Rabu, 02 Mei 2012

Kontroversi Hadits Doa Kafaratul Majelis

Ditulis Oleh Ustadz RUSLAN FARIADI AM, SAg, MSI.

Doa penutup majelis (kafaratul majelis) sudah biasa dibaca oleh sebagian umat Islam, termasuk warga Muhammadiyah. Doa yang secara etimologi berarti “penebus kesalahan selama berada dalam sebuah majelis” ini tidak secara otomatis bisa diterima oleh semua kalangan. Sebagian kalangan menolak untuk membaca doa ini. Alasannya karena validitas (kekuatan) Hadits tentang doa kafaratul majelis masih diragukan (dha’if).

Benarkah Hadits-Hadits tentang doa kafaratul majelis tersebut dha’if? Untuk menja-wab kontroversi tersebut, dalam tulisan ini dikemukakan beberapa representasi Hadits-Hadits Nabi saw yang berbicara tentang persoalan tersebut, disertai dengan penelitian kuantitas serta kualitas (validitas)  Haditsnya.

“…dari ‘Aisyah ra, bahwasanya Ra-sulullah saw apabila duduk di suatu majelis atau berdoa, (kemudian) beliau mengucapkan beberapa kalimat, lalu ‘Aisyah ra., bertanya tentang beberapa kalimat tersebut, lalu Rasulullah saw bersabda; jika kamu berbicara dengan pembicaraan yang baik, maka tentu kebaikan-kebaikan tersebut akan senantiasa menyertainya sampai hari kiamat, dan jika ia berbicara selain itu (bicara jelek), (maka) tebusan baginya adalah dengan membaca: Maha Suci Engkau ya Allah dan dengan pujian-Mu aku mohon ampunan-Mu dan aku bertaubat kepada-Mu.” (HR An-Nasa’i).


Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Nasa’i dari ‘Aisyah ra, dalam kitab Sunan al-Nasa’i pada kitab al-Sahwu, bab Nau’ al-âkhar min al-dzikri ba’da al-taslîm, nomor 1327. Seluruh rawi yang terdapat dalam sanad Hadits ini dinilai oleh para kritikus Hadits (ulama’ ahli Hadits) dengan komentar; tsiqah (kredibel), tsiqah ma’mûn (kuat lagi terpercaya), dan berbagai bentuk penilaian yang menunjukkan keadilan dan ke-dhabitan (kekuatan intelegensi dan doku-mentasi) mereka. Sekalipun Muhammad bin Ishaq al-Shaghaniy dan Abu Salamah al-Khuza’i masing-masing dinilai oleh Imam Nasa’i dan Ibnu ‘Adi dengan ungkapan “La ba’sa bihi” (tidak ada kecacatan dengannya). Namun, hal tersebut masih dalam batasan keadilan rawi serta tidak sampai terjatuh dalam kategori dha’if. Begitu pula dengan sifat sanad-nya, Hadits ini termasuk Hadits  muttashil (bersambung) sampai kepada Nabi saw, tidak ada keterputusan (inqitha’), serta tidak ada kecacatan dan pertentangan dengan dalil yang lebih kuat (tidak syadz). Dengan demikian, Hadits ini telah memenuhi syarat-syarat keshahihan Hadits dan dapat dijadikan sebagai argumentasi hukum.

Lebih lanjut, dalam syarah Sunan Nasa’i li al-Sindy ditegaskan tentang kemaqbulan Hadits ini sebagai dasar hukum. Al-Sindy mengatakan disunnahkan bagi seseorang untuk menutup semua majelisnya (ayyu majlisin kana) dengan membaca doa kafaratul majelis. Salah satu fungsinya adalah, agar jika dalam suatu majelis tersebut seluruhnya mengandung kebaikan, maka dengan doa kafaratul majlis semakin memantapkan kebaikan tersebut hingga hari kiamat. Namun, jika dalam suatu majelis terdapat kesalahan-kesalahan, maka dengan doa  kafaratul majelis dapat menjadi kaffarat (tebusan) atau ampunan bagi kesalahan dan dosa yang ada (Syarah Sunan al-Nasa’i li al-Sindy).

Selain Hadits yang diriwayatkan oleh Imam An-Nasa’i tersebut, Imam Abu Da-wud juga meriwayatkan dengan matan (lafazh yang sedikit berbeda) dan dari sahabat yang berbeda pula, yaitu Abdullah bin Amr bin Ash, sebagai berikut:

“…dari Abdullah bin Amr bin Ash ra, bahwasanya ia berkata, ada beberapa kali-mat (yang) tidaklah seseorang mengucapkannya dalam majelisnya ketika ia bangun (selesai) dari majelisnya (ia mengucapkannya) tiga kali, kecuali digugurkan (dosa-dosanya) dengan kalimat tersebut, dan  tidaklah ia mengucapkannya dalam suatu majelis yang baik dan majelis zikir kecuali ia tutup dengannya sebagaimana disegelnya kertas dengan cincin, yaitu; Maha suci Engkau ya Allah dan dengan pujian-Mu, tiada Tuhan selain Engkau, saya mohon ampunan-Mu dan saya bertaubat kepada-Mu”. Abu Dawud juga meriwayatkan Hadits ini dari Ahmad bin Shalih, Ibnu Wahab berkata, telah berkata Amru dan telah menceritakan kepadaku seperti itu Abdurrahman bin Abi Amr dari al-Maqbury dari Abu Hurairah ra, dari Nabi saw seperti itu”. (HR Abu Dawud)

Hadits ini terdapat dalam sunan Abu Dawud kitab Al-Adab, bab fi Kaffarat al-Majlis, nomor 4216. Seluruh rawi yang terdapat dalam sanad Hadits ini dikomentari oleh para imam ahli Hadits sebagai rawi yang kredibel dengan berbagai penilaian yang menunjukkan keadilan dan kedhabitannya, seperti hujjah, tsiqah, dzakarahu fi al tsiqât (mengkategorikannya ke dalam rawi yang  tsiqah) dan lainnnya. Hanya Imam Nasa’i yang memberikan penilaian terhadap Ahmad bin Shalih dengan ungkapan “laisa bitsiqatin wala ma’mûnin” (tidak termasuk rawi yang kuat dan terpercaya), namun para imam ahli Hadits yang lain mengomentarinya dengan tsiqah dan hujjah. Berdasarkan qa’idah “al-Jarhu mu-qaddamun ‘ala al-ta’dîl” (penilaian cacat ha-rus diprioritaskan daripada penilaian yang mengatakan adil), Hadits riwayat Abu Dawud dari jalur ini dapat dikategorikan sebagai Hadits dha’îf. Namun, ke-dha’îf-annya tidak terlalu berat karena kecacatannya bukan karena kedustaan dan kefasikan rawi, sehingga dapat saja terangkat menjadi Hadits  maqbûl (hasan lighairihi) jika dikuatkan oleh jalur-jalur lainnya. Hal tersebut terbukti dengan adanya Hadits dari sumber atau jalur lain yang dapat menguatkan eksistensi Hadits tersebut se-bagai dalil hukum. Dalam kitab ‘Aunul Ma’-bûd syarah kitab Sunan Abu Dawud dijelaskan sebagai berikut; “Hadits ini juga teriwayatkan oleh imam al-Tirmidzi, al-Nasa’i dari Hadits Suhail bin Abi Shalih dari ayah-nya (Abu Shalih) dari Abu Hurairah ra., dan imam al-Tirmidzi mengatakan Hadits ini adalah “Hasan-Shahih-gharîb”. Dengan de-mikian, Hadits yang diriwayatkan oleh imam Abu Dawud diatas secara pendekatan ilmu musthalah al-hadîts dapat diamalkan sebagai argumentasi hukum karena mendapatkan penguat dari jalur Hadits lainnya.

Di samping Hadits tersebut di atas, Imam Abu Dawud juga meriwayatkan  Hadits tentang persoalan yang sama dengan redaksi matan yang sedikit berbeda dari Abu Barzah al-Aslamy, sebagai berikut:

“…dari Abu Barzah al-Aslamy berkata; adalah Rasulullah saw bersabda di akhir majelis: Apabila seseorang ingin berdiri dari suatu majelis (hendaknya mengucap-kan); Maha Suci Engkau ya Allah dan de-ngan pujian-Mu, saya bersaksi tiada tuhan selain Engkau aku mohon ampunan-Mu dan aku bertaubat kepada-Mu”, lalu sese-orang bertanya; wahai Rasulullah sesung-guhnya engkau telah mengucapkan suatu ucapan yang tidak pernah engkau ucap-kan sebelumnya, lalu Rasulullah saw bersabda: menjadi kaffarat (penebus) bagi sesuatu yang terjadi dalam majelis”. (HR Abu Dawud).

Hadits ini terdapat dalam kitab Sunan Abu Dawud, kitab Al-Adab, bab fi Kaffarat al-Majlis, nomor 4217. Seluruh rawi dalam Hadits ini dikomentari dengan tsiqah, dzakarahu fi al-tsiqât (dikategorikan  sebagai rawi yang tsiqah), hujjah (dapat dijadikan hujjah), subhanallah la a’lamu illa al-khair (Maha Suci Allah saya tidak mengetahui-nya kecuali kebaikan),  shadûq (jujur), tsiqatu tsiqatin (sangat tsiqah), mustaqîm al-hadîts jiddan (Haditsnya sangat lurus), di samping ada juga seorang rawi bernama al-Hajjaj bin Dinar yang dinilai laisa bihi ba’tsun (tidak ada persoalan dengannya).

Kecuali Ibnu Hibban yang memberikan pe-nilaian kepada Muhammad bin Hatim al-Jarjara’i dengan ungkapan “rubbamayakhta’u” (mungkin dia salah) setelah beliau menilainya dengan penilaian  tsiqah. Sedangkan sifat sanad Hadits ini muttashîl sampai kepada Rasulullah saw dan tidak terjadi keterputusan (inqithâ’). Sehingga paling tidak Hadits ini memiliki derajat “hasan lidzâtihi”, karena salah seorang rawinya masih disangkakan melakukan kesalahan oleh Ibnu Hibban, setelah beliau menilainya sebagai rawi yang tsiqah. Bahkan, dapat terangkat (irtiqâ’) menjadi shahîh lighairi jika didukung oleh Hadits-Hadits dari jalur yang lain. Sebab, faktor kecacatan yang diberikan oleh Ibnu Hibban bukan karena faktor kedustaan maupun kecacatan yang cukup berat, serta pada saat yang sama hampir seluruh kritikus Hadits (ula-ma’ ahli Hadits) menilainya sebagai rawi yang tsiqah.

Dari beberapa representasi Hadits tentang doa kafaratul majelis tersebut di atas, terlihat jelas bahwa Hadits tentang doa kaffaratul majelis diriwayatkan dari berbagai jalur dengan kualitas yang beragama. Di antara jalur-jalur periwayatan tersebut ada yang shahih, hasan, dan bahkan ada juga yang dha’if. Namun, ke-dha’ifan suatu jalur sama sekali tidak berpengaruh terhadap eksistensi jalur lain yang telah memenuhi syarat Hadits maqbul (Hadits yang diterima). Terlebih lagi di antara beberapa Hadits dha’if tersebut saling menguatkan antara satu jalur dengan jalur lainnya (yasuddu  ba’duhâ ba’dha), sehingga dapat terangkat (irtiqâ’) menjadi Hadits hasan lighairihi.

Dengan demikian, Hadits-Hadits tersebut di atas beserta penjelasannya dapat memberikan informasi yang cukup jelas dan tegas bahwa tuntunan doa kafaratul majelis memiliki dasar yang kuat berasal dari Nabi saw. Wallahu a’lam bi al shawab!
lintasberita
3

6 komentar:

  1. keren artikelny, gambar doa kafaratul majelisny jg sangat jelas .
    terima kasih, sangat bermanfaat bagi saya .

    BalasHapus
  2. Sebagai penyeimbang buka link ini :
    src: http://www.facebook.com/notes/amin-saefullah-muchtar/adakah-doa-kaffaratul-majlis-/159270897437630

    BalasHapus
  3. Shahih: HR. At-Tirmidzi (no.3434), an-Nasai dalam 'Amalul Yaum wal Lailah (no.400), Ibnus Sunni dalam 'Amalul Yaum wal Lailah (no.447), Ibnu Hibban (no.593), dan Al-Hakim (I/536-537) dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu. At-Tirmidzi berkata: "Hadist ini hasan shahih." Dishahihkan al-Hakim, dan disetujui adz-Dzahabi. Hadist ini ada syawahid (penguat) juga dari Abu Barzah al-Aslami, Jubai bin Muth'im dan Aisyah.

    BalasHapus
  4. Jadikn lh kebaikan hujan tak kira jatoh pada sesiapa 💓

    BalasHapus