Di sela kesibukan kita mengisi
rutinitas harian, marilah kita sejenak berhenti. Menepilah ke sudut keheningan.
Tafakurlah. Tanyalah dirimu, untuk apa kita hidup? Apa hakikat dan makna dari
dunia, yang sering kali kita dibuat pusing, menyepelekan atau bahkan melupakan
Sang Khaliq. Bagaimana Islam memandang
dunia?
Kehidupan Rasulullah SAW,
keluarganya, dan para shahabatnya dalam
menjalani hidup dan menyikapi dunia merupakan teladan terbaik bagi Muslim
sepanjang zaman. Apa yang dilakukan
orang-orang terbaik sepanjang masa ini berangkat dari pemahaman mereka terhadap
Dienullah yang paling lurus dan paling
bersih. Sebab itu, setiap Muslim hendaknya bisa mengambil suri teladan dari
perjalanan dan kisah hidup orang-orang terbaik ini.
Dalam satu hadits shahihnya,
seorang sahabat Rasulullah SAW bernama Jabir bin Abdullah mengisahkan sebagian
peng alamannya kala masih bersama Rasulullah SAW. Dia mengatakan bahwa
Rasulullah pernah melewati sebuah pasar dan kemudian banyak orang
mengelilinginya. Kala itu Rasulullah melihat bangkai seekor anak kambing yang memiliki
cacat di daun telinganya. Dengan tangannya sendiri, Rasulullah dengan hati-hati
mengangkat bangkai itu dan berkata, “Siapa di antara kalian yang mau memiliki anak
kambing ini dengan harga satu dirham?”
Para sahabat menjawab, “Ya Rasul, kami tidak mau anak kambing itu jadi
milik kami, walau dengan harga murah,
lagi pula apa yang dapat kami perbuat dengan bangkai ini?” Lalu Rasulullah
berkata lagi, “Apakah kalian suka anak kambing ini menjadi milik kalian?”
Mereka menjawab, “Demi Allah, seandain ya anak kambing ini hidup, maka ia cacat
telinganya. Apalagi dalam keadaan mati.” Tidak ada satu pun dari para sahabat yang
mau memilikinya.
Mendengar hal itu, Rasulullah kemudian
bersabda: “Demi Allah, sungguh dunia ini lebih rendah dan hina bagi Allah
daripada bangkai anak kambing ini untuk kalian.” (HR Muslim).
Di lain hari, Rasulullah memegang
pundak Abdullah bin Umar. Kepada sahabatnya itu, Rasulullah berpesan, “Jadilah
engkau di dunia ini seakan-akan orang asing atau orang yang sekadar melewati
sebuah jalan (musafir).” Abdullah bin Umar mendengarkan pesan orang yang
dicintainya itu dengan penuh khidmat. Lalu Abdullah bin Umar meneruskan pesan
Rasulullah itu kepada sahabatnya yang lain, “Apabila
engkau berada di sore hari, maka janganlah engkau menanti datangnya pagi.
Sebaliknya, bila engkau berada di pagi hari, janganlah engkau menanti datangnya
sore. Ambillah waktu sehatmu sebelum engkau terbaring sakit, gunakanlah masa
hidupmu untuk beramal sebelum datangnya kematianmu.’’ (HR Bukhori).
Kehidupan umat manusia terbaik sepanjang zaman
ini merupakan pengejawantahan dari nilai-nilai Islam yang luhur, yang tidak
tergoda dengan sikap hidup yang materialistik, dan terus berdakwah dengan lurus
tanpa sekali pun sudi memanfaatkan dakwah atau posisi duniawinya untuk
memperkaya diri dan keluarganya. Di masa itu, para pejabat atau pun tokoh
masyarakat hidup dalam kesederhanaan, tiada beda dengan rakyat kebanyakan.
Malah Rasulullah SAW dalam beberapa kisahnya seringkali kelaparan dan tidak
menemukan makanan di rumah
isteri-isterin ya hingga harus menar uh batu dan mengikatnya di perut
untuk bisa menahan lapar.
Allah SWT pun berpesan di banyak
ayat dalam Al-Qur’an tentang hakikat dunia yang rendah, hina, dan fana. Dalam
surat Faathir ayat 5, Allah menegaskan agar manusia sekali-kali jangan sampai
terperdaya dengan kehidupan dunia dan tertipu oleh pekerjaan setan.
Maka alangkah jahilnya jika ada
sebagian orang yang mengaku sebagai pemimpin umat malah mempromosikan kelezatan
harta duniawi. Bahkan dalam satu bukunya orang-orang seperti ini dengan teganya
menulis: “Masyarakat Indonesia ini rusak salah satu indikasinya karena
orang-orang shalehnya sebagian besar adalah para fuqara dan masakin. Ahlul
masjid di negeri ini terdiri atas fuqara dan masakin” Naudzubillah mindzalik.
Untunglah, walau ada juga
sebagian kalangan yang tertipu, pandangan seperti itu menjadi tidak popular
karena banyak pemimpin-pemimpin umat yang masih lurus yang berani mengemukakan
yang haq.
Sikap hidup memuja dan mendewakan
harta, bahkan sampai bersikap hina mengelus-ngelus mobil atau dinding rumah mewah, sesungguhnya
adalah sikap hidup yang memperlihatkan kejahilannya dalam memandang hakikat
hidup dan hakikat dunia.
Rasulullah SAW sendiri sepanjang
hayatnya tidak pernah membuat istana negara dan benteng (kecuali dalam perang Khandaq
yang diperuntukan sesaat hanya dalam perang Ahzab saja), padahal di sekeliling Rasulullah,
para raja-raja lainnya membangun istana yang sangat megah dan mewah. Jika Rasulullah
SAW mau hidup mewah, apalagi dirinya adalah pedagang, maka hidup mewah bukanlah
suatu hal yang sulit. Pemuka Quraisy sendiri telah menawarkan Beliau segala
kelezatan dunia, namun ditolak mentah-mentah oleh Rasulullah SAW.
Dalam menjalankan
pemerintahannya, Rasulullah menjadikan masjid sebagai pusat segala aktivitasnya,
tempat bermusyawarah, tempat ibadah, dan sebagainya. Tidak pernah sekali pun
Rasulullah bermusyawarah di sebuah bangunan megah semacam hotel atau apa pun
namanya. Apalagi jika hotelnya penuh dengan kemaksiatan.
Perlulah seorang muslim merenungkan
apa yang harus di lakukan dalam melintasi alam dunia ini yang penuh dengan
ujian dan cobaan dalam mensikapi dunia ini , seperti yang pernah disampaikan
oleh Abu Hur airah RA, dari nabi SAW, beliau bersabda, “Pada suatu hari seorang
laki-laki berjalan-jalan di tanah lapang, lantas mendengar suara dari awan: “
Hujanilah kebun Fulan.” (suara tersebut bukan dari suara jin atau manusia, tapi
dari sebagian malaikat). Lantas awan itu berjalan di ufuk langit, lantas
menuangkan airnya di tanah yang berbatu hitam. Tiba-tiba parit itu penuh dengan air. Laki-laki itu meneliti
air (dia ikuti ke mana air itu berjalan). Lantas dia melihat laki-laki yang
sedang berdiri di kebunnya. Dia memindahkan air dengan sekopnya. Laki-laki
(yang berjalan tadi) bertanya kepada pemilik kebun : “wahai Abdullah (hamba
Allah), siapakah namamu?”, pemilik kebun menjawab: “Fulan- yaitu nama yang dia
dengar di awan tadi”. Pemilik kebun bertanya: “Wahai hambah Allah,
meng apa engkau bertanya tentang namaku?”. Dia menjawab, “ Sesungguhnya
aku mendengar suar a di awan yang inilah airnya. Suara itu menyatakan: Siramlah
kebun Fulan – namamu- . Apa yang engkau lakukan terhadap kebun ini?”. Pemilik
kebun menjawab: “Bila kamu berkata demikian, sesungguhnya aku menggunakan
hasilnya untuk bersedekah sepertiganya. Aku dan
keluargaku memakan daripadanya sepertiganya, dan yang sepertiganya kukembalikan
ke sini (sebagai modal penanamannya)”.
Inilah sesung guhnya pensikapan hakiki seorang muslim dalam
memandang harta dan mengelolanya. Wallahu alam. ^_^
![lintasberita](http://www.lintasberita.com/buttons_lb/lintasberita-100x20.gif)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar