesta, kedudukannya dalam urutan wujud
dan gambaran analogisnya sebagai suatu mikrokosmos yang mencerminkan suatu
makrokosmos dan bukan sebaliknya. Ilmu juga di susun secara hirarki, dan tugas
kita pada masa ini adalah untuk merombak system pendidikan yang kita ketahui
dan dalam beberapa hal mengubahnya, sehingga ia mencerminkan aturan disiplin di
dalam system Islam.
D.
Definisi dan Tujuan Pendidikan
Keadilan
sebagai suatu keadaan yang harmoni atau keadaan dimana segala sesuatu berada
pada tempatnya yang benar dan tepat, situasinya dalam hubungan dengan yang lain
dan keadaannya dalam hubungan dengan diri sendiri. Kemudian disebutkan bahwa
ilmu tentang ‘tempat yang benar’ bagi suatu benda atau suatu wujud adalah suatu
kebijaksanaan. Kebijaksanaan adalah ilmu yang diberikan oleh Allah untuk
memungkinkan orang yang berilmu tersebut berada padanya untuk mengamalkannya
sehingga ia (pengamalan dan keputusan) menyebabkan lahirnya keadilan. Dengan
demikian keadilan adalah keadaan eksistensial dari kebijaksanaan yang terjelma
di dalam hal-hal yang diserap oleh pancaindra dan difahami akal serta didalam
alam spiritual yang berkaitan dengan jiwa manusia. Penjelmaan luaran keadilan
didalam kehidupan dan masyarakat itu tidak lain daripada hadirnya adab di dalam
kehidupan masyarakat. Pengertian adab pada asalnya adalah undangan kepada suatu
jamuan. Konsep jamuan ini membawa makna bahwa tuan rumah adalah seorang yang
mulia dan terhormat, dan ramai orang yang hadir, sedangkan para hadirin adalah
mereka yang dalam penilaian tuan rumah patut mendapat penghormatan atas
undangan itu. Oleh karena itu mereka adalah orang budiman dan terhormat yang
diharapkan berperilaku sesuai dengan kedudukan mereka, dalam percakapan,
tingkah laku dan etika yang penuh dengan kesopanan. Demikian pula halnya ilmu
harus di sanjung dan dinikmati serta di dekati dengan cara yang sama sesuai
dengan ketinggian yang dimilikinya. Dan inilah sebabnya Al-Attas mengatakan
bahwa analogi ilmu adalah hidangan dan kehidupan bagi jiwa itu.
Berdasarkan pengertian ini maka adab juga berarti mendisiplinkan
fikiran dan jiwa. Ia merupakan perolehan sifat-sifat dan ciri-ciri
yang baik bagi fikiran dan jiwa. Ia juga pelaksanaan
perbuatan benar dan tepat
sebagai lawan dari perbuatan yang salah dan keliru sehingga menjadi benteng yang melindungi dari keaiban. Analogi dari undangan ke suatu jamuan untuk ikut menikmati makanan yang lezat, dan
kepada ilmu untuk menjadi hidangan bagi akal dan jiwa, dinyatakan secara jelas
dan mendalam dalam suatu hadits yang diriwayatkan oleh Ibn Mas’ud ra.
اِنَّ هَذَا القُرْانُ مَأْدَبَةٌ اللَّهِ فِيْ اْلاَرْضِ فَتَعَلَّمُوْا
مِن مَأَدَّبَتِهِ
“Sesungguhnya Kitab Suci Al-Qur’an ini
adalah jamuan Allah di bumi, maka belajarlah dengan sepenuhnya dari Jamuan-Nya”
Maka kitab
suci Al-Qur’an adalah undangan Allah ke suatu jamuan spiritual di bumi dan kita
di nasihati untuk ikut mengambil bagian dengan cara mengambil ilmu sejati
darinya. Pada akhirnya ilmu yang benar itu adalah ’mengecap rasanya yang
sejati’, dan itulah sebabnya di katakan sebelum ini, dengan merujuk kepada
unsur-unsur utama ilmu jenis pertama, bahwa manusia menerima ilmu dan
kebijaksanaan spiritual dari Allah melalui ilham secara langsung. Pengalaman
tersebut hampir secara serentak menyingkapkan realitas dan kebenaran sesuatu kepada
penglihatan spiritualnya. Seseorang yang di dalam dirinya tersimpan adab
mencerminkan kebijaksanaan, dan dalam kaitannya dengan masyarakat adab
merupakan pengaturan susunan yang adil di dalamnya. Maka adab adalah
persembahan keadilan sebagaimana di cerminkan oleh kebijaksanaan, dan ia adalah
pengakuan terhadap berbagai hirarki dalam susunan wujud, eksistensi, ilmu, dan
perbuatan yang sesuai dengan pengakuan itu. Sehingga tujuan mencari ilmu dalam
islam adalah untuk menanamkan kebaikan atau keadilan pada manusia sebagai
manusia dan diri pribadi. Oleh karena itu tujuan pendidikan dalam islam adalah
untuk melahirkan manusia yang baik. Apa yang dimaksudkan dengan ‘baik’ dalam
konsep kita tentang ‘manusia baik’ ? Unsur asasi yang terkandung dalam konsep
pendidikan islam adalah penanaman adab, karena adab dalam pengertian yang luas
meliputi kehidupan spiritual dan material manusia yang menumbuhkan sifat
kebaikan yang dicarinya. Pendidikan adalah tepat seperti yang dimaksudkan oleh
Rasulullah SAW dalam sabdanya:
اَدَبَنِيْ رَبِّيْ فَأَحْسَنَ تَأْدِيْبِيْ
“Tuhanku telah mendidik (addaba) aku,
dan menjadikan pendidikanku (ta’dib) yang terbaik.”
Pendidikan adalah menyerapkan dan
menanamkan adab pada manusia dan ia adalah ta’dib. Jadi adab
adalah apa yang mesti ada pada manusia jika ia ingin mengurus dirinya dengan
cemerlang dan baik dalam kehidupan ini dan hari akhirat.
E.
Sistem Aturan dan Disiplin Islam
Sebelum ini
kita telah menyebut suatu sistem aturan dan disiplin dalam islam. Islam adalah
contoh terbaik dari aturan dan disiplin kosmos Illahi, dan orang yang sadar
akan takdirnya dalam islam mengetahui bahwa dengan pengertian yang sama ia juga
suatu aturan dan disiplin. Ia sendiri bagaikan sebuah kota, sebuah kerajaan
dalam bentuk miniatur, karena di dalam dirinya seperti juga di dalam seluruh
umat manusia. Manusia tahu bahwa dirinya mengetahui, dan pengalaman dari
pengetahuannya seperti itu memberitahu dirinya bahwa ia adalah wujud dan
eksistensi sekaligus, suatu kesatuan tetapi juga keberagaman, ia senantiasa
wujud tetapi pada saat yang sama bersifat fana, pada suatu sisi ia tetap tetapi
pada sisi yang lain berubah. Kepribadiannya sejak kelahiran hingga kematiannya
sebagai suatu fenomena wujud tidaklah berubah sekalipun diri jasmaninya selalu
berubah dan akhirnya akan mengalami kemusnahan.
Hal ini
terkait dengan hakikat bahwa kepribadiannya merujuk kepada sesuatu yang tetap
dalam dirinya, jiwa akalinya. Seandainya bukan karena sifatnya yang tetap ini,
maka tidak mungkin bagi ilmu untuk berada dalam dirinya. Karena hakikat
kepribadiannya yang tetap, maka demikian pula pendidikan dalam islam merupakan
suatu proses yang terus-menerus sepanjang masa hidupnya di bumi dan ia meliputi
setiap aspek kehidupan ini. Dari sudut pandang pemakaian linguistic, kita harus
melihat bahwa hakikatnya istilah ‘ilm telah digunakan dalam islam untuk
merangkumi keseluruhan kehidupan diantaranya spiritual, intelektual, keagamaan,
kebudayaan, perseorangan dan social,
yang sifatnya adalah universal, dan bahwa ia penting untuk menuntun manusia
meraih keselamatannya.
Zaman paling
awal islam memulai system pendidikannya secara besar-besaran dengan masjid
sebagai pusatnya hingga sekarang ini, sehingga berkembang lembaga-lembaga
pendidikan seperti universitas-universitas, TPA, sekolah, dll. Dan dalam ilmu
kedokteran, astronomi dan ilmu-ilmu pengabdian berkembanglah rumah sakit-rumah
sakit, puskesmas,dll. Dan perlu kita ketahui bahwa perguruan-perguruan tinggi
Barat di bentuk meniru model islam. Namun sekarang justru terbalik ciri-ciri
umum dan struktur universitas-universitas masa sekarang yang meniru betul-betul model barat dan masih
mengungkapkan secara jelas jejak asal islamnya. Asal-usul nama institusi itu
berasal dari bahasa Latin universitatem
yang dengan jelas mncerminkan konsep kulliyyah yang berasal dari
islam pada mulanya. Tetapi universitas yang kemudian dikembangkan di Barat dan
di tiru hari ini di seluruh dunia tidak lagi mencerminkan manusia. Ibarat
manusia tanpa kepribadian, universitas modern tidak mempunyai pusat yang sangat
penting dan tetap, yang menjelaskan tujuan akhirnya. Ia tetap menganggap
dirinya memikirkan hal-hal universal, bahkan menyatakan memiliki fakultas dan
jurusan sebagaimana layaknya tubuh suatu organ tetapi ia tidak memiliki otak,
jangankan akal dan jiwa, kecuali dalam suatu fungsi pengurusan murni untuk
pemeliharaan dan perkembangan jasmani.
F.
Penutup dan Saran
Menilai
perumusan dan penyebaran ilmu dalam dunia Islam pada masa ini, kita harus
melihat bahwa penyusupan konsep-konsep kunci daripada dunia barat telah membawa
kekeliruan yang pada akhirnya menimbulkan akibat yang serius jika tidak
ditangani. Tugas kita adalah pertama-tama mengasingkan unsure-unsur itu
termasuk konsep-konsep kunci yang membentuk kebudayaan dan peradaban
itu.unsur-unsur dan konsep kunci ini kebanyakan terdapat dalam cabang ilmu yang
berkaitan dengan ilmu-ilmu kemanusiaan (sosial). Meskipun begitu, harus pula
dicatat ilmu-ilmu exact tetap harus di lakukan karena penafsiran dan perumusan
itu sebenarnya bagian dari ilmu-ilmu kemanusiaan.
Islamisasi
ilmu pengetahuan masa kini tepatnya berarti bahwa setelah proses pengasingan
itu, ilmu yang telah terbebaskan itu kemudian diisi dengan unsure-unsur dan
konsep-konsep kunci islam. Karena sifat asasi unsure-unsur dan konsep kunci
islam ini merupakan sesuatu yang mendefinisikan fitrah, maka sebenarnya
islamisasi akan mengisi ilmu itu dengan fungsi dan tujuannya menjadikannya ilmu
sejati. Proses ini tidak akan dapat berjalan dengan cara menerima ilmu
pengetahuan masa kini seadanya dan berharap dapat mengislamisasikannya hanya
dengan melakukan pencantuman maupun pemindahan yang tidak dapat memberikan
hasil yang di inginkan kalau tubuhnya itu telah dikuasai oleh unsure-unsur asing
dan telah rusak oleh penyakit. Unsure-unsur dan penyakit asing itu pertama-tama
harus di tarik ke luar dan di netralkan sebelum tubuh ilmu itu dapat di bentuk
kembali dalam wadah islam.
Tugas penting
kita berikutnya adalah merumuskan dan memadukan unsur-unsur islam yang utama
serta konsep-konsep kunci sehingga menghasilkan suatu kandungan yang merangkumi
ilmu teras untuk kemudian ditempatkan dalam system pendidikan islam, mulai dari
tingkat dasar hingga tingkat tinggi. Ia di rancang dalam susunan berperingkat
agar sesuai dengan tahap masing-masing tingkat. Di samping itu juga dalam masa
ini di perlukan analisis yang sistematis dan pembetulan-pembetulan dalam usaha
penyempurnaan system hingga dirasa memuaskan. Jika tahap ini telah tercapai
system itu kemudian dapat di anjurkan kepada dunia islam secara luas. Sedangkan
tidak lanjut untuk system pendidikan tingkat yang lebih rendah dapat di
rencanakan dan di laksanakan setelah pola lembaga pendidikan dapat
disempurnakan.
Sumber:
Al-Attas, Naquib, Syed Muhammad, Islam dan
Sekularisme, Instintut Pemikiran Islam dan Pembangunan Insan (PIMPIN),
ed.Bahasa Indonesia.th. 2010
![lintasberita](http://www.lintasberita.com/buttons_lb/lintasberita-100x20.gif)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar