Senin, 25 Juni 2012

Sriwijaya Pernah Dipimpin Raja Muslim



Sriwijaya merupakan kerajaan Budha tertua dan terbesar di Nusantara. Namun tahukah Anda jika sebagian warga Sriwijaya sudah banyak yang memeluk Islam sebagai agamanya. Sriwijaya juga menjalin hubungan yang begitu akrab dengan kekhalifahan Islam di zaman Bani Umayah (661-750 M) dan Bani Abasiyah (750-1256 M). Bahkan, Sriwijaya pernah dipimpin oleh seorang raja Muslim bernama Sri Indrawarman.  Di masa kekuasaannya, Sriwijaya dikenal sebagai “Kerajaan Sribuza yang Islam”.

Sebelum kedatangan imperialisme dan kolonialisme pasukan salib yang dipelopori Portugis dan Spanyol, hubungan antar pemeluk agama di Nusantara berjalan dengan amat baik. Orang-orang Islam yang terdiri dari para pedagang Arab dan beberapa penduduk pribumi Sumatera, bergaul dengan harmonis dengan umat Hindu yang diwakili para pedagang India, dan juga dengan umat Budha yang diwakili kerajaan Sriwijaya. Bahkan Sriwijaya memiliki hubungan resmi yang sangat erat dengan Daulah Islamiyah



Di masa Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah, Daulah Islamiyah mengirim duta-duta resminya ke berbagai pusat peradaban di seberang lautan seperti Tiongkok dan Sriwijaya, yang dalam pengucapan lidah mereka disebutnya sebagai Zabaj atau Sribuza. Di masa Sriwijaya sendiri tengah berada pada zaman keemasan. Wilayah kekuasaannya di utara merambah sampai Semenanjung Malaka, sedang di selatan hingga Jawa Barat.


Salah satu bukti eratnya persahabatan antara Sriwijaya dengan Daulah Islamiyah adalah dengan adanya dua pucuk surat yang dikirimkan Raja Sriwijaya kepada khalifah Bani Umayyah. Surat pertama dikirim kepada Muawiyyah, dan surat kedua dikirim kepada Umar bin Abdul Aziz.1 Surat pertama ditemukan dalam lemari arsip Bani Umayyah oleh Abdul Malik bin Umayr, yang disampaikan kepada Abu Ya’yub Ats-Tsaqofi, yang kem udian disampaikan lagi kepada Al-Haytsam bin Adi. Yang mendengar surat itu dari Al-Haytsam menceriterakan kembali pendahuluan surat tersebut:


“Dari Raja Al-Hind yang kandang binatangnya berisikan seribu gajah, (dan) yang istananya terbuat dari emas dan perak, yang dilayani putri raja-raja, dan yang memiliki dua sungai besar yangmengairi pohon gaharu, kepada Muawiyah….”2

Buzurg bin Shahriyar  al Ramhurmuzi pada tahun 1000 Masehi menulis sebuah kitab yang meng gambarkan betapa di zaman keemasan Kerajaan Sriwijaya sudah berdiri beberapa perkampungan Muslim. Perkampungan itu berdiri di dalam wilayah kekuasaan Sriwijaya. Hanya karena hubungan yang teramat baik dengan Dunia Islam, Sriwijaya membolehkan warganya yang memeluk agama Islam hidup dalam damai dan memiliki perkampungannya sendiri di mana di dalamnya berlaku syariat Islam.3 Jadi semacam daerah istimewa.


Hubungan itu berlanjut hingga di  masa kekuasaan Bani Umayyah dengan khalifahnya Umar bin Abdul Aziz (717-720 M). Ibnu Abdul al Rabbih secara lebih lengkap memuat korespondensi antara Raja  Sriwija ya kala itu,  Raja Sri Indr avar man (Sri Indrawarman) dengan Khalifah Umar bin  Abdul Aziz itu.4


Salah satu isi suratnya berbunyi, “Dari Raja di Raja (Malik al amlak) yang adalah keturunan seribu raja; yang beristeri juga cucu seribu raja; yang di dalam kandang binatangnya terdapat seribu gajah; yang di wilayahnya terdapat dua sungai yang mengairi pohon gaharu nan harum, bumbu-bumbu wewangian, pala, dan kapur barus yang semerbak wanginya hing ga menjangkau jarak 12 mil; kepada Raja Arab yang tidak menyekutukan tuhan-tuhan lain dengan Tuhan. Saya telah mengirimkan kepada Anda hadiah, yang sebenarnya mer upakan hadiah yang tak begitu banyak, tetapi sekadar tanda persahabatan. Dengan setulus hati, saya ingin Anda mengirimkan kepada saya seseorang yang dapat mengajarkan Islam kepada saya dan menjelaskan kepada saya tentang hukum-hukumnya.” Ini adalah surat dari  Raja Sri Indrawarman kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang baru saja diangkat menggantikan Khalifah Sulaiman (715-717 M).


Khalif  Sulaiman merupakan khalifah yang memerintahkan Trariq Bin Ziyad membebaskan Spanyol. Pada masa kekuasaannya yang hanya selama dua tahun, Khalif Sulaiman telah memberangkatkan satu  armada persahabatan  berkekuatan  35 kapal perang dari Teluk Persia menuju pelabuhan Muara Sabak (Jambi) yang saat itu merupakan pelabuhan besar di dalam lingkung an Kerajaan Sriwijaya. Armada tersebut transit di Gujarat dan juga di Pereulak (Aceh), sebelum akhirnya memasuki pusat Kerajaan Zabag atau Sribuza (Sriwijaya).


Khalifah Umar bin Abdul Aziz juga mengutus salah seorang ulama terbaiknya untuk memperkenalkan Islam kepada Raja Sriwijaya, Sri Indrawarman, seperti yang diminta olehnya. Tatkala mengetahui se gala hal tentang Islam, Raja Sriwijaya ini tertarik. Hatinya tersentuh hidayah. Pada tahun 718, Sri Indrawarman akhirnya mengucap dua kalimat syahadat. Sejak itu kerajaannya disebut orang sebagai “Kerajaan Sribuza yang Islam”. Tidak lama setelah Sri Indrawarman ber syahadat,  pada tahun 726 M, Raja Jay Sima dari Kaling ga (Jepara, Jawa Teng ah), putera dari Ratu Sima juga memeluk agama Islam.5


Data-data tentang Islamnya Raja Sriwijaya memang begitu minim. Namun besar kemungkinan, Sri Indrawarman mengalami penolakan yang sangat hebat dari lingkungan istana,  sehing ga raja-raja setelahnya kembali berasal dari kalangan  Budha. H. Zainal Abidin Ahmad hanya mencatat: “Perkembangan Islam yang begitu ramainya mendapat pukulan yang  dahsyat semenjak Kaisar-Kaisar Cina dari Dinasti Tang,  dan juga Raja-Raja Sriwijaya dari Dinasti Syailendra melakukan kezaliman dan pemaksaan keagamaan.”6


Memasuki abad ke-14 M, Sriwijaya memasuki masa muram. Invasi Majapahit (1377) atas Sriwijaya menghancurkan kerajaan besar ini. Akibatnya banyak bandar mulai melepaskan diri dan menjadi otonom. Raja, adipati, atau penguasa setempat yang telah memeluk Islam kemudian mendirikan kerajaan Islam kecil-kecil. Beberapa kerajaan Islam di Utara Sumatera pada akhirnya bergabung menjadi Kerajaan Aceh Darussalam.(rz)


(Footnotes)
1 Prof. Uka Tjandrasasmita, “Hubungan Perdagangan Indonesia-Persia Pada Masa Lampau (Abad VII-XVII M) dan Dampaknya terhadaap Beberapa Unsur kebudayaan”, Jauhar Vol. 1, No. 1, Desember 2000 hal. 32
2 Azyumardi Azra, “Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII”, Edisi Revisi, Jakarta 2004, hal. 27-28.
3 Buzurg bin Shahriyar al Ramhurzi, “Aja’ib al Hind”.
4 Ibnu Abdul Al Rabbih, “Al Iqd al Farid.”
5 H. Zainal Abidin Ahmad; Ilmu Politik Islam V, Sejarah Islam dan Umatnya Sampai Sekarang; Bulan Bintang; Cet.1; 1979; hal.136-137.
6 Ibid, hal. 137
lintasberita
3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar