Senin, 25 Juni 2012

Walisongo Dan Islam Di Jawa


Masjid Agung tahun 1895

Walisanga merupakan satu topik paling kontroversial dalam sejarah  masuknya Islam di Nusantara,  ter utama Jawa. Walisanga ini dikatakan sebagai penyebar Islam di Jawa, namun kisah-kisah mereka sampai kini sarat nuansa nuansa kemusyrikan, yang bertolak-belakang dengan agama tauhid ini. Benarkah Walisanga demikian? Ataukah itu hanya tambahan-tambahan dari pihak yang tidak bertang gungjawab dan ingin merusak Islam?


Sampai sekarang tidak ada satu pun data obyektif  yang bisa dipertang gungjawabkan secara ilmiah mengenai asal-usul Walisanga. Satu-satunya  literatur yang bisa dipegang adalah Het Book van Mbonang, yang sampai hari ini masih tersimpan rapi di Perpustakaan Leiden, Belanda. Buku ini jadi sumber acuan utama para sosiolog, antropolog, dan sejarawan yang  ingin menelusuri tentang  Walisanga di abad  ke-16 M.   Het Book van Mbonang merupakan salah satu khasanah Nusantara yang dicuri Belanda dan diboyong ke negerinya, dua tahun setelah mendarat di Banten (1598).

Het Book van Mbonang ini berbicara tentang Walisanga, juga Syekh Siti Jenar , dengan cukup realistis tanpa bumbu-bumbu mistis dan kisah-kisah “keris terbang” bernama Kolomunyeng, orang jadi cacing, dan keanehan-keanehan lainnya.

Islam di Jawa
Islam diyakini telah berada di Tanah Jawa di awal abad ke-10 M. Batu nisan Fatimah Binti Maimun yang ditemukan di Leran, Gresik, Jawa Timur, pada 1082, dan juga sejumlah petilasan di Trowulan menunjukkan hal ini.1 Namun siapa tokoh-tokoh pembawa Islam di Jawa ini tidak diketahui, hanya saja kebanyakan meyakini dibawa oleh para pedagang Maghribi. Sebab itu adalah istilah yang kurang tepat jika dikatakan Walisanga sebagai pelopor penyebaran Islam di Jawa. Ada sejumlah orang yang telah memelopori hal ini sebelum masa Walisanga.

Makam Fatimah Binti Maimun, ditemukan di Gresik, Jawa Timur pada 1082

Mereka di antaranya adalah Syekh Jumadil Qubro yang diyakini berasal dari Jazirah Arab, bahkan beberapa kisah meyakini dia masih berkeluarga dengan Rasulullah SAW. Orang k edua adalah Syekh Quro yang mendirikan Pesantren Quro di Tanjungpura, Karawang (1428), yang sebagian kalangan menyebutnya berasal dari Champa, namun Drs. H. Ridwan Saidi meyakini Syekh Quro yang juga dinamakan Hasanuddin ini berasal dari Pattani, Thailand Selatan, di mana Islam memang sudah bersinar terang di daerah tersebut.2

Syekh Quro adalah guru dari Nyai Subang Larang, anak dari penguasa Cirebon. Nyai Subang Larang ini menikah  dengan Raden Manahrasa dari Pajajaran, yang setelah jadi Raja Pajajaran bergelar Sri Baduga Maharaja. Dari pernikahan tersebut lahirlah Pang eran Kian Santang, yang menjadi penyebar agama Islam di Tatar Sunda.

Lalu ada Syekh Datuk Kahfi (nama aslinya Idhafil Mahdi), mubaligh asal Baghdad yang berdakwah di pelabuhan Muara Jati, Cirebon. Ia adalah guru dari Nyai Rara Santang dan Kian Santang (Pangeran Cakrabuwana), anak dari Nyai Subang Larang dan Sri Baduga Maharaja. Di sinilah Nyai Rara Santang dipertemukan dengan Syarif Abdullah, cucu Syekh Maulana Akbar al-Gujarati. Dari pernikahan mereka lahirlah Raden Syarif Hidayatullah yang oleh sebagian kalangan diyakini sebagai Sunan Gunung Jati.

Satu lagi tokoh y ang dipercaya melakukan dakwah  Islam pra-Walisanga  adalah Syekh Khaliqul Idrus, mubaligh Parsi yang berdakwah di Jepara. Tokoh  ini menikahi salah seorang cucu Syekh  Maulana Akbar, dan melahirkan Raden Muhammad Yunus yang kemudian menikahi salah seorang putri Majapahit hingga mendapat gelar  Wong Agung Jepara. Pernikahan ini kemudian melahirkan Raden Abdul Qadir, menantu Raden Patah, yang bergelar Adipati Bin  Yunus atau Pati Unus. Setelah gugur di Malaka 1521, Pati Unus dipang gil deng an sebutan Pang eran Sabrang Lor.

