Selasa, 19 Juni 2012

Revitalisasi Visi dan Karakter Bangsa (AGENDA INDONESIA KE DEPAN)


I.     PENDAHULUAN
Berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan melalui perjuangan yang tidak kenal menyerah dari seluruh kekuatan rakyat, Indonesia berhasil meraih kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Para pendiri bangsa kemudian bersepakat membentuk Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dan berfalsafah Pancasila. Dengan kemerdekaan terbukalah pintu gerbang untuk mewujudkan Indonesia sebagai  Negara yang merdeka, berdaulat, adil, dan makmur  sebagaimana cita-cita nasional  yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945.
Indonesia setelah merdeka lebih 60 tahun telah banyak meraih kemajuan di bidang politik, ekonomi, sosial-budaya, dan keagamaan. Hal ini ditunjukkan dengan perkembangan demokrasi, peningkatan pendapatan perkapita, penguatan integrasi sosial, pemerataan pendidikan, dan kesemarakan kehidupan keagamaan. Kemajuan tersebut juga ditandai oleh pengakuan internasional. Stamina spiritual dan intelektual bangsa ini tidaklah kalah bila dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain. Namun energi yang positif itu sampai batas tertentu terbuang sia-sia karena ketidaksungguhan dan berbagai kesalahan kolektif, yang terkait dengan melemahnya visi dan karakter bangsa.
Kekaburan visi dan kelemahan karakter bangsa menjadi beban nasional yang berat ketika berakumulasi dengan berbagai persoalan internal yang kompleks di tubuh bangsa ini seperti kemiskinan, pengangguran, kebodohan, keterbelakangan, korupsi, kerusakan lingkungan, utang luar negeri, dan perilaku elite yang tidak menunjukkan keteladanan selaku negarawan. Beban nasional semakin berat dengan adanya faktor eksternal seperti intervensi kepentingan asing dan dampak krisis global dalam berbagai aspek kehidupan. Akibatnya bangsa ini secara pelan tapi pasti kehilangan daya tahan dan kemandiriannya. Jika keadaan tersebut dibiarkan menjadi gumpalan masalah yang besar maka Indonesia tidak hanya kehilangan peluang untuk tumbuh menjadi bangsa dan negara yang sukses mengukir kejayaan peradaban, tetapi sebaliknya akan semakin terpuruk di hadapan bangsa-bangsa lain.
Muhammadiyah sebagai bagian yang menyatu dengan denyut nadi kebangsaan sangat berkepentingan untuk melihat bangsa dan negara Indonesia mempunyai masa depan yang maju, adil, makmur, berdaulat, dan bermartabat di tengah-tengah pergaulan dunia yang semakin membuana. Berdasarkan kenyataan di atas Sidang Tanwir Muhammadiyah di Bandar Lampung, 5-8 Maret 2009, merumuskan langkah-langkah kongkret dan strategis untuk melakukan revitalisasi visi dan karakter bangsa sebagaimana terkandung dalam naskah ini.
Dalam naskah “Revitalisasi Visi dan Karakter Bangsa” ini terkandung pokok-pokok pikiran tentang (1) penegasan kembali cita-cita nasional ke dalam visi kebangsaan, (2) identifikasi permasalahan fundamental dalam bidang-bidang strategis bangsa, (3) agenda dan strategi perubahan melalui revitalisasi, (4) kualitas manusia Indonesia yang berkarakter kuat sebagai pelaku dan sasaran perubahan dalam pembangunan yang sistemik,  dan (5) prasyarat kemajuan dalam mewujudkan visi dan pembangunan karakter bangsa. Dengan revitalisasi visi dan karakter bangsa dapat dicapai akselerasi kemajuan bangsa terutama dalam lima tahun mendatang.

II.  CITA-CITA NASIONAL
 Proklamasi 1945 merupakan fase baru bagi Indonesia menjadi bangsa merdeka. Dengan kemerdekaan itu bangsa Indonesia secara berdaulat menentukan nasib dan masa depannya sendiri yang dimanifestasikan dalam rumusan cita-cita nasional sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu terwujudnya (1) Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur; (2) Perikehidupan kebangsaan yang bebas; dan (3) Pemerintahan Negara Indonesia untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Cita-cita nasional yang luhur itu merupakan pengejawantahan semangat kebangsaan dan kemerdekaan, sekaligus sebagai nilai dan arah utama perjalanan bangsa dan negara.
Pembentukan Negara Indonesia selain menentukan cita-cita nasional juga untuk menegaskan kepribadian bangsa sebagaimana tercermin dalam Pancasila. Sebagai dasar negara, Pancasila merupakan perjanjian luhur dan konsensus nasional yang mengikat seluruh bangsa. Dalam falsafah dan ideologi negara terkandung ciri keindonesiaan yang memadukan nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan (humanisme religius). Nilai-nilai tersebut tercermin dalam hubungan individu dan masyarakat, kerakyatan dan permusyawaratan, serta keadilan dan kemakmuran.
Cita-cita nasional dan falsafah bangsa yang ideal itu perlu ditransformasikan ke dalam visi nasional dan karakter yang dapat diwujudkan ke dalam sistem kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam kaitan ini diperlukan revitalisasi visi dan karakter bangsa. Visi nasional dan karakter bangsa dalam rentang lima tahun ke depan perlu diarahkan pada tercapainya  (1) penguatan nilai dan kultur demokrasi, (2) terciptanya ketahanan ekonomi nasional, serta (3) penguatan nilai-nilai dan kepribadian bangsa yang kokoh. Revitalisasi visi dan karakter bangsa lima tahun ke depan tersebut diproyeksikan untuk mewujudkan Indonesia sebagai bangsa dan negara yang maju, adil, makmur, berdaulat, dan bermartabat di hadapan bangsa-bangsa lain.

III.   PERMASALAHAN

Indonesia sesungguhnya memiliki modal besar untuk menjadi sebuah bangsa yang maju, adil, makmur, berdaulat, dan bermartabat. Hal itu didukung oleh sejumlah fakta positif yang dimiliki bangsa ini. Pertama, posisi geopolitik yang sangat strategis. Kedua, kekayaan alam dan keanekaragaman hayati. Ketiga, jumlah penduduk yang besar. Keempat, kemajemukan sosial budaya. Namun modal dasar dan potensi yang besar itu tidak dikelola dengan optimal dan sering disia-siakan sehingga bangsa ini kehilangan banyak momentum untuk maju dengan cepat, sekaligus menimbulkan masalah yang kompleks.
Dengan menghargai sejumlah kisah sukses di sejumlah bidang kehidupan seperti keberhasilan dalam demokrasi, pemulihan krisis ekonomi, dan resolusi konflik di sejumlah daerah; diiakui bahwa Indonesia hingga saat ini masih menghadapi berbagai masalah nasional yang kompleks. Di antaranya masalah politik, ekonomi, dan sosial-budaya yang memerlukan prioritas dan perhatian untuk dipecahkan.

A.   Politik                                                                                                   

Perkembangan politik nasional relatif menggembirakan terutama di bidang stabilitas-keamanan dan demokrasi. Hal ini ditandai oleh peningkatan partisipasi politik, kebebasan pers dan berekspresi, serta penegakan hukum dan hak asasi manusia. Kenyataan ini telah menempatkan Indonesia sebagai negara demokratis terbesar setelah India dan Amerika Serikat.
Meskipun demikian, capaian-capaian di atas masih disertai sejumlah masalah yang memerlukan penyelesaian secara sungguh-sungguh. Di antaranya sebagai berikut:

1.    Kerancuan sistem ketatanegaraan dan pemerintahan

Menurut UUD 1945, Indonesia adalah negara kesatuan dengan sistem pemerintahan presidensial. Salah satu ciri negara kesatuan adalah adanya hubungan yang kuat antara pusat dan daerah, dengan struktur dan kewenangan yang jelas.  Dalam kenyataannya, watak kesatuan dan presidensial ini dibayangi oleh praktik-praktik politik yang tidak konsisten. Pemberian kewenangan yang terlalu luas kepada daerah, kecuali bidang moneter, luar negeri, pertahanan, agama, dan peradilan  telah mengaburkan hubungan pusat-daerah.
Perubahan ini semakin nampak ketika diberlakukan sistem pemilihan kepala daerah secara langsung. Dengan itu, secara hukum, kepala daerah bertanggung jawab kepada rakyat pemilih. Gubernur, Walikota, dan Bupati tidak bertanggung jawab kepada dan bukan merupakan bawahan Presiden, apalagi Menteri Dalam Negeri. Dalam konteks inilah sebenarnya sistem ketatanegaraan yang dipraktekan cenderung menganut asas federalisme. Hal tersebut menganggu polakerja dan kinerja pemerintahan pusat dalam hubungannya dengan daerah.

2.    Kelembagaan negara yang tidak efektif

Reformasi politik disertai oleh perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga negara yang fungsi dan kewenangannya  tumpang  tindih. Pada tataran eksekutif tidak terjadi perkembangan yang berarti, kecuali besarnya pos-pos kementerian yang menyulitkan koordinasi kebijakan. Akibatnya, pemerintah tidak berjalan secara efektif dan efisien.
Di lembaga  legislatif terjadi kesenjangan antara struktur dan fungsi. Di satu pihak terdapat lembaga-lembaga seperti DPR, DPD dan MPR. Di pihak yang lain hanya lembaga DPR yang berfungsi sebagai pembuat Undang-Undang.  Meskipun dipilih secara langsung DPD tidak memiliki fungsi yang berarti sebagai representasi kepentingan daerah. Sementara itu  MPR hanya memiliki fungsi terbatas.
Di lembaga yudikatif  ketidakefektifan lebih berkaitan dengan lemahnya kinerja dalam penegakan hukum. Mahkamah Agung dan Kejaksaan Agung beserta jajarannya masih sangat rentan terhadap upaya penyuapan. Komisi Pemberantasan Korupsi masih terkesan tebang pilih. Mahkamah Konstitusi dalam kasus tertentu menangani kasus di luar kewenangannya.

3.    Sistem kepartaian yang tidak mendukung

Keterbukaan politik melahirkan sistem multipartai yang sangat liberal, dengan syarat mendirikan partai yang sangat longgar. Dalam konteks ini Indonesia merupakan satu-satunya negara yang memiliki jumlah partai politik yang sangat banyak. Dengan tidak adanya kekuatan politik yang dominan, proses pengambilan keputusan baik pada tingkat eksekutif maupun legislatif seringkali mengalami tarik menarik kepentingan  antara kekuatan-kekuatan politik dalam tingkat yang cukup tinggi.  Akibatnya biaya politik menjadi sangat mahal, disertai kompromi-kompromi politik yang didasarkan atas kepentingan-kepentingan sempit dan mendorong terjadinya praktek politik uang.
Sistem multipartai yang sangat longgar itu berdampak pula pada rekruitmen politik yang tidak selektif dan tidak berkualitas. Pada akhirnya  semua hal tersebut menghambat proses konsolidasi demokrasi dan menciderai prinsip meritokrasi.

4.    Berkembangnya pragmatisme politik

Keterbukaan dan sistem multipartai yang terlalu longgar berdampak lebih jauh pada perilaku politik yang semakin pragmatis. Para pelaku politik dengan mudah berpindah partai  atau mendirikan partai baru serta menjadikan politik bukan sebagai panggilan, tetapi sebagai matapencaharian. Pragmatisme politik tersebut mendorong praktek-praktek kolutif antara  pelaku politik dan pemilik modal. Perkembangan ini menimbulkan perilaku politik yang mengedepankan kepentingan diri dan kelompok di atas kepentingan bangsa dan negara.

B.   Ekonomi

Dalam pembangunan ekonomi banyak kemajuan yang telah diraih bangsa ini.  Pertumbuhan ekonomi dan rata-rata pendapatan perkapita terus meningkat. Stabilitas makro ekonomi pun semakin terpelihara. Perhatian pemerintah terhadap persoalan ekonomi masyarakat semakin nyata dengan banyak dan beragamnya skema program ekonomi yang ditujukan untuk masyarakat terutama golongan menengah-bawah.
Namun demikian, tidak bisa dipungkiri bahwa berbagai kemajuan ekonomi yang tercermin dari pertumbuhan dan stabilitas indikator makroekonomi sesungguhnya masih jauh dari memadai dan bias terhadap fakta-fakta ekonomi yang ada. Fondasi dan ketahanan ekonomi Indonesia masih lemah dan rentan. Hal ini disebabkan orientasi pembangunan ekonomi yang lebih menekankan aspek pertumbuhan, bertumpu pada investasi asing, utang luar negeri, dan konglomerasi. Kondisi demikian mengakibatkan hasil pembangunan hanya dikuasai dan dinikmati oleh sebagian kecil masyarakat, kesenjangan melebar, dan sendi-sendi kehidupan sosial-ekonomi nasional tumbuh tanpa akar yang kuat
Beberapa persoalan ekonomi nasional yang mendasar dan bersifat struktural adalah sebagai berikut:

1.    Paradigma ekonomi yang tidak konsisten

Paradigma yang melandasi kebijakan dan program ekonomi masih belum sepenuhnya mengacu dan menganut paradigma perekonomian sebagaimana yang diamanahkan oleh UUD 1945. Banyak undang-undang yang bertentangan dengan semangat dan substansi UUD 1945, seperti UU Minyak dan Gas, UU Mineral dan Batubara, UU Penanaman Modal, dan UU Kelistrikan yang liberal dan jauh dari semangat UUD 1945, terutama Pasal 33.
Sebagai akibatnya, pengelolaan sumberdaya alam belum memberi manfaat optimal untuk kesejahteraan masyarakat. Berbagai kontrak di sektor pertambangan lebih banyak memberi keuntungan finansial kepada kontraktor, terutama kontraktor asing, sementara masyarakat sekitar lebih banyak menerima dampak negatif. Pemerintah menerima manfaat yang tidak sebanding dengan biaya dan kerusakan lingkungan. Sementara pengelolaan sumberdaya alam terbarukan juga masih menghadapi berbagai persoalan akibat skala usaha dan infrastruktur yang tidak memadai, produktifitas yang rendah, dan maraknya aktivitas ekonomi ilegal.

2.    Struktur ekonomi dualistis

Struktur ekonomi dualistis masih menjadi ciri dominan perekonomian nasional. Struktur ini ditandai oleh penguasaan usaha besar oleh segelintir orang tapi memberi sumbangan besar terhadap PDB, dan usaha kecil-menengah oleh mayoritas rakyat tapi memberi kontribusi yang relatif kecil terhadap PDB. Di sisi lain usaha menengah yang biasanya menjadi ciri ekonomi modern belum terbentuk dengan kuat. Adanya struktur ekonomi yang dualistis ini menimbulkan kesenjangan pendapatan dan kepemilikan aset antar kelompok masyarakat, antar sektor modern dan tradisional, serta antar daerah Jawa dan luar Jawa masih cukup lebar.
Struktur ekonomi yang timpang tersebut menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tidak berkualitas. Pertumbuhan ekonomi ini lebih banyak dihasilkan dan dinikmati oleh sektor non-tradeable yang bersifat padat modal dan padat teknologi, namun rendah dalam menyerap tenaga kerja. Hal ini mengakibatkan tetap tingginya tingkat pengangguran dan kemiskinan, walau ekonomi tumbuh cukup signifikan terutama dalam beberapa tahun terakhir.

3.    Kebijakan fiskal yang belum mandiri

Kebijakan fiskal belum sepenuhnya mandiri dan berpihak kepada kepentingan rakyat, terutama kelompok miskin serta rentan terhadap berbagai gejolak ekonomi. Hal ini disebabkan oleh ketergantungan yang besar kepada utang luar negeri dan penerimaan dalam negeri yang belum optimal. Sebagai akibatnya, anggaran negara tidak bisa berfungsi secara optimal untuk membiayai pembangunan.

4.    Sistem keuangan dan perbankan yang tidak memihak

Sistem keuangan dan perbankan yang berlaku belum memihak sektor usaha mikro, kecil, dan menengah. Keadaan ini diperparah oleh rejim devisa bebas yang mengakibatkan sistem keuangan Indonesia rentan dan peka terhadap gejolak ekonomi dan keuangan dunia. Akibatnya belum terbangun sistem keuangan dan perbankan yang stabil, kokoh, aman, dan terpercaya, sehingga belum berfungsi optimal dalam menjaga stabilitas ekonomi maupun memberikan pelayanan yang adil bagi semua pelaku usaha.

5.    Kebijakan perdagangan dan industri yang liberal

Kebijakan perdagangan dan industri masih berorientasi pada liberalisasi, kurang melindungi produk dalam negeri, dan kurang memberi dorongan pada penciptaan nilai tambah. Sebagai akibatnya industri dalam negeri kurang memiliki daya saing dan rentan terhadap serbuan produk impor, serta cenderung mengekspor bahan baku dan barang setengah jadi. Lebih jauh dari itu  kebijakan yang ada menyebabkan pertumbuhan sektor industri manufaktur rendah.

C.   Sosial Budaya

Dalam bidang sosial-budaya Indonesia telah mencapai beberapa keberhasilan. Di bidang pendidikan terdapat peningkatan anggaran pendidikan, peningkatan dan pemerataan kesempatan belajar, dan peningkatan prestasi anak-anak Indonesia di tingkat regional dan internasional. Di bidang penegakan hukum terdapat keseriusan usaha pemberantasan korupsi yang membawa implikasi pada moralitas publik, disertai lahirnya produk perundang-undangan yang berpihak pada hak asasi manusia, perlindungan perempuan dan anak, serta penegakan moral. Di bidang kehidupan beragama semakin meluas iklim dan kesadaran untuk hidup rukun dalam kemajemukan. Dalam hubungan sosial masih cukup kuat budaya gotong royong dan semangat kebersamaan sebagaimana ditunjukkan ketika menghadapi bencana alam.
Meskipun demikian, masih banyak permasalahan sosial-budaya yang perlu mendapatkan pemecahan yang serius, di antaranya sebagai berikut:

1.    Memudarnya rasa dan ikatan kebangsaan

Memudarnya rasa dan ikatan kebangsaan ditandai oleh menguatnya primordialisme, apatisme dan individualisme. Primordialisme etnis/kedaerahan, kelompok, dan keagamaan masih berkembang sebagai dampak dari kebebasan politik yang berlebihan dan faktor ekonomi. Sementara apatisme dan individualisme, yang melunturkan nasionalisme terjadi akibat globalisasi yang mendorong penetrasi budaya asing yang tidak terkelola dengan baik. Kebebasan politik yang berlebihan juga melahirkan egoisme dan oportunisme politik di kalangan elite maupun massa yang ditunjukkan dengan perilaku yang lebih mengutamakan kepentingan partai politik daripada kepentingan bangsa. Faktor ekonomi dapat mendorong primordialisme yang memudarkan nasionalisme terkait dengan  perilaku keserakahan pihak yang diuntungkan secara ekonomi sehingga cenderung tidak peduli pada masa depan bangsa dan rasa ketertindasan pihak yang dirugikan sehingga cenderung tidak percaya terhadap negara.
Masalah lain yang tidak bisa diabaikan adalah gejala separatisme yang didorong oleh ketidakadilan sosial ekonomi dan gejala neo-feodalisme yang muncul dari perilaku yang membanggakan kelompok sendiri di atas kelompok lain.
2.    Disorientasi nilai keagamaan
Kehidupan beragama masih dihadapkan pada paradoks antara maraknya semangat keagamaan dengan kecenderungan sikap hidup permisif, materialistik, dan sekuler yang berlawanan dengan nilai-nilai luhur agama. Semangat keagamaan pada sebagian masyarakat  tereduksi dalam formalisme yang kering makna spiritual dan moral. Terdapat gejala lain ketika dakwah sering menjadi komoditas hiburan dan politik yang mengaburkan fungsi otentik agama.
Di samping itu keberagamaan belum sepenuhnya berfungsi sebagai faktor integratif dalam mewujudkan kerukunan, kebersamaan, dan budaya anti kekerasan dalam konfigurasi kemajemukan bangsa.

3.    Memudarnya kohesi dan integrasi sosial

Berbagai bentuk tindak kekerasan dengan motif yang sangat kompleks masih terus terjadi dalam kehidupan masyarakat. Bangsa Indonesia yang dikenal santun, berubah menjadi bangsa yang kurang menghargai perbedaan dan mudah melakukan tindakan kekerasan. Berbagai bentuk perilaku menyimpang dan kriminalitas seperti penyalahgunaan narkotika, pembunuhan, pelecehan seksual, perdagangan manusia, pornografi dan pengrusakan lingkungan hidup cenderung meningkat. Pranata sosial yang luhur seperti gotong royong dan saling menghormati perbedaan semakin meluruh dalam tata kehidupan sosial. Budaya patriakhi masih kuat yang membawa implikasi pada pandangan yang merendahkan harkat dan martabat perempuan.

4.    Melemahnya mentalitas positif

Dalam kehidupan masyarakat terdapat kecenderungan pelemahan mentalitas yang mencerminkan mental bangsa yang lembek (soft nation). Kelemahan mentalitas tersebut ditandai oleh kecenderungan sikap inlander, inferior, suka menerabas, perilaku instant, tidak disiplin, suka meremehkan masalah, tidak menghargai mutu, kurang bertanggung jawab, mudah mengingkari janji, dan toleran terhadap penyimpangan. Pada saat yang sama kurang berkembang perilaku yang positif seperti kerja keras, jujur, terpercya, cerdas, tanggungjawab, menghargai kualitas, dan mentalitas yang unggul lainnya.


 VI.  Revitalisasi

Perjalanan bangsa Indonesia mengalami perkembangan yang diwarnai dinamika kesinambungan dan perubahan. Setelah merdeka, bangsa Indonesia mengalami beberapa  periode kekuasaan politik: Revolusi (1945-1949), Demokrasi Parlementer (1950-1959),  Orde Lama (1959-1966), Orde Baru (1966-1998), dan Reformasi sejak tahun 1998. Dalam perjalanan bangsa yang sarat dinamika itu selain muncul berbagai krisis dan permasalahan, pada saat yang sama terdapat kemajuan-kemajuan yang cukup berarti, sebagai hasil dari pembangunan nasional yang dilakukan pada setiap periode dan menjadi tonggak bagi perkembangan Indonesia ke depan.
Pada dua dasawarsa pertama setelah kemerdekaan dilakukan  usaha-usaha pembangunan bangsa melalui kebijakan Pembangunan Semesta Berencana, termasuk pencanangan “Nation and Character Building” (Pembangunan Bangsa dan Karakter Bangsa). Namun karena dilanda berbagai gejolak politik nasional, maka program pembangunan nasional termasuk pembangunan karakter bangsa, kemudian menjadi terbengkalai. Pada periode ini hal yang positif ialah perkembangan demokrasi yang cukup positif sebagaimana kesuksesan Pemilu pertama tahun 1955, kendati setelah itu terjadi krisis politik nasional yang bermuara pada kejatuhan pemerintahan tahun 1965.
Pada masa Orde Baru diletakkan strategi Pembangunan Nasional yang terencana dan sistematis melalui Pembangunan Lima Tahun dan Pembangunan Jangka Panjang 25 Tahun, termasuk di dalamnya isu pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Pada era ini terutama sekitar satu dasawarsa  terdapat kemajuan yang cukup positif khususnya dalam pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional. Namun pogram pembangunan nasional yang cukup terencana itu kemudian tereduksi oleh berbagai kebijakan politik yang otoritarian disertai munculnya masalah-masalah yang pelik seperti ketimpangan sosial, kemiskinan, utang luar negeri, korupsi dengan turutannya kolusi dan nepotisme, dan persoalan-persoalan nasional lainnya yang kompleks. Pemerintahan Orde Baru berakhir dengan hadirnya reformasi tahun 1998.
Reformasi 1998 merupakan babak baru bagi bangsa Indonesia untuk belajar dari kesuksesan dan kegagalan Orde Lama maupun Orde Baru. Pada masa ini telah dicapai perubahan-perubahan positif terutama dalam perkembangan demokratisasi, penegakan hak asasi manusia, pemberantasan korupsi, otonomi daerah, dan lain-lain. Namun reformasi kehilangan arah karena kekuatan-kekuatan reformis telah menyia-nyiakan peluang emas di tengah beban bangsa yang sarat masalah. Dengan menyadari nilai positif yang dihasilkan reformasi dan kesadaran adanya masalah dan tantangan yang cukup berat, maka kini diperlukan penajaman-penajaman terhadap visi reformasi maupun pembangunan nasional di tubuh bangsa ini. 
Reformasi perlu dirancang-bangun dan diintegrasikan ke dalam pembangunan nasional  yang bersifat menyeluruh dan berkesinambungan, sehingga reformasi berada dalam arah dan jalur yang benar. Pembangunan nasional dalam berbagai bidang kehidupan perlu dikembangkan dalam bingkai paradigma pembangunan berkelanjutan yang bermakna (sustainable development with meaning). Paradigma ini bertumpu pada prinsip pengembangan sumber daya manusia sebagai subjek pembangunan, pemanfaatan sumberdaya alam secara produktif dengan menjaga kelestarian, kebijakan ekonomi dan politik yang berpihak kepada kepentingan rakyat, serta menjunjung tinggi moralitas dan menjaga martabat bangsa. Pada dasarnya pembangunan berkelanjutan yang bermakna merupakan upaya perbaikan dalam kehidupan manusia dengan menjaga keseimbangan antara material dan spiritual, individu dan masyarakat.
Dalam lima tahun ke depan diperlukan revitalisasi politik, ekonomi, dan sosial-budaya sebagai matarantai dari revitalisasi visi dan karakter bangsa, yakni sebagai berikut:
(1)      Dalam kehidupan politik diperlukan  penguatan nilai dan budaya demokrasi ke arah pemantapan sistem ketatanegaraan dan pemerintahan presidensial, efektivitas fungsi kelembagaan negara (eksekutif, legislatif, dan yudikatif), rasionalisasi sistem kepartaian, dan penegakan etika politik.
(2)      Dalam kehidupan ekonomi diperlukan penguatan ekonomi nasional yang dicirikan dengan terciptanya struktur ekonomi yang adil, mandiri, berdaya saing, dan memihak kepada rakyat demi tercapainya kemakmuran bangsa.
(3)      Dalam kehidupan sosial budaya diperlukan penguatan rasa kebangsaan, keber-agama-an yang transformatif, integrasi sosial, dan penanaman nilai-nilai kepribadian yang kuat dan berkarakter.

A.     Revitalisasi Politik

Kehidupan politik nasional telah menunjukkan kemajuan yang berarti terutama dalam perkembangan demokrasi. Untuk penguatan kehidupan politik yang demokratis perlu dilakukan beberapa hal strategis sebagai berikut:
Pertama, penyederhanaan jumlah partai politik. Kehadiran partai politik dalam jumlah yang sangat besar menjadi kendala utama dalam menciptakan sistem presidensial yang kokoh dan kinerja pemerintahan yang efektif. Hal ini akan semakin nampak khususnya ketika tidak satupun partai memiliki kekuatan politik dominan. Situasi ini memaksa pemerintah melakukan kompromi-kompromi dengan cara mengakomodasikan kepentingan-kepentingan partai-partai politik yang berbeda, dan bahkan bertentangan. Kenyataan ini mengakibatkan proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan memerlukan waktu lebih lama.
Jumlah partai yang banyak sebenarnya hanya lazim dalam sebuah negara yang menganut sistem pemerintahan parlementer. Dalam konteks ini, keberadaan partai politik yang sangat banyak itu merupakan anomali dalam sistem pemerintahan presidensiil yang dianut. Atas dasar itu, penyederhanaan jumlah partai politik merupakan suatu keharusan.
Meski demikian, hal ini hendaknya dilakukan secara demokratis dan menurut undang-undang. Selama ini electroral threshold dipandang sebagai aturan yang mampu mengurangi jumlah partai secara cukup berarti. Akan tetapi, karena tidak dilakukan secara ketat dan sungguh-sungguh, dengan menerapkan ambang batas yang sesuai, maka jumlah partai politik tetap besar hingga kini.
Agenda penyederhanaan jumlah partai politik dilakukan melalui pemberlakuan electoral threshold secara ketat dan sungguh-sungguh dengan ketentuan partai-partai politik yang tidak berhasil melampaui ambang batas  (1) tidak boleh mengikuti pemilu, (2) tidak boleh diubah menjadi partai baru, dan (3) pengurus dan pengelola partai tidak boleh mendirikan partai baru. Di samping itu angka ambang batas dinaikkan menjadi 5%.
Kedua, pengefektifan struktur dan fungsi kelembagaan negara. Sistem  perwakilan yang berlaku saat ini mengandung kesenjangan antara struktur dan fungsi. Menurut undang-undang, lembaga parlemen yang ada menganut sistem tiga kamar, yaitu MPR, DPD, dan DPR. Akan tetapi, hanya lembaga DPR yang memiliki fungsi membuat undang-undang dan mengontrol pemerintah. MPR, yang sering dianggap sebagai lembaga tertinggi negara, hanya mempunyai fungsi dan kewenangan yang sangat terbatas seperti melakukan amandemen terhadap UUD. Sementara itu, lembaga DPD tidak memiliki kewenangan apapun kecuali memberi usul atau masukan kepada DPR sebagai pembuat undang-undang.
Untuk itu, diperlukan ketegasan sikap di dalam menentukan sistem legislatif sesuai dengan peran dan fungsi yang dibutuhkan. Dalam hal ini, perlu dilakukan pemilihan yang tegas antara sistem satu kamar (terdiri hanya DPR) atau dua kamar (terdiri dari DPR dan DPD), masing-masing dengan tugas dan kewenangan yang jelas. Jika MPR masih ingin dipertahankan, maka lembaga tersebut hanya bersifat ad hoc, yaitu ketika DPR dan DPD bersidang bersama-sama, dan bukan lembaga yang mempunyai struktur organisasi yang permanen.
Di bidang eksekutif, jumlah departemen dan kementrian negara masih sangat banyak. Sampai tingkat tertentu, fungsi dari lembaga-lembaga tersebut bersifat tumpang tindih. Kondisi ini sering menyulitkan koordinasi, dan bahkan menjadi sumber inefisiensi. Untuk itu diperlukan kemauan politik yang kuat dari penyelenggara negara untuk menyederhanakan jumlah departemen dan kementrian negara sesuai dengan kebutuhan berdasarkan prinsip efisiensi.
Ketiga, perumusan ulang hubungan pemerintah pusat dengan daerah. Pemilihan kepala daerah secara langsung membawa konsekuensi-konsekuensi tertentu terhadap hubungan antara pemerintah pusat dengan daerah. Karena kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat, maka menurut undang-undang hanya bertanggung jawab kepada yang memilih. Dalam kaitan ini, gubernur, bupati, dan walikota bukan merupakan bawahan dari pemerintah pusat.
Situasi demikian kurang sesuai dengan semangat dan prinsip negara kesatuan di mana kepala daerah merupakan perwakilan atau perpanjangan kekuasaan atau kewenangan dari pemerintah pusat. Agar bangunan negara kesatuan tetap kokoh maka hubungan pusat dengan daerah harus diformulasikan ulang. Hal ini dapat dilakukan antara lain dengan (1) merevisi UU tentang otonomi daerah, (2) menempatkan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah yang diangkat oleh pemerintah pusat, (3) bupati/walikota walaupun dipilih langsung oleh rakyat tetapi dalam hal-hal tertentu yang bersifat strategis dan berskala nasional merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pemerintah pusat.
Dengan jumlah propinsi, kabupaten dan kota yang sudah cukup banyak, pemilihan kepala daerah bisa menjadi peristiwa yang sering terjadi. Hal ini tentu mempunyai implikasi politik dan ekonomi yang tidak kecil. Tanpa pengaturan dan pengelolaan yang benar, hal ini dapat menimbulkan kejenuhan politik dan pemborosan ekonomi yang sangat besar. Untuk itu, diperlukan kebijakan moratorium pemekaran daerah di satu pihak, dan penyamaan waktu penyelenggaraan pemilihan kepala daerah di pihak lain.
Keempat, pengembangan etika dan pendidikan politik. Demokratisasi telah mengembalikan hak dan kewenangan masyarakat, khususnya yang berkaitan dengan kebebasan dan partisipasi politik. Akan tetapi, kebebasan politik yang berlebihan –sebagai akibat dari otoritarianisme politik yang berkepanjangan—telah menimbulkan hal-hal yang negatif, seperti memudarnya loyalitas dan kesetiaan, dan semakin menguatnya semangat oportunisme.
Karena itu diperlukan pengembangan etika dan pendidikan politik bagi elit dan warga negara sebagai upaya membentuk perilaku dan tindakan politik yang baik dan bertanggungjawab. Pengembangan etika dan pendidikan politik dapat dilakukan melalui jalur-jalur formal atau non formal dengan melibatkan kekuatan-kekuatan sosial dalam masyarakat.

B.   Revitalisasi Ekonomi

Pembangunan ekonomi nasional  didasarkan pada paham demokrasi ekonomi sebagaimana tercantum dalam UUD 1945. Paham ini dimaksudkan untuk melahirkan sistem ekonomi dengan ciri-ciri sebagai berikut: (a) pemenuhan kebutuhan dasar (basic needs)  manusia yang menjamin rasa aman, (b) pertumbuhan yang adil, merata, dan bermakna (shared growth with meaning), (c) orientasi pada sumber daya (resource-based economy), (d) penguatan negara sebagai pelaku dalam mengatasi berbagai kegagalan pasar dan ketimpangan sosial; dan (e) ekonomi yang terbuka dan terintegrasi secara global dengan tetap berdaulat.
Perwujudan sistem tersebut mensyaratkan hal-hal sebagai berikut: (a) pengakuan pentingnya peran negara dalam  mengatur alokasi sumberdaya ekonomi, selain pasar dan masyarakat; (b) keberpihakan (affirmative action) pemerintah guna mewujudkan struktur ekonomi yang lebih sehat dan kuat; (c) partisipasi yang luas dari masyarakat dalam keseluruhan proses ekonomi; (d) kesamaan visi seluruh stakeholders bangsa dalam menghadapi tantangan dan persoalan ekonomi; dan (e) tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) dalam pembangunan ekonomi.
Agenda revitalisasi ekonomi dalam lima tahun mendatang mencakup aspek-aspek strategis sebagai berikut.
Pertama, menguatkan sistem ekonomi yang sesuai dengan UUD 1945. Agenda tersebut dilakukan melalui penyusunan undang-undang tentang demokrasi ekonomi sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945. Di samping itu perlu dilakukan revisi terhadap undang-undang yang tidak sejalan dengan semangat UUD 1945 seperti UU Minyak dan Gas, UU Kelistrikan, UU Mineral dan Batubara. Ketiadaan aturan perundang-undangan yang sesuai dengan semangat yang terkandung dalam UUD 1945 merupakan penyebab utama penyimpangan sistem ekonomi nasional saat ini yang berdampak pada tidak terciptanya keadilan dan pemerataan.
Kedua, mengarahkan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam secara berkelanjutan. Pengelolaan sumberdaya alam dijadikan sebagai basis utama perekonomian nasional yang diarahkan kepada upaya kemandirian bangsa di bidang pangan dan energi di tengah krisis global dalam dua bidang tersebut dewasa ini. Agenda strategis dalam bidang ini sebagai berikut: (1) melanjutkan program revitalisasi pertanian secara lebih konkrit melalui penyediaan infrastruktur yang memadai, pemberdayaan kelembagaan di tingkat petani, penyediaan tenaga penyuluh yang cukup dan kompeten, peningkatan akses petani terhadap permodalan, pemberdayaan kelembagaan pemasaran produk petani, dan stabilisasi harga yang menguntungkan petani; (2) mengembangkan industri pengolahan hasil pertanian (agro based related industries) yang memiliki keterkaitan kuat dengan industri lainnya; dan (3) meningkatkan program pengembangan energi alternatif dari sumberdaya alam yang terbarukan seperti energi surya, angin, gelombang laut, panas bumi, dan bahan baku nabati. Dalam konteks ini  diperlukan pengkajian ulang kebijakan energi nasional dengan menerapkan program penganekaragaman energi (energy mix program) yang proporsional. Untuk itu diperlukan kebijakan fiskal dan moneter, serta perdagangan dan investasi yang kondusif.
Ketiga, menciptakan struktur ekonomi yang lebih sehat dan adilAgenda ini dilakukan melalui pemberdayaan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) berdasarkan: (1) Strategi naik kelas yang mendorong usaha skala tertentu menjadi usaha skala lebih besar; dan (2) Strategi kemitraan strategis yang dilakukan untuk memperkuat keterkaitan para pelaku usaha dalam berbagai skala. Agenda ini perlu dijadikan sebagai aksi keberpihakan (affirmative actions) untuk menciptakan UMKM yang kompetitif. Agenda pemberdayaan UMKM mencakup program-program pemberian akses yang mudah dan terbuka terhadap sumber-sumber pembiayaan (bank dan non-bank), pengembangan kewirausahaan dan sumber daya manusia, peningkatan peluang pasar produk UMKM, penguatan daya inovasi dan keterkaitan  UMKM, reformasi peraturan dan kebijakan, serta perlindungan  UMKM dari persaingan usaha yang tidak sehat.
Keempat, melaksanakan reformasi agraria. Agenda ini penting dilakukan untuk mengurangi kesenjangan kepemilikan lahan dan mengendalikan konversi lahan yang merugikan rakyat, melalui  penataan aset pertanahan, redistribusi lahan serta pemberian akses tanah negara kepada masyarakat miskin, dan penetapan lahan abadi untuk kepentingan pembangunan pertanian.
Kelima, menjalankan kebijakan fiskal dan keuangan yang lebih mandiri.  Agenda kemandirian fiskal dilakukan dengan mengurangi ketergantungan pada utang melalui peningkatan penerimaan pajak dan efisiensi anggaran serta melakukan berbagai skema debt swap. Sementara agenda kemandirian keuangan dilakukan melalui penyempurnaan terhadap rezim devisa bebas, dan memberi akses permodalan kepada para pelaku UMKM.
Keenam, menciptakan kebijakan perdagangan dan industri yang berdaya saing. Beberapa agenda yang perlu dijalankan adalah sebagai berikut: (1) penerapan strategi picking up the winners melalui pemberian prioritas industrialisasi pada sektor industri kunci yang berbasis padat karya dan sumber daya alam; (2) penciptapan keterkaitan pembangunan industri dengan sektor lain, dan peningkatan nilai tambah produk dalam negeri; (3) penciptaan iklim usaha yang kondusif bagi industri dan investasi; (4) revisi berbagai perjanjian dan kerjasama perdagangan internasional, dan kontrak karya yang tidak memberikan manfaat bagi rakyat; dan (5)  peningkatan peran diplomasi ekonomi pada institusi-institusi terkait.

C.   Sosial Budaya

Kemajuan suatu bangsa terkait dengan karakteristik budaya yang dimilikinya. Beberapa negara maju dengan sumberdaya alam yang terbatas memiliki prestasi luar biasa dalam perkembangan ekonomi, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Indonesia sesungguhnya memiliki potensi untuk maju dengan pesat, tetapi perlu ditopang oleh sistem sosial-budaya yang positif. Karena itu diperlukan revitalisasi sosial-budaya sebagai berikut:
Pertama, penguatan rasa dan ikatan kebangsaan. Meningkatkan pendidikan kewarganegaraan (civic education) yang menekankan pada penanaman nilai-nilai yang menguatkan rasa cinta bangsa dan kesadaran hidup berdampingan secara damai dalam kemajemukan bangsa. Langkah ini dapat diintegrasikan dalam pendidikan formal, informal, dan nonformal sehingga merupakan satu kesatuan gerakan nasional dalam kehidupan bangsa.
Kedua, penguatan pengamalan nilai keagamaan. Reorientasi pendidikan agama dari pengajaran agama ke penanaman nilai-nilai dan budaya mengamalkan agama dalam kehidupan sehari-hari. Di samping itu perlu dilakukan pelembagaan nilai-nilai agama dalam kehidupan keluarga dan masyarakat. Memperluas gerakan keteladanan elite agama dan elite masyarakat termasuk pejabat publik yang mempraktekkan kata sejalan dengan perbuatan. Dalam konteks ini organisasi-organisasi keagamaan perlu didukung untuk meningkatkan peranannya dalam membangun moral dan karakter bangsa.
Ketiga, penguatan integrasi sosial. Membangkitkan kembali fungsi gotong royong dan pranata-pranata sosial setempat untuk merekat solidaritas kolektif dan ikatan kebangsaan. Membangun budaya saling percaya antar individu dan kelompok masyarakat melalui pendidikan, baik formal, informal, maupun non formal. Menumbuhkan “pusat masyarakat” (community center) sebagai simpul kerukunan dan kerja sama antar berbagai elemen masyarakat terutama di komunitas basis. Mengembangkan dialog budaya dan norma-norma sosial yang menyadarkan semua komponen masyarakat untuk hidup berdampingan secara damai dalam kemajemukan. Mendorong budaya empati yang menumbuhkan kepedulian dan tanggung jawab sosial melalui program-program pelayanan sosial.
Keempat, penguatan mentalitas positif. Menanamkan sikap dan kebiasaan berperilaku positif sejak usia dini seperti bertindak jujur, bersih, displin, menghargai waktu, dan tanggung jawab. Penegakan disiplin melalui penerapan aturan dan kebiasaan, dengan memberikan penghargaan kepada yang patuh dan sanksi tegas kepada yang melanggar. Dalam hal ini peranan lembaga pendidikan, keluarga, dan instiusi-institusi sosial di masyarakat menjadi sangat penting sebagai wahana penananam dan pengembangan nilai-nilai menuju pembentukan mentalitas positif di tubuh bangsa.

V.  KARAKTER BANGSA
Kemajuan dan kemunduran suatu bangsa atau negara tergantung pada faktor manusianya sebagai pelaku sejarah. Perjuangan kemerdekaan Indonesia melawan penjajahan tidak terlepas dari kekuatan tekad dan ikhtiar rakyat sebagai kumpulan manusia yang memiliki jiwa kejuangan yang tinggi, meskipun kala itu belum terbentuk Indonesia sebagai sebuah nation atau bangsa sebagaimana mestinya. Pembentukan kebudayaan nasional yang berwatak majemuk, yang menjadi ciri keindonesiaan,  juga tidak terlepas dari sifat-sifat orang Indonesia yang cenderung moderat atau tengahan serta terbiasa hidup rukun dan damai dalam keberagaman. Kehadiran agama-agama besar dunia yaitu Hindu, Budha, Islam, dan Katolik, dan Prostestan, yang kemudian berinteraksi dengan kebudayaan setempat telah membentuk orientasi nilai dan pola kepribadian manusia Indonesia yang relijius, menjunjung tinggi moral, dan hidup saling menghargai dengan menjunjung tinggi kebaikan bersama.
Namun karena berbagai sebab dalam perkembangan berikutnya terdapat kelemahan-kelamahan mentalitas di tubuh bangsa Indonesia. Para ahli menemukan kecenderungan mentalitas orang Indonesia yang tidak sejalan dengan etos kemajuan dan keunggulan peradaban seperti sifat malas, meremehkan mutu, suka menerabas (jalan pintas), tidak percaya pada diri sendiri; tidak berdisiplin murni; suka mengabaikan tanggungjawab, berjiwa feodal, suka pada hal-hal beraroma mistik, mudah meniru gaya hidup luar dengan kurang selektif, gaya hidup mewah, dan lain-lain. Kendati kecenderungan mentalitas teresbut tidak bersifat menyeluruh tetapi manakala dibiarkan akan menjadi penyakit mentalitas secara kesluruhan di tubuh bangsa ini.
Dalam menghadapi berbagai persaingan peradaban yang tinggi dengan bangsa-bangsa lain dan demi masa depan Indonesia yang lebih maju maka diperlukan revitalisasi mentalitas bangsa ke arah pembentukan manusia Indonesia yang berkarakter kuat. Manusia yang berkarakter kuat dicirikan oleh kapsitas mental yang membedakan dari orang lain seperti keterpercayaan, ketulusan, kejujuran, keberanian, ketegasan, ketegaran, kuat dalam memegang prinsip, dan sifat-sifat khusus lainnya yang melekat dalam dirinya.
Manusia Indonesia yang berkarakter kuat dan melekat dengan kepribadian bangsa yaitu manusia yang memiliki sifat-sifat: (1) Relijius; yang dicirikan oleh sikap hidup dan kepribadian taat beribadah, jujur, terpercaya, dermawan, saling tolong menolong, dan toleran; (2) Moderat; yang dicirikan oleh sikap hidup yang tidak radikal dan tercermin dalam kepribadian yang tengahan antara individu dan sosial, berorientasi materi dan ruhani, serta mampu hidup dan kerjasama dalam kemajemukan; (3) Cerdas; yang dicirikan oleh sikap hidup dan kepribadian yang rasional, cinta ilmu, terbuka, dan berpikiran maju; dan (4) Mandiri; yang dicirikan oleh sikap hidup dan kepribadian merdeka, disiplin tinggi,   hemat, menghargai waktu,  ulet,  wirausaha, kerja keras, dan memiliki cinta kebangsaan yang tinggi tanpa kehilangan orientasi nilai-nilai kemanusiaan universal dan hubungan antarperadaban bangsa-bangsa.
Bagi suatu bangsa karakter adalah nilai-nilai keutamaan yang melekat pada setiap individu warga negara dan kemudian mengejawantah sebagai personalitas dan identitas kolektif bangsa. Karakter berfungsi sebagai kekuatan mental dan etik yang mendorong suatu bangsa merealisasikan cita-cita kebangsaannya dan menampilkan keunggulan-keunggulan komparatif, kompetitif, dan dinamis di antara bangsa-bangsa lain. Nilai-nilai keutamaan seperti bekerja keras, menghargai waktu, dan berhemat dalam etika Protestan, umpamanya, telah mendorong kebangkitan dan kemajuan bangsa-bangsa Barat. Demikian pula nilai-nilai keutamaan serupa dalam etika Konfusianisme dianggap telah mendorong kebangkitan negara-negara di kawasan Asia Pasifik dewasa ini. Sejarah juga menunjukan bahwa etos kemajuan dalam kehidupan kaum muslimin di masa lampau telah berhasil membangun kejayaan peradaban Islam selama beberapa abad.
Bangsa Indonesia secara relatif memiliki nilai-nilai keutamaan yang mengkristal menjadi modal sosial dan budaya penting. Di antara nilai-nilai itu adalah daya juang, tahan menderita, mengutamakan harmoni, dan gotong royong. Nilai-nilai keutamaan tersebut masih relevan, namun memerlukan penyesuaian dan pengembangan sejalan dengan dinamika dan tantangan zaman. Tantangan globalisasi yang meniscayakan orientasi kepada kualitas, persaingan dan daya saing menuntut bangsa Indonesia memiliki karakter yang bersifat kompetitif, dinamis, berkemajuan, dan berkeunggulan.
Karena itu cukup mendesak untuk dilakukan revitalisasi karakter bangsa, yaitu dengan memelihara dan meningkatkan nilai-nilai keutamaan yang sudah terbangun sejak dahulu dan mengembangkan nilai-nilai keutamaan baru, termasuk membuka diri terhadap nilai-nilai keutamaan bangsa-bangsa yang lebih maju. Di antara nilai-nilai keutamaan atau karakter yang perlu dimiliki bangsa Indonesia, baik secara individual maupun kolektif adalah sebagai berikut:
Pertama, nilai-nilai spiritualitas. Kecenderungan spiritualisitik bangsa yang tinggi dapat dikembangkan menjadi spiritualisme dinamis. Spiritualisme ini menampilkan keberagamaan berkemajuan, yaitu keberagamaan yang berorientasi kepada etika atau akhlak, dan penyeimbangan antara kesalehan individual dan kesalehan sosial.  Karakter untuk hidup berkebudayaan yang maju dan unggul. Karakter yang demikian dapat ditampilkan dalam idiom  “taat beragama, maju berbudaya”.
Kedua, nilai-nilai solidaritas. Kecenderungan warga bangsa untuk berkumpul, berserikat, dan berorganisasi dapat dikembangkan menjadi solidaritas kebangsaan yang harmonis dan dinamis. Solidaritas ini diharapkan mengejawantah dalam bentuk kesetiakawanan sosial dan toleransi terhadap perbedaan. Selain itu, solidaritas kebangsaan menampilkan orientasi yang mengedepankan kepentingan bangsa di atas kepentingan kelompok atau golongan.  Perlu ditanamkan kebiasaan untuk hidup berdampingan secara damai atas dasar saling memahami, saling menghormati, dan saling tolong menolong untuk kepentingan dan kemajuan bersama. 
Ketiga, nilai-nilai kedisiplinan. Kemajuan bangsa terkendala oleh lemahnya disiplin terhadap waktu dan norma-norma hukum yang berlaku.   Akibatnya, bangsa ini kurang berdaya saing serta menjadi permisif terhadap pelanggaran norma-norma hukum. Kebiasaan yang tidak positif ini perlu diubah menjadi karakter bangsa yang menghargai waktu sehingga mendorong produktifitas dan daya saing, serta mematuhi norma-norma hukum untuk terwujudnya ketertiban sosial serta menghindari tindak kekerasan dan kecenderungan main hakim sendiri.
Keempat, nilai-nilai kemandirian. Perkembangan internasional telah membuat negara-negara berkembang termasuk Indonesia mempunyai ketergantungan yang kuat terhadap negara-negara besar dan maju dalam bidang ekonomi, politik, dan budaya. Kini saatnya dikembangkan karakter bangsa yang menghilangkan rasa rendah diri untuk menjadi bangsa yang memiliki kepercayaan diri untuk berdiri sama tinggi dengan bangsa-bangsa lain.
Kelima, nilai-nilai kemajuan dan keunggulan. Bangsa Indonesia sebagai bangsa besar dan kaya dengan sumber daya alam memiliki peluang untuk bangsa maju dan unggul. Karena itu diperlukan karakter yang berorientasi kepada prestasi dengan semangat kerja keras. Dalam hal ini dapat ditanamkan semangat kepada segenap anak bangsa, bahwa “kita mampu jika kita mau” dan “mengapa tidak menjadi yang terbaik?”.

VI.   FAKTOR-FAKTOR STRATEGIS

Kemajuan Indonesia secara objektif ditentukan oleh faktor-faktor strategis. Di antara faktor-faktor strategis yang menjadi prasyarat kemajuan tersebut adalah sebagai berikut:

1.    Kepemimpinan Reformatif

Indonesia ke depan memerlukan kepemimpinan yang reformatif sebagai prasyarat untuk membawa Indonesia menjadi negara dan bangsa yang maju, adil, makmur, berdaulat, dan bermartabat. Kepemimpinan reformatif ditandai oleh kepemimpinan yang kuat dan membawa pada perubahan. Kepemimpinan reformatif merupakan perpaduan antara kualitas kenegarawanan dengan kemampuan transformatif, yakni kepemimpinan yang berkarakter dan berkepribadian kuat, mengutamakan kepentingan bangsa dan negara, mampu melakukan memobilisasi potensi, mengagendakan perubahan, dan memproyeksikan masa depan. Kepemimpinan tersebut mampu memadukan kekuatan visi, pengambilan keputusan, kapabilitas, integritas, dan akseptabilitas yang kuat sebagai manifestasi kenegarawanan, serta mampu memecahkan persoalan-persoalan bangsa.
Kepemimpinan reformatif memiliki kriteria sebagai berikut: (a) relijius, kata sejalan dengan laku, dan bertanggungjawab; (b) visi dan karakter kuat sebagai nega­rawan, yang mengutamakan kepentingan bangsa dan negara ketimbang diri sendiri, partai politik, dan kroni; (c) berani mengambil berbagai keputusan strategis dan me­mecahkan masalah-masalah krusial bangsa; (d) mewujudkan good governance, tegas dalam melakukan pemberantasan korupsi, penegakkan hukum, serta penyelamatan aset dan kekayaan negara; (e) menjaga kewibawaan dan kedaulatan nasional dari berbagai ancaman di dalam dan luar negeri; (f) melepaskan jabatan partai politik dan jabatan-jabatan lain yang dapat menimbulkan konflik-kepentingan serta mengganggu jalannya pemerintahan dalam memimpin bangsa dan negara; dan (g) memiliki strategi perubahan yang membawa pada kemajuan bangsa.
Para pemimpin di berbagai sektor dan tingkatan perlu memiliki sifat sidiq, amanah, tabligh, dan fathanah, yang melahirkan keteladanan yang baik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Keteladanan elite menjadi kunci penting bagi tumbuhnya kepercayaan, sebagai pusat identifikasi diri bagi rakyat, serta  menjadi modal sosial dan ruhaniah yang berharga untuk kemajuan bangsa.

2.    Good Governance

Faktor dan prasyarat Good Governance di seluruh struktur pemerintahan baik di eksekutif, legislatif, dan yudikatif tingkat nasional maupun di lingkungan pemerintahan di daerah. Good Governance atau tata pemerintahan yang baik merupakan se­perangkat tindakan dalam bidang politik, ekonomi dan administrasi untuk mengelola negara/pemerintahan dengan benar dan baik; yang menunjuk pada praktik pemerintahan yang bersih dalam penggunaan kewenangan di bidang politik, ekonomi dan administrasi untuk mengelola urusan negara dan masyarakat pada setiap peringkat dengan prinsip sidiq, amanah, tabligh, dan fatanah.
Syarat-syarat untuk terwujudnya Good Governance antara lain sebagai berikut: (a) Adanya partisipasi publik dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan., (b) Semua unsur masyarakat memiliki komitmen untuk menegakkan hukum, (c) Adanya transparansi (keterbukaan) dan akuntabilitas (pertanggungjawaban) dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara, (d) Adanya kepekaan dan kepedulian dalam merespon tantangan dan problem masyarakat, (e) Mengutamakan kepentingan umum, yaitu adanya orientasi kepada konsensus untuk menciptakan kemaslahatan masyarakat; (f) Setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama/sederajat di depan hukum, (g) Adanya efisiensi dan efektivitas dalam pengelolaan SDA dan SDM, (h) Adanya visi strategis tentang negara yang maju dan berdaulat, (i) Kekuasaan yang kuat (powerfull) untuk menentukan nasib sendiri, dan tidak didikte oleh kekuatan asing.

3.    Trust atau Kepercayaan

Kepercayaan (trust) merupakan modal terpenting untuk mentransformasikan Indonesia menjadi negara yang maju dan bermartabat tinggi sebagaimana dicapai oleh negara-negara lain. Kepercayaan terkait dengan penghargaan dan rasa aman dari berbagai pihak, baik dari rakyat di dalam negeri maupun berbagai pihak di luar negeri, bahwa bangsa dan pemerintah Indonesia memang dapat mengurus diri sendiri dengan sebaik-baiknya dan memberikan jaminan seluas-luasnya untuk kemajuan di berbagai bidang kehidupan. Kepercayaan merupakan modal spiritual dan sosial yang terkait dengan dukungan rakyat dan pihak lain, kerja keras, hemat, jujur, amanah, dan kondisi-kondisi internal yang memungkinkan tumbuhnya segala hal yang positif dan hilangnya segala hal yang negatif di tubuh bangsa ini.
Kepercayaan di tubuh pemerintahan bukan sekadar berkaitan dengan legitimasi politik formal, tetapi juga berkaitan dengan kondisi good governance, termasuk pemerintahan yang tidak korupsi. Iklim investasi yang kondusif untuk kegiatan ekonomi juga terkait dengan tingkat trust atau kepercayaan yang dimiliki bangsa Indonesia. Terdapat kecenderungan bahwa faktor trust mengalami peluruhan di tubuh bangsa ini seperti indeks korupsi yang tinggi, country risk, buruknya etika kerja, dan pandangan negatif tentang negara lembek (soft state).

VII. PENUTUP

Indonesia lima tahun ke depan memerlukan revitalisasi visi dan karakter bangsa sebagai sebagai titik-tumpu dan strategi perubahan ke arah penguatan yang bersifat konsolidasi, percepatan, pengembangan, dan pembaruan. Startegi perubahan tersebut diperlukan dengan dasar pemikiran bahwa berbagai masalah, kesulitan,  dan stagnasi yang menjadi beban nasional dan membuat bangsa ini kehilangan banyak peluang positif untuk bangkit karena dari segi idealisme dan fondasi kebangsaan sampai batas tertentu kehilangan orientasi visi dan karakter kepribadiannya sebagai bangsa yang maju, adil, makmur, berdaulat, dan bermartabat  sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945.
Revitalisasi visi dan karakter tersebut dapat memacu akselerasi kemajuan bangsa, yang pilihan aspek dan strateginya secara prioritas dilakukan melalui revitalisasi politik, ekonomi, dan sosial-budaya terutama untuk lima tahun ke depan. Revitalisasi visi dan karakter bangsa tersebut merupakan bagian penting dari reformasi kehidupan nasional di segala bidang kehidupan yang memiliki implikasi perubahan ke arah kemajuan pada masa berikutnya. Revitalisasi yang diagendakan itu dapat diwujudkan secara konsisten apabila didukung oleh faktor-faktor strategis yaitu adanya kepemim­pinan yang reformatif, tata pemerintahan yang baik, dan kepercayaan yang tinggi di tubuh bangsa ini. Selain itu diperlukan kemauan politik dan kerja keras pemerintah serta seluruh kekuatan politik yang melibatkan segenap komponen nasional termasuk organisasi-organisasi kemasyarakatan sebagai pilar strategis bangsa.  Dengan segenap potensi, kesungguhan, dan ikhtiar yang dilakukan melalui revitalisasi yang strategis itu,  disertai limpahan berkah Allah Yang Maha Kuasa, maka Indonesia akan menjadi  bangsa dan negara yang maju, adil, makmur, berdaulat, dan bermartabat sebagaimana cita-cita kemerdekaan.

***

~Pimpinan Pusat Muhammadiyah~
lintasberita
3

1 komentar: