Masjid Agung tahun 1895 |
Walisanga merupakan satu topik paling kontroversial dalam
sejarah masuknya Islam di
Nusantara, ter utama Jawa. Walisanga ini
dikatakan sebagai penyebar Islam di Jawa, namun kisah-kisah mereka sampai kini
sarat nuansa nuansa kemusyrikan, yang bertolak-belakang dengan agama tauhid
ini. Benarkah Walisanga demikian? Ataukah itu hanya tambahan-tambahan dari
pihak yang tidak bertang gungjawab dan ingin merusak Islam?
Sampai sekarang tidak ada satu pun data obyektif yang bisa dipertang gungjawabkan secara
ilmiah mengenai asal-usul Walisanga. Satu-satunya literatur yang bisa dipegang adalah Het Book van Mbonang, yang sampai hari
ini masih tersimpan rapi di Perpustakaan Leiden, Belanda. Buku ini jadi sumber
acuan utama para sosiolog, antropolog, dan sejarawan yang ingin menelusuri tentang Walisanga di abad ke-16 M.
Het Book van Mbonang merupakan
salah satu khasanah Nusantara yang dicuri Belanda dan diboyong ke negerinya,
dua tahun setelah mendarat di Banten (1598).
Het Book van Mbonang
ini berbicara tentang Walisanga, juga Syekh Siti Jenar , dengan cukup realistis
tanpa bumbu-bumbu mistis dan kisah-kisah “keris terbang” bernama Kolomunyeng,
orang jadi cacing, dan keanehan-keanehan lainnya.
Islam di Jawa
Islam diyakini telah berada di Tanah Jawa di awal abad ke-10
M. Batu nisan Fatimah Binti Maimun yang ditemukan di Leran, Gresik, Jawa Timur,
pada 1082, dan juga sejumlah petilasan di Trowulan menunjukkan hal ini.1
Namun siapa tokoh-tokoh pembawa Islam di Jawa ini tidak diketahui, hanya saja
kebanyakan meyakini dibawa oleh para pedagang Maghribi. Sebab itu adalah
istilah yang kurang tepat jika dikatakan Walisanga sebagai pelopor penyebaran
Islam di Jawa. Ada sejumlah orang yang telah memelopori hal ini sebelum masa
Walisanga.
Makam Fatimah Binti Maimun, ditemukan di Gresik, Jawa Timur pada 1082 |
Mereka di antaranya adalah Syekh Jumadil Qubro yang diyakini
berasal dari Jazirah Arab, bahkan beberapa kisah meyakini dia masih berkeluarga
dengan Rasulullah SAW. Orang k edua adalah Syekh Quro yang mendirikan Pesantren
Quro di Tanjungpura, Karawang (1428), yang sebagian kalangan menyebutnya
berasal dari Champa, namun Drs. H. Ridwan Saidi meyakini Syekh Quro yang juga
dinamakan Hasanuddin ini berasal dari Pattani, Thailand Selatan, di mana Islam
memang sudah bersinar terang di daerah tersebut.2
Syekh Quro adalah guru dari Nyai Subang Larang, anak dari
penguasa Cirebon. Nyai Subang Larang ini menikah dengan Raden Manahrasa dari Pajajaran, yang
setelah jadi Raja Pajajaran bergelar Sri Baduga Maharaja. Dari pernikahan
tersebut lahirlah Pang eran Kian Santang, yang menjadi penyebar agama Islam di
Tatar Sunda.
Lalu ada Syekh Datuk Kahfi (nama aslinya Idhafil Mahdi),
mubaligh asal Baghdad yang berdakwah di pelabuhan Muara Jati, Cirebon. Ia
adalah guru dari Nyai Rara Santang dan Kian Santang (Pangeran Cakrabuwana),
anak dari Nyai Subang Larang dan Sri Baduga Maharaja. Di sinilah Nyai Rara
Santang dipertemukan dengan Syarif Abdullah, cucu Syekh Maulana Akbar
al-Gujarati. Dari pernikahan mereka lahirlah Raden Syarif Hidayatullah yang
oleh sebagian kalangan diyakini sebagai Sunan Gunung Jati.
Satu lagi tokoh y ang
dipercaya melakukan dakwah Islam pra-Walisanga adalah Syekh Khaliqul Idrus, mubaligh Parsi
yang berdakwah di Jepara. Tokoh ini
menikahi salah seorang cucu Syekh
Maulana Akbar, dan melahirkan Raden Muhammad Yunus yang kemudian
menikahi salah seorang putri Majapahit hingga mendapat gelar Wong Agung Jepara. Pernikahan ini kemudian
melahirkan Raden Abdul Qadir, menantu Raden Patah, yang bergelar Adipati
Bin Yunus atau Pati Unus. Setelah gugur
di Malaka 1521, Pati Unus dipang gil deng an sebutan Pang eran Sabrang Lor.
Dewan Mubaligh
Walisanga (Sunda), Waliullah (Arab), atau Walisongo (Jawa) baru
berkiprah menyebarkan Islam di Jawa pada
abad ke-15 hing ga pertengahan abad
ke-16 M dan memusatkan aktivitasnya di tiga daerah yakni
Surabaya-Gresik-Lamongan (Jawa Timur), Demak-Kudus-Muria (Jawa Tengah), serta
Cirebon (Jawa Barat). Walisanga sesung guhnya merupakan sentral dari gerakan
dakwah saat itu dengan banyak murid-muridnya yang aktif membantu penyebaran
Islam. Keberadaan mereka bisa jadi dapat disamakan dengan Dewan Syuro dalam
struktur organisasi Islam modern.
Kebanyakan dari kita mengang gap Walisanga han yalah sembilan orang yang sama.
Namun Ibn u Batutah, pengelana dari Mar oko, yang pernah mukim sementara di
Jawa menyatakan jika Walisanga sesungguhnya merupakan nama De wan Mubaligh yang
masing-masing memiliki kafaah yang khusus. Mereka tidak saja pakar dalam ilmu
agama namun jug a dalam ilmu pemerintahan dan politik.3 Bahkan susunan Dewan
Mubaligh ‘Walisanga’ ini telah berubah sebanyak lima kali periode, yaitu:
Dewan I (1404 M):
- Syekh Maulana Malik Ibrahim, asal Turki, ahli mengatur negara, dakwah di Jawa Timur, wafat di Gresik (1419),
- Maulana Ishaq, asal Samarkand Rusia, ahli pengobatan, dakwah di Jawa lalu pindah dan wafat di Pasai (Singapura),
- Maulana Ahmad Jumadil Kubra, asal Mesir, dakwah keliling, makam di Troloyo -Triwulan Mojokerto, Maulana Muhammad Al Maghr obi, asal Maghrib-Maroko, dakwah keliling, makamnya di Jatinom Klaten (1465),
- Maulana Malik Isro’il, asal Turki, ahli mengatur negara, dimakamkan di Gunung Santri antara Serang Merak (1435),
- Maulana Muhammad Ali Akbar, asal Persia, ahli pengobatan, dimakamkan di Gunung Santri (1435),
- Maulana Hasanuddin, asal Palestina, dakwah keliling, dimakamkan tahun 1462 di samping masjid Banten Lama,
- Maulana Aliyuddin, asal Palestina, dakwah keliling, dimakamkan tahun 1462 di samping masjid Banten Lama,
- Syeh Subakir, asal Persia, ahli menumbali tanah angker yang dihuni jin jahat, beberapa waktu di Jawa lalu kembali dan wafat di Persia (1462).
Dewan II (1436 M):
- Raden Rahmad Ali Rahmatullah berasal dari Pattani, datang tahun 1421 dan dikenal sebagai Sunan Ampel (Surabaya) meng gantikan Malik Ibrahim yang wafat,
- Sayyid Ja’far Shodiq, asal Palestina, datang tahun 1436 dan ting gal di Kudus sehingga dikenal sebagai Sunan Kudus, meng gantikan Malik Isr o’il,
- Syarif Hidayatullah, asal Palestina, datang tahun 1436 meng gantikan Ali Akbar yang wafat,
Dewan III (1463 M):
- Raden Paku/Syeh Maulana A’inul Yaqin pengganti ayahnya yang pulang ke Pasai, kelahiran Blambangan, putra dari Syeh Maulana Ishak, berjuluk Sunan Giri dan makamnya di Gresik,
- Raden Said atau Sunan Kalijaga, putra adipati Tuban bernama Wilatikta, y ang menggantikan Syeh Subakir yang kembali k e Persia, Raden Makdum Ibrahim atau Sunan Bonang kelahiran Ampel, putra Sunan Ampel yang meng gantikan Hasanuddin yang wafat,
- Raden Qosim atau Sunan Drajad kelahiran Ampel, putra Sunan Ampel yang menggantikan Aliyyuddin yang wafat.
Makam Maulana Malik Ibrahim di Gresik |
Dewan IV (1466 M):
- Raden Patah putra raja Brawijaya Majapahit (tahun 1462 sebagai adipati Bintoro, Makan Sunan Giri tahun 1465 membangun masjid Demak dan menjadi raja tahun 1468) murid
- Sunan Ampel, meng gantikan Ahmad Jumadil Kubro yang wafat, Fathullah Khan, putra Sunan Gunung Jati, menggantikan Al Maghrobi yang wafat.
Dewan V (1466 M):
- Raden Umar Said atau Sunan Muria, putra Sunan K alijaga, yang meng gantikan wali yang telah wafat,
- Syekh Siti Jenar (tokoh ini yang paling gelap kisahnya, karena belum ada informasi yang shahih),
- Sunan Tembayat atau Adipati Pandanarang yang meng gantikan Syekh Siti Jenar.
Islam Jawa dan
Kemusyrikan
Salah satu “keunikan” Islam di J awa yang masih menjadi
tanda tanya besar hingga kini adalah mengapa ‘Islam Jawa’ sangat toleran
terhadap kebudayaan dan adat istiadat pra-Islam yang sesungguhnya mengandung banyak syirik dan
khurafat. Ada yang menyatakan hal ini,
pemanf aatan budaya lokal, merupakan bagian dari strategi Walisanga untuk
mendakwahkan Islam sehingga lebih mudah diterima, ada yang menyatakan hal
tersebut disebabkan dakwah Walisanga
yang belum selesai, dan ada pula yang mengemukakan pandangannya jika
diterimanya Islam oleh para penguasa Jawa karena pilihan yang sulit ketika itu
menghadapi Portugis dan kaum imperialis Barat lainnya yang membawa salib dan
pedang.
Sejarawan Belanda, Bernard H. M. Vlekke dalam “Nusantara: A Histor y of Indonesia” (1961)4 mengemukakan
hal yang menarik tentang mengapa orang Jawa berbondong-bondong masuk Islam,
tapi pada saat yang bersamaan memiliki pemahaman dan praktik keagamaan yang
bersahabat dengan tradisi lokal (Sinkretis). Dalam kata pengantarnya, Luthfi
Assyaukanie menulis: Para raja Jawa, menurut
Vlekke, memilih Islam bukan karena mereka suka dengan agama itu, tapi karena
situasi politik mendorong mereka untuk bertindak demikian. Pada abad ke-16 M,
para pelaut Portugis mulai menjejakkan kakinya di pantai-pantai Jawa. Para raja
Jawa dihadapkan pilihan sulit antara
memilih bersekutu dengan Portugis atau bekerjasama dengan Johor dan Demak, yang
berarti har us memilih antara Kristen dan Islam.
Melihat perilaku
Portugis dan catatan kecurangan-kecurangan mereka, raja-raja Jawa kemudian
memilih Islam. Agaknya bukan hanya rasa kedekatan budaya dan sejarah masa silam
yang membuat mereka lebih menerima
bersekutu dengan kerajaan-kerajaan Islam, tapi juga karena agama ini memberikan
fleksibilitas yang tinggi ketimbang
Kristen. Jika mer eka masuk agama Kristen, bukan hanya mereka harus tunduk pada kekuasaan Portugis, tapi juga
harus mengganti tradisi mereka dengan budaya baru yang dibawa oleh orang-orang
kulit putih itu..5.
Bisa jadi, semua alasan
di atas benar. Hanya saja, teramat sulit menerima dengan akal
sehat—bahkan mustahil—jika dikatakan Walisanga mendiamkan pratik-praktik lokal
yang penuh dengan khurafat dan kemusyrikan, karena Walisanga berasal dari luar
Jawa dan sangat paham dengan ilmu-ilmu agama dan segala larangannya. Menjadi
pekerjaan rumah pada ulama bangsa inilah sekarang untuk meluruskan
upacara-upacara penuh kemusyrikan seperti tradisi Sekaten, Mauludan, dan
sebagainya agar kembali pada nilai-nilai Islam yang bersih dan lurus, bukan
malah memelihara kesesatan tersebut dan tanpa ilmu menyatakan Islam agama y ang
penuh toleransi. Karena Rasulullah SAW
tidak pernah bersikap toleran pada kemusyrikan.
(Footnotes)
1 SQ. Fatini; Islam Comes to Malaysia; Singapore, MSRI,
1963.
2 Drs. H. Ridwan Saidi; Tinjauan Kritis Penyebaran Islam di
Jakarta, Kepercayaan Penduduk Krajan Merin Salakanagara Awal Abad Masehi di
Bekasi; Seminar Meluruskan Sejarah Islam di Indonesia; Mei 2008; IKIP
Muhammadiyah, Jakarta.
3 Ibnu Batutah; Kitab
Kanzul ‘Ulum.
4 Diterjemahkan oleh
KPG menjadi “Nusantara: Sejarah Indonesia”, 2008.
5 Ibid; Pengantar; h. xviii-xix.
Islam Digest Edisi 9
Tidak ada komentar:
Posting Komentar