Ditulis Oleh Ustadz RUSLAN FARIADI AM,
SAg, MSI.
Doa penutup majelis (kafaratul majelis) sudah biasa dibaca
oleh sebagian umat Islam, termasuk warga Muhammadiyah. Doa yang secara
etimologi berarti “penebus kesalahan selama berada dalam sebuah majelis” ini
tidak secara otomatis bisa diterima oleh semua kalangan. Sebagian kalangan menolak
untuk membaca doa ini. Alasannya karena validitas (kekuatan) Hadits tentang doa
kafaratul majelis masih diragukan (dha’if).
Benarkah Hadits-Hadits tentang
doa kafaratul majelis tersebut dha’if?
Untuk menja-wab kontroversi tersebut, dalam tulisan ini dikemukakan beberapa
representasi Hadits-Hadits Nabi saw yang berbicara tentang persoalan tersebut,
disertai dengan penelitian kuantitas serta kualitas (validitas) Haditsnya.
“…dari ‘Aisyah ra, bahwasanya Ra-sulullah saw apabila duduk di suatu
majelis atau berdoa, (kemudian) beliau mengucapkan beberapa kalimat, lalu
‘Aisyah ra., bertanya tentang beberapa kalimat tersebut, lalu Rasulullah saw
bersabda; jika kamu berbicara dengan pembicaraan yang baik, maka tentu
kebaikan-kebaikan tersebut akan senantiasa menyertainya sampai hari kiamat, dan
jika ia berbicara selain itu (bicara jelek), (maka) tebusan baginya adalah
dengan membaca: Maha Suci Engkau ya Allah dan dengan pujian-Mu aku mohon
ampunan-Mu dan aku bertaubat kepada-Mu.” (HR An-Nasa’i).
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam
Nasa’i dari ‘Aisyah ra, dalam kitab Sunan al-Nasa’i pada kitab al-Sahwu, bab Nau’ al-âkhar min al-dzikri ba’da al-taslîm, nomor 1327. Seluruh
rawi yang terdapat dalam sanad Hadits ini dinilai oleh para kritikus Hadits
(ulama’ ahli Hadits) dengan komentar; tsiqah
(kredibel), tsiqah ma’mûn (kuat lagi
terpercaya), dan berbagai bentuk penilaian yang menunjukkan keadilan dan ke-dhabitan (kekuatan intelegensi dan
doku-mentasi) mereka. Sekalipun Muhammad bin Ishaq al-Shaghaniy dan Abu Salamah
al-Khuza’i masing-masing dinilai oleh Imam Nasa’i dan Ibnu ‘Adi dengan ungkapan
“La ba’sa bihi” (tidak ada kecacatan
dengannya). Namun, hal tersebut masih dalam batasan keadilan rawi serta tidak
sampai terjatuh dalam kategori dha’if.
Begitu pula dengan sifat sanad-nya, Hadits ini termasuk Hadits muttashil
(bersambung) sampai kepada Nabi saw, tidak ada keterputusan (inqitha’), serta tidak ada kecacatan dan
pertentangan dengan dalil yang lebih kuat (tidak syadz). Dengan demikian, Hadits ini telah memenuhi syarat-syarat
keshahihan Hadits dan dapat dijadikan sebagai argumentasi hukum.
Lebih lanjut, dalam syarah Sunan
Nasa’i li al-Sindy ditegaskan tentang kemaqbulan Hadits ini sebagai dasar
hukum. Al-Sindy mengatakan disunnahkan bagi seseorang untuk menutup semua majelisnya
(ayyu majlisin kana) dengan membaca
doa kafaratul majelis. Salah satu fungsinya adalah, agar jika dalam suatu
majelis tersebut seluruhnya mengandung kebaikan, maka dengan doa kafaratul
majlis semakin memantapkan kebaikan tersebut hingga hari kiamat. Namun, jika
dalam suatu majelis terdapat kesalahan-kesalahan, maka dengan doa kafaratul majelis dapat menjadi kaffarat
(tebusan) atau ampunan bagi kesalahan dan dosa yang ada (Syarah Sunan al-Nasa’i
li al-Sindy).
Selain Hadits yang diriwayatkan oleh Imam An-Nasa’i
tersebut, Imam Abu Da-wud juga meriwayatkan dengan matan (lafazh yang sedikit
berbeda) dan dari sahabat yang berbeda pula, yaitu Abdullah bin Amr bin Ash,
sebagai berikut:
“…dari Abdullah bin Amr bin Ash ra, bahwasanya ia berkata, ada beberapa
kali-mat (yang) tidaklah seseorang mengucapkannya dalam majelisnya ketika ia
bangun (selesai) dari majelisnya (ia mengucapkannya) tiga kali, kecuali digugurkan
(dosa-dosanya) dengan kalimat tersebut, dan
tidaklah ia mengucapkannya dalam suatu majelis yang baik dan majelis
zikir kecuali ia tutup dengannya sebagaimana disegelnya kertas dengan cincin,
yaitu; Maha suci Engkau ya Allah dan dengan pujian-Mu, tiada Tuhan selain
Engkau, saya mohon ampunan-Mu dan saya bertaubat kepada-Mu”. Abu Dawud juga
meriwayatkan Hadits ini dari Ahmad bin Shalih, Ibnu Wahab berkata, telah
berkata Amru dan telah menceritakan kepadaku seperti itu Abdurrahman bin Abi
Amr dari al-Maqbury dari Abu Hurairah ra, dari Nabi saw seperti itu”. (HR Abu
Dawud)
Hadits ini terdapat dalam sunan
Abu Dawud kitab Al-Adab, bab fi Kaffarat
al-Majlis, nomor 4216. Seluruh rawi yang terdapat dalam sanad Hadits ini
dikomentari oleh para imam ahli Hadits sebagai rawi yang kredibel dengan
berbagai penilaian yang menunjukkan keadilan dan kedhabitannya, seperti hujjah,
tsiqah, dzakarahu fi al tsiqât (mengkategorikannya ke dalam rawi yang tsiqah)
dan lainnnya. Hanya Imam Nasa’i yang memberikan penilaian terhadap Ahmad bin
Shalih dengan ungkapan “laisa bitsiqatin
wala ma’mûnin” (tidak termasuk rawi yang kuat dan terpercaya), namun para
imam ahli Hadits yang lain mengomentarinya dengan tsiqah dan hujjah.
Berdasarkan qa’idah “al-Jarhu mu-qaddamun
‘ala al-ta’dîl” (penilaian cacat ha-rus diprioritaskan daripada penilaian
yang mengatakan adil), Hadits riwayat Abu Dawud dari jalur ini dapat
dikategorikan sebagai Hadits dha’îf.
Namun, ke-dha’îf-annya tidak terlalu
berat karena kecacatannya bukan karena kedustaan dan kefasikan rawi, sehingga
dapat saja terangkat menjadi Hadits maqbûl (hasan lighairihi) jika dikuatkan
oleh jalur-jalur lainnya. Hal tersebut terbukti dengan adanya Hadits dari
sumber atau jalur lain yang dapat menguatkan eksistensi Hadits tersebut
se-bagai dalil hukum. Dalam kitab ‘Aunul
Ma’-bûd syarah kitab Sunan Abu Dawud dijelaskan sebagai berikut; “Hadits
ini juga teriwayatkan oleh imam al-Tirmidzi, al-Nasa’i dari Hadits Suhail bin
Abi Shalih dari ayah-nya (Abu Shalih) dari Abu Hurairah ra., dan imam
al-Tirmidzi mengatakan Hadits ini adalah “Hasan-Shahih-gharîb”. Dengan
de-mikian, Hadits yang diriwayatkan oleh imam Abu Dawud diatas secara
pendekatan ilmu musthalah al-hadîts
dapat diamalkan sebagai argumentasi hukum karena mendapatkan penguat dari jalur
Hadits lainnya.
Di samping Hadits tersebut di
atas, Imam Abu Dawud juga meriwayatkan Hadits
tentang persoalan yang sama dengan redaksi matan yang sedikit berbeda dari Abu
Barzah al-Aslamy, sebagai berikut:
“…dari Abu Barzah al-Aslamy berkata; adalah Rasulullah saw bersabda di
akhir majelis: Apabila seseorang ingin berdiri dari suatu majelis (hendaknya
mengucap-kan); Maha Suci Engkau ya Allah dan de-ngan pujian-Mu, saya bersaksi
tiada tuhan selain Engkau aku mohon ampunan-Mu dan aku bertaubat kepada-Mu”,
lalu sese-orang bertanya; wahai Rasulullah sesung-guhnya engkau telah
mengucapkan suatu ucapan yang tidak pernah engkau ucap-kan sebelumnya, lalu
Rasulullah saw bersabda: menjadi kaffarat (penebus) bagi sesuatu yang terjadi
dalam majelis”. (HR Abu Dawud).
Hadits ini terdapat dalam kitab
Sunan Abu Dawud, kitab Al-Adab, bab fi Kaffarat al-Majlis, nomor 4217.
Seluruh rawi dalam Hadits ini dikomentari dengan tsiqah, dzakarahu fi al-tsiqât (dikategorikan sebagai rawi yang tsiqah), hujjah (dapat dijadikan hujjah), subhanallah la a’lamu illa al-khair (Maha Suci Allah saya tidak
mengetahui-nya kecuali kebaikan), shadûq (jujur), tsiqatu tsiqatin (sangat tsiqah), mustaqîm al-hadîts jiddan (Haditsnya sangat lurus), di samping ada
juga seorang rawi bernama al-Hajjaj bin Dinar yang dinilai laisa bihi ba’tsun (tidak ada persoalan dengannya).
Kecuali Ibnu Hibban yang
memberikan pe-nilaian kepada Muhammad bin Hatim al-Jarjara’i dengan ungkapan “rubbamayakhta’u” (mungkin dia salah)
setelah beliau menilainya dengan penilaian
tsiqah. Sedangkan sifat sanad Hadits ini muttashîl sampai kepada
Rasulullah saw dan tidak terjadi keterputusan (inqithâ’). Sehingga paling tidak Hadits ini memiliki derajat “hasan lidzâtihi”, karena salah seorang
rawinya masih disangkakan melakukan kesalahan oleh Ibnu Hibban, setelah beliau
menilainya sebagai rawi yang tsiqah.
Bahkan, dapat terangkat (irtiqâ’)
menjadi shahîh lighairi jika didukung
oleh Hadits-Hadits dari jalur yang lain. Sebab, faktor kecacatan yang diberikan
oleh Ibnu Hibban bukan karena faktor kedustaan maupun kecacatan yang cukup
berat, serta pada saat yang sama hampir seluruh kritikus Hadits (ula-ma’ ahli Hadits) menilainya sebagai
rawi yang tsiqah.
Dari beberapa representasi Hadits
tentang doa kafaratul majelis tersebut di atas, terlihat jelas bahwa Hadits
tentang doa kaffaratul majelis diriwayatkan dari berbagai jalur dengan kualitas
yang beragama. Di antara jalur-jalur periwayatan tersebut ada yang shahih, hasan, dan bahkan ada juga yang dha’if. Namun, ke-dha’ifan suatu jalur sama sekali tidak berpengaruh terhadap
eksistensi jalur lain yang telah memenuhi syarat Hadits maqbul (Hadits yang diterima). Terlebih lagi di antara beberapa
Hadits dha’if tersebut saling menguatkan antara satu jalur dengan jalur lainnya
(yasuddu
ba’duhâ ba’dha), sehingga dapat terangkat (irtiqâ’) menjadi Hadits hasan
lighairihi.
Dengan demikian, Hadits-Hadits
tersebut di atas beserta penjelasannya dapat memberikan informasi yang cukup
jelas dan tegas bahwa tuntunan doa kafaratul majelis memiliki dasar yang kuat
berasal dari Nabi saw. Wallahu a’lam bi
al shawab!
![lintasberita](http://www.lintasberita.com/buttons_lb/lintasberita-100x20.gif)
keren artikelny, gambar doa kafaratul majelisny jg sangat jelas .
BalasHapusterima kasih, sangat bermanfaat bagi saya .
alhamdulillah...
BalasHapussama2....^_^
Sebagai penyeimbang buka link ini :
BalasHapussrc: http://www.facebook.com/notes/amin-saefullah-muchtar/adakah-doa-kaffaratul-majlis-/159270897437630
Shahih: HR. At-Tirmidzi (no.3434), an-Nasai dalam 'Amalul Yaum wal Lailah (no.400), Ibnus Sunni dalam 'Amalul Yaum wal Lailah (no.447), Ibnu Hibban (no.593), dan Al-Hakim (I/536-537) dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu. At-Tirmidzi berkata: "Hadist ini hasan shahih." Dishahihkan al-Hakim, dan disetujui adz-Dzahabi. Hadist ini ada syawahid (penguat) juga dari Abu Barzah al-Aslami, Jubai bin Muth'im dan Aisyah.
BalasHapusJadikn lh kebaikan hujan tak kira jatoh pada sesiapa 💓
BalasHapusJazakumullah hikasiron
BalasHapus