Dewan Mubaligh
Walisanga (Sunda), Waliullah (Arab), atau Walisongo (Jawa) baru berkiprah menyebarkan Islam di Jawa  pada abad  ke-15 hing ga pertengahan abad ke-16 M dan memusatkan aktivitasnya di tiga daerah yakni Surabaya-Gresik-Lamongan (Jawa Timur), Demak-Kudus-Muria (Jawa Tengah), serta Cirebon (Jawa Barat). Walisanga sesung guhnya merupakan sentral dari gerakan dakwah saat itu dengan banyak murid-muridnya yang aktif membantu penyebaran Islam. Keberadaan mereka bisa jadi dapat disamakan dengan Dewan Syuro dalam struktur organisasi Islam modern.

Kebanyakan dari kita mengang gap  Walisanga han yalah sembilan orang yang sama. Namun Ibn u Batutah, pengelana dari Mar oko, yang pernah mukim sementara di Jawa menyatakan jika Walisanga sesungguhnya merupakan nama De wan Mubaligh yang masing-masing memiliki kafaah yang khusus. Mereka tidak saja pakar dalam ilmu agama namun jug a dalam ilmu pemerintahan dan politik.3 Bahkan susunan Dewan Mubaligh ‘Walisanga’ ini telah berubah sebanyak lima kali periode, yaitu:

Dewan I (1404 M):
  • Syekh Maulana Malik  Ibrahim,  asal Turki, ahli mengatur negara, dakwah di Jawa Timur, wafat di Gresik (1419),
  • Maulana Ishaq, asal Samarkand Rusia, ahli pengobatan, dakwah di Jawa lalu pindah dan wafat di Pasai (Singapura),
  • Maulana Ahmad Jumadil Kubra, asal Mesir, dakwah keliling, makam di Troloyo -Triwulan Mojokerto, Maulana Muhammad Al Maghr obi,  asal Maghrib-Maroko, dakwah keliling, makamnya di Jatinom Klaten (1465),
  • Maulana Malik Isro’il, asal Turki, ahli mengatur negara, dimakamkan di Gunung Santri antara Serang Merak (1435),
  • Maulana Muhammad Ali Akbar, asal Persia, ahli pengobatan, dimakamkan di Gunung Santri (1435),
  • Maulana Hasanuddin, asal Palestina, dakwah keliling, dimakamkan tahun 1462 di samping masjid Banten Lama,
  • Maulana Aliyuddin, asal Palestina, dakwah keliling, dimakamkan tahun 1462 di samping masjid Banten Lama,
  • Syeh Subakir, asal Persia, ahli menumbali tanah angker yang dihuni jin jahat, beberapa waktu di Jawa lalu kembali dan wafat di Persia (1462).



Dewan II (1436 M):
  • Raden Rahmad Ali Rahmatullah berasal dari Pattani, datang tahun 1421 dan dikenal sebagai Sunan Ampel (Surabaya) meng gantikan Malik  Ibrahim yang wafat,
  • Sayyid Ja’far Shodiq, asal Palestina, datang tahun 1436 dan ting gal di Kudus sehingga dikenal sebagai Sunan Kudus, meng gantikan Malik Isr o’il,
  • Syarif  Hidayatullah, asal Palestina,  datang  tahun 1436 meng gantikan Ali  Akbar yang wafat,


Dewan III (1463 M):
  • Raden Paku/Syeh Maulana A’inul Yaqin pengganti ayahnya yang pulang ke Pasai, kelahiran Blambangan, putra dari Syeh Maulana Ishak, berjuluk Sunan Giri dan makamnya di Gresik,
  • Raden Said atau Sunan Kalijaga, putra adipati  Tuban bernama Wilatikta, y ang menggantikan Syeh Subakir yang kembali k e Persia, Raden Makdum Ibrahim atau Sunan Bonang kelahiran Ampel, putra Sunan Ampel yang meng gantikan Hasanuddin yang wafat,
  • Raden Qosim atau Sunan Drajad kelahiran Ampel, putra Sunan Ampel yang menggantikan Aliyyuddin yang wafat.

Makam Maulana Malik Ibrahim di Gresik

Dewan IV (1466 M):
  • Raden Patah putra raja Brawijaya Majapahit (tahun 1462 sebagai adipati Bintoro, Makan Sunan Giri tahun 1465 membangun masjid Demak dan menjadi raja tahun 1468) murid
  • Sunan  Ampel, meng gantikan Ahmad Jumadil Kubro yang wafat, Fathullah Khan, putra Sunan Gunung Jati, menggantikan Al Maghrobi yang wafat.
Dewan V (1466 M):
  • Raden Umar Said atau  Sunan Muria,  putra  Sunan K alijaga, yang meng gantikan wali yang telah wafat,
  • Syekh Siti Jenar (tokoh ini yang paling gelap kisahnya, karena belum ada informasi yang shahih),
  • Sunan Tembayat atau Adipati Pandanarang yang meng gantikan Syekh Siti Jenar.
Islam Jawa dan Kemusyrikan
Salah satu “keunikan” Islam di J awa yang masih menjadi tanda tanya besar hingga kini adalah mengapa ‘Islam Jawa’ sangat toleran terhadap kebudayaan dan adat istiadat pra-Islam yang  sesungguhnya mengandung banyak syirik dan khurafat.  Ada yang menyatakan hal ini, pemanf aatan budaya lokal, merupakan bagian dari strategi Walisanga untuk mendakwahkan Islam sehingga lebih mudah diterima, ada yang menyatakan hal tersebut disebabkan dakwah Walisanga  yang belum selesai, dan ada pula yang mengemukakan pandangannya jika diterimanya Islam oleh para penguasa Jawa karena pilihan yang sulit ketika itu menghadapi Portugis dan kaum imperialis Barat lainnya yang membawa salib dan pedang.

Sejarawan Belanda, Bernard H. M. Vlekke dalam “Nusantara: A Histor y of  Indonesia” (1961)4 mengemukakan hal yang menarik tentang mengapa orang Jawa berbondong-bondong masuk Islam, tapi pada saat yang bersamaan memiliki pemahaman dan praktik keagamaan yang bersahabat dengan tradisi lokal (Sinkretis). Dalam kata pengantarnya, Luthfi Assyaukanie menulis: Para raja Jawa, menurut Vlekke, memilih Islam bukan karena mereka suka dengan agama itu, tapi karena situasi politik mendorong mereka untuk bertindak demikian. Pada abad ke-16 M, para pelaut Portugis mulai menjejakkan kakinya di pantai-pantai Jawa. Para raja Jawa dihadapkan pilihan  sulit antara memilih bersekutu dengan Portugis atau bekerjasama dengan Johor dan Demak, yang berarti har us memilih antara Kristen dan Islam.

Melihat perilaku Portugis dan catatan kecurangan-kecurangan mereka, raja-raja Jawa kemudian memilih Islam. Agaknya bukan hanya rasa kedekatan budaya dan sejarah masa silam yang  membuat mereka lebih menerima bersekutu dengan kerajaan-kerajaan Islam, tapi juga karena agama ini memberikan fleksibilitas yang tinggi  ketimbang Kristen. Jika mer eka masuk agama Kristen, bukan hanya mereka harus  tunduk pada kekuasaan Portugis, tapi juga harus mengganti tradisi mereka dengan budaya baru yang dibawa oleh orang-orang kulit putih itu..5.

Bisa jadi, semua alasan  di atas benar. Hanya saja, teramat sulit menerima dengan akal sehat—bahkan mustahil—jika dikatakan Walisanga mendiamkan pratik-praktik lokal yang penuh dengan khurafat dan kemusyrikan, karena Walisanga berasal dari luar Jawa dan sangat paham dengan ilmu-ilmu agama dan segala larangannya. Menjadi pekerjaan rumah pada ulama bangsa inilah sekarang untuk meluruskan upacara-upacara penuh kemusyrikan seperti tradisi Sekaten, Mauludan, dan sebagainya agar kembali pada nilai-nilai Islam yang bersih dan lurus, bukan malah memelihara kesesatan tersebut dan tanpa ilmu menyatakan Islam agama y ang penuh  toleransi. Karena Rasulullah SAW tidak pernah bersikap toleran pada kemusyrikan.

(Footnotes)
1 SQ. Fatini; Islam Comes to Malaysia; Singapore, MSRI, 1963.
2 Drs. H. Ridwan Saidi; Tinjauan Kritis Penyebaran Islam di Jakarta, Kepercayaan Penduduk Krajan Merin Salakanagara Awal Abad Masehi di Bekasi; Seminar Meluruskan Sejarah Islam di Indonesia; Mei 2008; IKIP Muhammadiyah, Jakarta.
3  Ibnu Batutah; Kitab Kanzul ‘Ulum.
4  Diterjemahkan oleh KPG menjadi “Nusantara: Sejarah Indonesia”, 2008.
5 Ibid; Pengantar; h. xviii-xix.
Islam Digest Edisi 9
lintasberita
3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar