I. PENDAHULUAN
Berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan melalui
perjuangan yang tidak kenal menyerah dari seluruh kekuatan rakyat, Indonesia
berhasil meraih kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Para pendiri bangsa kemudian
bersepakat membentuk Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dan
berfalsafah Pancasila. Dengan kemerdekaan terbukalah pintu gerbang untuk
mewujudkan Indonesia sebagai Negara yang
merdeka, berdaulat, adil, dan makmur
sebagaimana cita-cita nasional
yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945.
Indonesia setelah merdeka lebih 60 tahun telah banyak
meraih kemajuan di bidang politik, ekonomi, sosial-budaya, dan keagamaan. Hal
ini ditunjukkan dengan perkembangan demokrasi, peningkatan pendapatan
perkapita, penguatan integrasi sosial, pemerataan pendidikan, dan kesemarakan
kehidupan keagamaan. Kemajuan tersebut juga ditandai oleh pengakuan
internasional. Stamina spiritual dan intelektual bangsa ini tidaklah kalah bila
dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain. Namun energi yang positif itu sampai
batas tertentu terbuang sia-sia karena ketidaksungguhan dan berbagai kesalahan
kolektif, yang terkait dengan melemahnya visi dan karakter bangsa.
Kekaburan visi dan kelemahan karakter bangsa menjadi
beban nasional yang berat ketika berakumulasi dengan berbagai persoalan
internal yang kompleks di tubuh bangsa ini seperti kemiskinan, pengangguran,
kebodohan, keterbelakangan, korupsi, kerusakan lingkungan, utang luar negeri,
dan perilaku elite yang tidak menunjukkan keteladanan selaku negarawan. Beban
nasional semakin berat dengan adanya faktor eksternal seperti intervensi
kepentingan asing dan dampak krisis global dalam berbagai aspek kehidupan.
Akibatnya bangsa ini secara pelan tapi pasti kehilangan daya tahan dan
kemandiriannya. Jika keadaan tersebut dibiarkan menjadi gumpalan masalah yang
besar maka Indonesia tidak hanya kehilangan peluang untuk tumbuh menjadi bangsa
dan negara yang sukses mengukir kejayaan peradaban, tetapi sebaliknya akan
semakin terpuruk di hadapan bangsa-bangsa lain.
Muhammadiyah sebagai bagian yang menyatu dengan denyut
nadi kebangsaan sangat berkepentingan untuk melihat bangsa dan negara Indonesia
mempunyai masa depan yang maju, adil, makmur, berdaulat, dan bermartabat di
tengah-tengah pergaulan dunia yang semakin membuana. Berdasarkan kenyataan di
atas Sidang Tanwir Muhammadiyah di Bandar Lampung, 5-8 Maret 2009, merumuskan
langkah-langkah kongkret dan strategis untuk melakukan revitalisasi visi dan
karakter bangsa sebagaimana terkandung dalam naskah ini.
Dalam naskah “Revitalisasi Visi dan Karakter Bangsa” ini
terkandung pokok-pokok pikiran tentang (1) penegasan kembali cita-cita nasional
ke dalam visi kebangsaan, (2) identifikasi permasalahan fundamental dalam
bidang-bidang strategis bangsa, (3) agenda dan strategi perubahan melalui
revitalisasi, (4) kualitas manusia Indonesia yang berkarakter kuat sebagai
pelaku dan sasaran perubahan dalam pembangunan yang sistemik, dan (5) prasyarat kemajuan dalam mewujudkan
visi dan pembangunan karakter bangsa. Dengan revitalisasi visi dan karakter
bangsa dapat dicapai akselerasi kemajuan bangsa terutama dalam lima tahun
mendatang.
II.
CITA-CITA NASIONAL
Proklamasi 1945
merupakan fase baru bagi Indonesia menjadi bangsa merdeka. Dengan kemerdekaan
itu bangsa Indonesia secara berdaulat menentukan nasib dan masa depannya sendiri
yang dimanifestasikan dalam rumusan cita-cita nasional sebagaimana termaktub
dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu terwujudnya (1) Negara Indonesia yang merdeka,
bersatu, berdaulat, adil, dan makmur; (2) Perikehidupan kebangsaan yang bebas;
dan (3) Pemerintahan Negara Indonesia untuk melindungi segenap bangsa dan
seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia. Cita-cita nasional yang luhur itu merupakan pengejawantahan semangat
kebangsaan dan kemerdekaan, sekaligus sebagai nilai dan arah utama perjalanan
bangsa dan negara.
Pembentukan Negara Indonesia selain menentukan cita-cita
nasional juga untuk menegaskan kepribadian bangsa sebagaimana tercermin dalam Pancasila.
Sebagai dasar negara, Pancasila merupakan perjanjian luhur dan konsensus
nasional yang mengikat seluruh bangsa. Dalam falsafah dan ideologi negara
terkandung ciri keindonesiaan yang memadukan nilai-nilai ketuhanan
dan kemanusiaan (humanisme religius). Nilai-nilai tersebut tercermin dalam
hubungan individu dan masyarakat, kerakyatan dan permusyawaratan, serta
keadilan dan kemakmuran.
Cita-cita nasional dan falsafah bangsa yang ideal itu
perlu ditransformasikan ke dalam visi nasional dan karakter yang dapat
diwujudkan ke dalam sistem kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam kaitan ini
diperlukan revitalisasi visi dan karakter bangsa. Visi nasional dan karakter
bangsa dalam rentang lima tahun ke depan perlu diarahkan pada tercapainya (1) penguatan nilai dan kultur demokrasi, (2)
terciptanya ketahanan ekonomi nasional, serta (3) penguatan nilai-nilai dan
kepribadian bangsa yang kokoh. Revitalisasi visi dan karakter bangsa lima tahun
ke depan tersebut diproyeksikan untuk mewujudkan Indonesia sebagai bangsa dan
negara yang maju, adil, makmur, berdaulat, dan bermartabat di hadapan
bangsa-bangsa lain.
III. PERMASALAHAN
Indonesia sesungguhnya memiliki modal besar untuk menjadi
sebuah bangsa yang maju, adil, makmur, berdaulat, dan bermartabat. Hal itu
didukung oleh sejumlah fakta positif yang dimiliki bangsa ini. Pertama,
posisi geopolitik yang sangat strategis. Kedua, kekayaan alam dan
keanekaragaman hayati. Ketiga, jumlah penduduk yang besar. Keempat,
kemajemukan sosial budaya. Namun modal dasar dan potensi yang besar itu tidak
dikelola dengan optimal dan sering disia-siakan sehingga bangsa ini kehilangan
banyak momentum untuk maju dengan cepat, sekaligus menimbulkan masalah yang
kompleks.
Dengan menghargai sejumlah kisah sukses di sejumlah
bidang kehidupan seperti keberhasilan dalam demokrasi, pemulihan krisis
ekonomi, dan resolusi konflik di sejumlah daerah; diiakui bahwa Indonesia
hingga saat ini masih menghadapi berbagai masalah nasional yang kompleks. Di
antaranya masalah politik, ekonomi, dan sosial-budaya yang memerlukan prioritas
dan perhatian untuk dipecahkan.
A. Politik
Perkembangan politik nasional relatif
menggembirakan terutama di bidang stabilitas-keamanan dan demokrasi. Hal ini ditandai
oleh peningkatan partisipasi politik, kebebasan pers dan berekspresi, serta
penegakan hukum dan hak asasi manusia. Kenyataan ini telah menempatkan
Indonesia sebagai negara demokratis terbesar setelah India dan Amerika Serikat.
Meskipun demikian, capaian-capaian di
atas masih disertai sejumlah masalah yang memerlukan penyelesaian secara
sungguh-sungguh. Di antaranya sebagai berikut:
1.
Kerancuan sistem ketatanegaraan dan
pemerintahan
Menurut UUD 1945, Indonesia adalah negara kesatuan dengan
sistem pemerintahan presidensial. Salah satu ciri negara kesatuan adalah adanya
hubungan yang kuat antara pusat dan daerah, dengan struktur dan kewenangan yang
jelas. Dalam kenyataannya, watak
kesatuan dan presidensial ini dibayangi oleh praktik-praktik politik yang tidak
konsisten. Pemberian kewenangan yang terlalu luas kepada daerah, kecuali
bidang moneter, luar negeri, pertahanan, agama, dan peradilan telah
mengaburkan hubungan pusat-daerah.
Perubahan ini semakin nampak ketika diberlakukan sistem
pemilihan kepala daerah secara langsung. Dengan itu, secara hukum, kepala
daerah bertanggung jawab kepada rakyat pemilih. Gubernur, Walikota, dan Bupati
tidak bertanggung jawab kepada dan bukan merupakan bawahan Presiden, apalagi Menteri
Dalam Negeri. Dalam konteks inilah sebenarnya sistem ketatanegaraan yang
dipraktekan cenderung menganut asas federalisme. Hal tersebut menganggu
polakerja dan kinerja pemerintahan pusat dalam hubungannya dengan daerah.
2.
Kelembagaan negara yang tidak efektif
Reformasi politik disertai oleh perubahan-perubahan pada
lembaga-lembaga negara yang fungsi dan kewenangannya tumpang
tindih. Pada tataran eksekutif tidak terjadi perkembangan yang berarti,
kecuali besarnya pos-pos kementerian yang menyulitkan koordinasi kebijakan.
Akibatnya, pemerintah tidak berjalan secara efektif dan efisien.
Di lembaga
legislatif terjadi kesenjangan antara struktur dan fungsi. Di satu pihak
terdapat lembaga-lembaga seperti DPR, DPD dan MPR. Di pihak yang lain hanya
lembaga DPR yang berfungsi sebagai pembuat Undang-Undang. Meskipun dipilih secara langsung DPD tidak
memiliki fungsi yang berarti sebagai representasi kepentingan daerah. Sementara
itu MPR hanya memiliki fungsi terbatas.
Di lembaga yudikatif
ketidakefektifan lebih berkaitan dengan lemahnya kinerja dalam penegakan
hukum. Mahkamah Agung dan Kejaksaan Agung beserta jajarannya masih sangat
rentan terhadap upaya penyuapan. Komisi Pemberantasan Korupsi masih terkesan
tebang pilih. Mahkamah Konstitusi dalam kasus tertentu menangani kasus di luar
kewenangannya.
3.
Sistem kepartaian yang tidak mendukung
Keterbukaan politik melahirkan sistem multipartai yang sangat
liberal, dengan syarat mendirikan partai yang sangat longgar. Dalam konteks ini
Indonesia merupakan satu-satunya negara yang memiliki jumlah partai politik
yang sangat banyak. Dengan tidak adanya kekuatan politik yang dominan, proses
pengambilan keputusan baik pada tingkat eksekutif maupun legislatif seringkali
mengalami tarik menarik kepentingan
antara kekuatan-kekuatan politik dalam tingkat yang cukup tinggi. Akibatnya biaya politik menjadi sangat mahal,
disertai kompromi-kompromi politik yang didasarkan atas kepentingan-kepentingan
sempit dan mendorong terjadinya praktek politik uang.
Sistem multipartai yang sangat longgar itu berdampak pula
pada rekruitmen politik yang tidak selektif dan tidak berkualitas. Pada
akhirnya semua hal tersebut menghambat
proses konsolidasi demokrasi dan menciderai prinsip meritokrasi.
4.
Berkembangnya pragmatisme politik
Keterbukaan dan sistem multipartai yang terlalu longgar
berdampak lebih jauh pada perilaku politik yang semakin pragmatis. Para pelaku
politik dengan mudah berpindah partai
atau mendirikan partai baru serta menjadikan politik bukan sebagai
panggilan, tetapi sebagai matapencaharian. Pragmatisme politik tersebut mendorong
praktek-praktek kolutif antara pelaku
politik dan pemilik modal. Perkembangan ini menimbulkan perilaku politik yang
mengedepankan kepentingan diri dan kelompok di atas kepentingan bangsa dan
negara.
B.
Ekonomi
Dalam pembangunan ekonomi banyak kemajuan yang telah
diraih bangsa ini. Pertumbuhan ekonomi
dan rata-rata pendapatan perkapita terus meningkat. Stabilitas makro ekonomi
pun semakin terpelihara. Perhatian pemerintah terhadap persoalan ekonomi
masyarakat semakin nyata dengan banyak dan beragamnya skema program ekonomi yang ditujukan
untuk masyarakat terutama golongan menengah-bawah.
Namun demikian, tidak bisa dipungkiri bahwa berbagai kemajuan ekonomi yang tercermin dari
pertumbuhan dan stabilitas indikator makroekonomi sesungguhnya masih jauh dari
memadai dan bias terhadap fakta-fakta ekonomi yang ada.
Fondasi dan ketahanan ekonomi Indonesia masih lemah dan rentan. Hal ini
disebabkan orientasi pembangunan ekonomi yang lebih menekankan aspek
pertumbuhan, bertumpu pada investasi asing, utang luar negeri, dan
konglomerasi. Kondisi demikian mengakibatkan hasil pembangunan
hanya dikuasai dan dinikmati oleh sebagian kecil masyarakat, kesenjangan
melebar, dan sendi-sendi kehidupan sosial-ekonomi nasional tumbuh tanpa akar yang kuat.
Beberapa persoalan ekonomi nasional yang mendasar dan
bersifat struktural adalah sebagai berikut:
1. Paradigma ekonomi yang tidak konsisten
Paradigma yang melandasi kebijakan dan program ekonomi
masih belum sepenuhnya mengacu dan menganut paradigma perekonomian sebagaimana
yang diamanahkan oleh UUD 1945. Banyak undang-undang yang bertentangan dengan
semangat dan substansi UUD 1945, seperti UU Minyak dan Gas, UU Mineral dan
Batubara, UU Penanaman Modal, dan UU Kelistrikan yang liberal dan jauh dari
semangat UUD 1945, terutama Pasal 33.
Sebagai akibatnya, pengelolaan sumberdaya alam belum
memberi manfaat optimal untuk kesejahteraan masyarakat. Berbagai kontrak di
sektor pertambangan lebih banyak memberi keuntungan finansial kepada
kontraktor, terutama kontraktor asing, sementara masyarakat sekitar lebih
banyak menerima dampak negatif. Pemerintah menerima manfaat yang tidak
sebanding dengan biaya dan kerusakan lingkungan. Sementara pengelolaan
sumberdaya alam terbarukan juga masih menghadapi berbagai persoalan akibat
skala usaha dan infrastruktur yang tidak memadai, produktifitas yang rendah,
dan maraknya aktivitas ekonomi ilegal.
2. Struktur ekonomi dualistis
Struktur ekonomi dualistis masih menjadi ciri dominan
perekonomian nasional. Struktur ini ditandai oleh penguasaan usaha besar oleh
segelintir orang tapi memberi sumbangan besar terhadap PDB, dan usaha
kecil-menengah oleh mayoritas rakyat tapi memberi kontribusi yang relatif kecil
terhadap PDB. Di sisi lain usaha menengah yang biasanya menjadi ciri ekonomi
modern belum terbentuk dengan kuat. Adanya struktur ekonomi yang dualistis ini
menimbulkan kesenjangan pendapatan dan kepemilikan aset antar kelompok masyarakat,
antar sektor modern dan tradisional, serta antar daerah Jawa dan luar Jawa
masih cukup lebar.
Struktur ekonomi yang timpang tersebut menghasilkan
pertumbuhan ekonomi yang tidak berkualitas. Pertumbuhan ekonomi ini lebih
banyak dihasilkan dan dinikmati oleh sektor non-tradeable yang bersifat
padat modal dan padat teknologi, namun rendah dalam menyerap tenaga kerja. Hal
ini mengakibatkan tetap tingginya tingkat pengangguran dan kemiskinan, walau
ekonomi tumbuh cukup signifikan terutama dalam beberapa tahun terakhir.
3. Kebijakan fiskal yang belum mandiri
Kebijakan fiskal belum sepenuhnya mandiri dan berpihak
kepada kepentingan rakyat, terutama kelompok miskin serta rentan terhadap
berbagai gejolak ekonomi. Hal ini disebabkan oleh ketergantungan yang besar
kepada utang luar negeri dan penerimaan dalam negeri yang belum optimal.
Sebagai akibatnya, anggaran negara tidak bisa berfungsi secara optimal untuk
membiayai pembangunan.
4. Sistem keuangan dan perbankan yang tidak memihak
Sistem keuangan dan perbankan yang berlaku belum memihak
sektor usaha mikro, kecil, dan menengah. Keadaan ini diperparah oleh rejim
devisa bebas yang mengakibatkan sistem keuangan Indonesia rentan dan peka
terhadap gejolak ekonomi dan keuangan dunia. Akibatnya belum terbangun sistem
keuangan dan perbankan yang stabil, kokoh, aman, dan terpercaya, sehingga belum
berfungsi optimal dalam menjaga stabilitas ekonomi maupun memberikan pelayanan
yang adil bagi semua pelaku usaha.
5. Kebijakan perdagangan dan industri yang liberal
Kebijakan perdagangan dan industri masih berorientasi
pada liberalisasi, kurang melindungi produk dalam negeri, dan kurang memberi
dorongan pada penciptaan nilai tambah. Sebagai akibatnya industri dalam negeri
kurang memiliki daya saing dan rentan terhadap serbuan produk impor, serta
cenderung mengekspor bahan baku dan barang setengah jadi. Lebih jauh dari
itu kebijakan yang ada menyebabkan
pertumbuhan sektor industri manufaktur rendah.
C. Sosial Budaya
Dalam bidang sosial-budaya Indonesia telah mencapai beberapa
keberhasilan. Di bidang pendidikan terdapat peningkatan anggaran pendidikan,
peningkatan dan pemerataan kesempatan belajar, dan peningkatan prestasi
anak-anak Indonesia di tingkat regional dan internasional. Di bidang penegakan
hukum terdapat keseriusan usaha pemberantasan korupsi yang membawa implikasi
pada moralitas publik, disertai lahirnya produk perundang-undangan yang
berpihak pada hak asasi manusia, perlindungan perempuan dan anak, serta
penegakan moral. Di bidang kehidupan beragama semakin meluas iklim dan
kesadaran untuk hidup rukun dalam kemajemukan. Dalam hubungan sosial masih
cukup kuat budaya gotong royong dan semangat kebersamaan sebagaimana
ditunjukkan ketika menghadapi bencana alam.
Meskipun demikian, masih banyak permasalahan sosial-budaya
yang perlu mendapatkan pemecahan yang serius, di antaranya sebagai berikut:
1. Memudarnya rasa dan ikatan kebangsaan
Memudarnya rasa dan ikatan kebangsaan ditandai oleh
menguatnya primordialisme, apatisme dan individualisme. Primordialisme etnis/kedaerahan, kelompok, dan
keagamaan masih berkembang sebagai dampak dari kebebasan politik yang
berlebihan dan faktor ekonomi. Sementara apatisme dan individualisme, yang
melunturkan nasionalisme terjadi akibat globalisasi yang mendorong penetrasi
budaya asing yang tidak terkelola dengan baik. Kebebasan politik yang
berlebihan juga melahirkan egoisme dan oportunisme politik di kalangan elite
maupun massa yang ditunjukkan dengan perilaku yang lebih mengutamakan
kepentingan partai politik daripada kepentingan bangsa. Faktor ekonomi dapat
mendorong primordialisme yang memudarkan nasionalisme terkait dengan perilaku keserakahan pihak yang diuntungkan
secara ekonomi sehingga cenderung tidak peduli pada masa depan bangsa dan rasa
ketertindasan pihak yang dirugikan sehingga cenderung tidak percaya terhadap
negara.
Masalah lain yang tidak bisa diabaikan adalah gejala
separatisme yang didorong oleh ketidakadilan sosial ekonomi dan gejala
neo-feodalisme yang muncul dari perilaku yang membanggakan kelompok sendiri di
atas kelompok lain.
2.
Disorientasi nilai keagamaan
Kehidupan
beragama masih dihadapkan pada paradoks antara maraknya semangat keagamaan
dengan kecenderungan sikap hidup permisif, materialistik, dan sekuler yang
berlawanan dengan nilai-nilai luhur agama. Semangat keagamaan pada sebagian
masyarakat tereduksi dalam formalisme
yang kering makna spiritual dan moral. Terdapat gejala lain ketika dakwah
sering menjadi komoditas hiburan dan politik yang mengaburkan fungsi otentik
agama.
Di samping itu
keberagamaan belum sepenuhnya berfungsi sebagai faktor integratif dalam
mewujudkan kerukunan, kebersamaan, dan budaya anti kekerasan dalam konfigurasi
kemajemukan bangsa.
3. Memudarnya kohesi dan integrasi sosial
Berbagai bentuk tindak kekerasan dengan motif yang sangat
kompleks masih terus terjadi dalam kehidupan masyarakat. Bangsa
Indonesia yang dikenal santun, berubah menjadi bangsa yang kurang menghargai
perbedaan dan mudah melakukan tindakan kekerasan. Berbagai bentuk
perilaku menyimpang dan kriminalitas seperti penyalahgunaan narkotika,
pembunuhan, pelecehan seksual, perdagangan manusia, pornografi dan pengrusakan
lingkungan hidup cenderung meningkat. Pranata sosial yang luhur seperti gotong
royong dan saling menghormati perbedaan semakin meluruh dalam tata kehidupan
sosial. Budaya patriakhi masih kuat yang membawa implikasi pada pandangan yang
merendahkan harkat dan martabat perempuan.
4. Melemahnya mentalitas positif
Dalam kehidupan masyarakat terdapat kecenderungan
pelemahan mentalitas yang mencerminkan mental bangsa yang lembek (soft
nation). Kelemahan mentalitas tersebut ditandai oleh kecenderungan sikap
inlander, inferior, suka menerabas, perilaku instant, tidak disiplin, suka
meremehkan masalah, tidak menghargai mutu, kurang bertanggung jawab, mudah
mengingkari janji, dan toleran terhadap penyimpangan. Pada saat yang sama kurang
berkembang perilaku yang positif seperti kerja keras, jujur, terpercya, cerdas,
tanggungjawab, menghargai kualitas, dan mentalitas yang unggul lainnya.
VI. Revitalisasi
Perjalanan bangsa Indonesia mengalami perkembangan yang
diwarnai dinamika kesinambungan dan perubahan. Setelah merdeka, bangsa
Indonesia mengalami beberapa periode
kekuasaan politik: Revolusi (1945-1949), Demokrasi Parlementer
(1950-1959), Orde Lama (1959-1966), Orde
Baru (1966-1998), dan Reformasi sejak tahun 1998. Dalam perjalanan bangsa yang
sarat dinamika itu selain muncul berbagai krisis dan permasalahan, pada saat
yang sama terdapat kemajuan-kemajuan yang cukup berarti, sebagai hasil dari
pembangunan nasional yang dilakukan pada setiap periode dan menjadi tonggak
bagi perkembangan Indonesia ke depan.
Pada dua dasawarsa pertama setelah kemerdekaan
dilakukan usaha-usaha pembangunan bangsa
melalui kebijakan Pembangunan Semesta Berencana, termasuk pencanangan “Nation
and Character Building” (Pembangunan Bangsa dan Karakter Bangsa). Namun
karena dilanda berbagai gejolak politik nasional, maka program pembangunan
nasional termasuk pembangunan karakter bangsa, kemudian menjadi terbengkalai.
Pada periode ini hal yang positif ialah perkembangan demokrasi yang cukup
positif sebagaimana kesuksesan Pemilu pertama tahun 1955, kendati setelah itu
terjadi krisis politik nasional yang bermuara pada kejatuhan pemerintahan tahun
1965.
Pada masa Orde Baru diletakkan strategi Pembangunan
Nasional yang terencana dan sistematis melalui Pembangunan Lima Tahun dan
Pembangunan Jangka Panjang 25 Tahun, termasuk di dalamnya isu pembangunan
manusia Indonesia seutuhnya. Pada era ini terutama sekitar satu dasawarsa terdapat kemajuan yang cukup positif
khususnya dalam pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional. Namun pogram
pembangunan nasional yang cukup terencana itu kemudian tereduksi oleh berbagai
kebijakan politik yang otoritarian disertai munculnya masalah-masalah yang pelik
seperti ketimpangan sosial, kemiskinan, utang luar negeri, korupsi dengan
turutannya kolusi dan nepotisme, dan persoalan-persoalan nasional lainnya yang
kompleks. Pemerintahan Orde Baru berakhir dengan hadirnya reformasi tahun 1998.
Reformasi 1998 merupakan babak baru bagi bangsa Indonesia
untuk belajar dari kesuksesan dan kegagalan Orde Lama maupun Orde Baru. Pada
masa ini telah dicapai perubahan-perubahan positif terutama dalam perkembangan
demokratisasi, penegakan hak asasi manusia, pemberantasan korupsi, otonomi
daerah, dan lain-lain. Namun reformasi kehilangan arah karena kekuatan-kekuatan
reformis telah menyia-nyiakan peluang emas di tengah beban bangsa yang sarat
masalah. Dengan menyadari nilai positif yang dihasilkan reformasi dan kesadaran
adanya masalah dan tantangan yang cukup berat, maka kini diperlukan
penajaman-penajaman terhadap visi reformasi maupun pembangunan nasional di
tubuh bangsa ini.
Reformasi perlu dirancang-bangun dan diintegrasikan ke
dalam pembangunan nasional yang bersifat
menyeluruh dan berkesinambungan, sehingga reformasi berada dalam arah dan jalur
yang benar. Pembangunan nasional dalam berbagai bidang kehidupan perlu
dikembangkan dalam bingkai paradigma pembangunan berkelanjutan yang bermakna (sustainable
development with meaning). Paradigma ini bertumpu pada prinsip pengembangan
sumber daya manusia sebagai subjek pembangunan, pemanfaatan sumberdaya alam
secara produktif dengan menjaga kelestarian, kebijakan ekonomi dan politik yang
berpihak kepada kepentingan rakyat, serta menjunjung tinggi moralitas dan
menjaga martabat bangsa. Pada dasarnya pembangunan berkelanjutan yang bermakna
merupakan upaya perbaikan dalam kehidupan manusia dengan menjaga keseimbangan
antara material dan spiritual, individu dan masyarakat.
Dalam lima tahun ke depan diperlukan revitalisasi
politik, ekonomi, dan sosial-budaya sebagai matarantai dari revitalisasi visi
dan karakter bangsa, yakni sebagai berikut:
(1)
Dalam kehidupan politik diperlukan penguatan nilai dan budaya demokrasi ke arah
pemantapan sistem ketatanegaraan dan pemerintahan presidensial, efektivitas
fungsi kelembagaan negara (eksekutif, legislatif, dan yudikatif), rasionalisasi
sistem kepartaian, dan penegakan etika politik.
(2)
Dalam kehidupan ekonomi diperlukan penguatan ekonomi
nasional yang dicirikan dengan terciptanya struktur ekonomi yang adil, mandiri,
berdaya saing, dan memihak kepada rakyat demi tercapainya kemakmuran bangsa.
(3)
Dalam kehidupan sosial budaya diperlukan penguatan rasa
kebangsaan, keber-agama-an yang transformatif, integrasi sosial, dan penanaman
nilai-nilai kepribadian yang kuat dan berkarakter.
A. Revitalisasi
Politik
Kehidupan politik nasional telah
menunjukkan kemajuan yang berarti terutama dalam perkembangan demokrasi. Untuk
penguatan kehidupan politik yang demokratis perlu dilakukan beberapa hal
strategis sebagai berikut:
Pertama, penyederhanaan
jumlah partai politik. Kehadiran partai politik dalam jumlah yang sangat
besar menjadi kendala utama dalam menciptakan sistem presidensial yang kokoh
dan kinerja pemerintahan yang efektif. Hal ini akan semakin nampak khususnya
ketika tidak satupun partai memiliki kekuatan politik dominan. Situasi ini
memaksa pemerintah melakukan kompromi-kompromi dengan cara mengakomodasikan
kepentingan-kepentingan partai-partai politik yang berbeda, dan bahkan
bertentangan. Kenyataan ini mengakibatkan proses pembuatan dan pelaksanaan
kebijakan memerlukan waktu lebih lama.
Jumlah partai
yang banyak sebenarnya hanya lazim dalam sebuah negara yang menganut sistem
pemerintahan parlementer. Dalam konteks ini, keberadaan partai politik yang
sangat banyak itu merupakan anomali dalam sistem pemerintahan presidensiil yang
dianut. Atas dasar itu, penyederhanaan jumlah partai politik merupakan suatu
keharusan.
Meski demikian,
hal ini hendaknya dilakukan secara demokratis dan menurut undang-undang. Selama
ini electroral threshold dipandang sebagai aturan yang mampu mengurangi jumlah
partai secara cukup berarti. Akan tetapi, karena tidak dilakukan secara ketat
dan sungguh-sungguh, dengan menerapkan ambang batas yang sesuai, maka jumlah
partai politik tetap besar hingga kini.
Agenda penyederhanaan jumlah partai
politik dilakukan melalui pemberlakuan electoral threshold secara ketat dan
sungguh-sungguh dengan ketentuan partai-partai politik yang tidak berhasil
melampaui ambang batas (1) tidak boleh
mengikuti pemilu, (2) tidak boleh diubah menjadi partai baru, dan (3) pengurus
dan pengelola partai tidak boleh mendirikan partai baru. Di samping itu angka
ambang batas dinaikkan menjadi 5%.
Kedua, pengefektifan
struktur dan fungsi kelembagaan negara. Sistem perwakilan yang berlaku saat ini mengandung
kesenjangan antara struktur dan fungsi. Menurut undang-undang, lembaga parlemen
yang ada menganut sistem tiga kamar, yaitu MPR, DPD, dan DPR. Akan tetapi,
hanya lembaga DPR yang memiliki fungsi membuat undang-undang dan mengontrol
pemerintah. MPR, yang sering dianggap sebagai lembaga tertinggi negara, hanya
mempunyai fungsi dan kewenangan yang sangat terbatas seperti melakukan
amandemen terhadap UUD. Sementara itu, lembaga DPD tidak memiliki kewenangan
apapun kecuali memberi usul atau masukan kepada DPR sebagai pembuat undang-undang.
Untuk itu, diperlukan ketegasan
sikap di dalam menentukan sistem legislatif sesuai dengan peran dan fungsi yang
dibutuhkan. Dalam hal ini, perlu dilakukan pemilihan yang tegas antara sistem
satu kamar (terdiri hanya DPR) atau dua kamar (terdiri dari DPR dan DPD),
masing-masing dengan tugas dan kewenangan yang jelas. Jika MPR masih ingin
dipertahankan, maka lembaga tersebut hanya bersifat ad hoc, yaitu ketika DPR
dan DPD bersidang bersama-sama, dan bukan lembaga yang mempunyai struktur
organisasi yang permanen.
Di bidang eksekutif, jumlah
departemen dan kementrian negara masih sangat banyak. Sampai tingkat tertentu,
fungsi dari lembaga-lembaga tersebut bersifat tumpang tindih. Kondisi ini
sering menyulitkan koordinasi, dan bahkan menjadi sumber inefisiensi. Untuk itu
diperlukan kemauan politik yang kuat dari penyelenggara negara untuk
menyederhanakan jumlah departemen dan kementrian negara sesuai dengan kebutuhan
berdasarkan prinsip efisiensi.
Ketiga, perumusan
ulang hubungan pemerintah pusat dengan daerah.
Pemilihan kepala daerah secara langsung membawa konsekuensi-konsekuensi
tertentu terhadap hubungan antara pemerintah pusat dengan daerah.
Karena kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat, maka menurut
undang-undang hanya bertanggung jawab kepada yang memilih. Dalam kaitan ini,
gubernur, bupati, dan walikota bukan merupakan bawahan dari pemerintah pusat.
Situasi demikian kurang sesuai
dengan semangat dan prinsip negara kesatuan di mana kepala daerah
merupakan perwakilan atau perpanjangan kekuasaan atau kewenangan dari
pemerintah pusat. Agar bangunan negara kesatuan tetap kokoh maka hubungan pusat
dengan daerah
harus diformulasikan ulang. Hal ini dapat dilakukan antara lain dengan (1) merevisi
UU tentang otonomi daerah, (2) menempatkan gubernur sebagai wakil pemerintah
pusat di daerah yang diangkat oleh pemerintah pusat, (3) bupati/walikota
walaupun dipilih langsung oleh rakyat tetapi dalam hal-hal tertentu yang
bersifat strategis dan berskala nasional merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari pemerintah pusat.
Dengan jumlah propinsi, kabupaten
dan kota yang sudah cukup banyak, pemilihan kepala daerah bisa menjadi
peristiwa yang sering terjadi. Hal ini tentu mempunyai implikasi politik dan ekonomi
yang tidak kecil. Tanpa pengaturan dan pengelolaan yang benar, hal ini dapat
menimbulkan kejenuhan politik dan pemborosan ekonomi yang sangat besar. Untuk
itu, diperlukan kebijakan moratorium pemekaran daerah di satu pihak, dan penyamaan waktu penyelenggaraan
pemilihan kepala daerah di pihak lain.
Keempat, pengembangan
etika dan pendidikan politik. Demokratisasi telah mengembalikan hak dan
kewenangan masyarakat, khususnya yang berkaitan dengan kebebasan dan
partisipasi politik. Akan tetapi, kebebasan politik yang berlebihan –sebagai
akibat dari otoritarianisme politik yang berkepanjangan—telah menimbulkan
hal-hal yang negatif, seperti memudarnya loyalitas dan kesetiaan, dan semakin
menguatnya semangat oportunisme.
Karena itu
diperlukan pengembangan etika dan pendidikan politik bagi elit dan warga negara
sebagai upaya membentuk perilaku dan tindakan politik yang baik dan
bertanggungjawab. Pengembangan etika dan pendidikan politik dapat dilakukan
melalui jalur-jalur formal atau non formal dengan melibatkan kekuatan-kekuatan
sosial dalam masyarakat.
B. Revitalisasi Ekonomi
Pembangunan
ekonomi nasional didasarkan pada paham
demokrasi ekonomi sebagaimana tercantum dalam UUD 1945. Paham ini dimaksudkan
untuk melahirkan sistem ekonomi dengan ciri-ciri sebagai berikut: (a) pemenuhan
kebutuhan dasar (basic needs)
manusia yang menjamin rasa aman, (b) pertumbuhan yang adil, merata, dan
bermakna (shared growth with meaning), (c) orientasi pada sumber daya (resource-based
economy), (d) penguatan negara sebagai pelaku dalam mengatasi berbagai
kegagalan pasar dan ketimpangan sosial; dan (e) ekonomi yang terbuka dan
terintegrasi secara global dengan tetap berdaulat.
Perwujudan sistem
tersebut mensyaratkan hal-hal sebagai berikut: (a) pengakuan pentingnya peran
negara dalam mengatur alokasi sumberdaya
ekonomi, selain pasar dan masyarakat; (b) keberpihakan (affirmative action)
pemerintah guna mewujudkan struktur ekonomi yang lebih sehat dan kuat; (c)
partisipasi yang luas dari masyarakat dalam keseluruhan proses ekonomi; (d)
kesamaan visi seluruh stakeholders bangsa dalam menghadapi tantangan dan
persoalan ekonomi; dan (e) tata kelola pemerintahan yang baik (good
governance) dalam pembangunan ekonomi.
Agenda
revitalisasi ekonomi dalam lima tahun mendatang mencakup aspek-aspek strategis
sebagai berikut.
Pertama, menguatkan
sistem ekonomi yang sesuai dengan UUD 1945. Agenda tersebut
dilakukan melalui penyusunan undang-undang tentang demokrasi ekonomi
sebagaimana diamanatkan
oleh UUD 1945. Di samping itu perlu dilakukan revisi terhadap
undang-undang yang tidak sejalan dengan semangat UUD 1945 seperti UU Minyak dan
Gas, UU Kelistrikan, UU Mineral dan Batubara. Ketiadaan aturan
perundang-undangan yang sesuai dengan semangat yang terkandung dalam UUD 1945
merupakan penyebab utama penyimpangan sistem ekonomi nasional saat ini yang
berdampak pada tidak terciptanya keadilan dan pemerataan.
Kedua, mengarahkan
pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam secara berkelanjutan.
Pengelolaan sumberdaya alam dijadikan sebagai basis utama perekonomian nasional
yang diarahkan kepada upaya kemandirian bangsa di bidang pangan dan energi di
tengah krisis global dalam dua bidang tersebut dewasa ini. Agenda strategis
dalam bidang ini sebagai berikut: (1) melanjutkan program revitalisasi
pertanian secara lebih konkrit melalui penyediaan infrastruktur yang memadai,
pemberdayaan kelembagaan di tingkat petani, penyediaan tenaga penyuluh yang
cukup dan kompeten, peningkatan akses petani terhadap permodalan, pemberdayaan
kelembagaan pemasaran produk petani, dan stabilisasi harga yang menguntungkan
petani; (2) mengembangkan industri pengolahan hasil pertanian (agro based
related industries) yang memiliki keterkaitan kuat dengan industri lainnya;
dan (3) meningkatkan program pengembangan energi alternatif dari sumberdaya
alam yang terbarukan seperti energi surya, angin, gelombang laut, panas bumi,
dan bahan baku nabati. Dalam konteks ini
diperlukan pengkajian ulang kebijakan energi nasional dengan menerapkan
program penganekaragaman energi (energy mix program) yang proporsional.
Untuk itu diperlukan kebijakan fiskal dan moneter, serta perdagangan dan
investasi yang kondusif.
Ketiga, menciptakan
struktur ekonomi yang lebih sehat dan adil.
Agenda ini dilakukan melalui pemberdayaan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) berdasarkan: (1) Strategi naik kelas yang mendorong usaha skala tertentu menjadi usaha skala
lebih besar; dan (2) Strategi kemitraan strategis yang dilakukan untuk memperkuat keterkaitan para pelaku
usaha dalam berbagai skala. Agenda ini perlu dijadikan sebagai aksi keberpihakan (affirmative
actions) untuk menciptakan UMKM yang kompetitif. Agenda pemberdayaan UMKM
mencakup program-program pemberian akses yang mudah dan terbuka terhadap
sumber-sumber pembiayaan (bank dan non-bank), pengembangan kewirausahaan dan
sumber daya manusia, peningkatan peluang pasar produk UMKM, penguatan daya
inovasi dan keterkaitan UMKM, reformasi
peraturan dan kebijakan, serta perlindungan
UMKM dari persaingan usaha yang tidak sehat.
Keempat, melaksanakan
reformasi agraria. Agenda ini penting dilakukan untuk mengurangi
kesenjangan kepemilikan lahan dan mengendalikan konversi lahan yang merugikan
rakyat, melalui penataan aset
pertanahan, redistribusi lahan serta pemberian akses tanah negara kepada
masyarakat miskin, dan penetapan lahan abadi untuk kepentingan pembangunan
pertanian.
Kelima, menjalankan
kebijakan fiskal dan keuangan yang lebih mandiri. Agenda kemandirian fiskal dilakukan dengan
mengurangi ketergantungan pada utang melalui peningkatan penerimaan pajak dan
efisiensi anggaran serta melakukan berbagai skema debt swap. Sementara
agenda kemandirian keuangan dilakukan melalui penyempurnaan terhadap rezim
devisa bebas, dan memberi akses permodalan kepada para pelaku UMKM.
Keenam, menciptakan
kebijakan perdagangan dan industri yang berdaya saing. Beberapa agenda yang
perlu dijalankan adalah sebagai berikut: (1) penerapan strategi picking up
the winners melalui pemberian prioritas industrialisasi pada sektor
industri kunci yang berbasis padat karya dan sumber daya alam; (2) penciptapan
keterkaitan pembangunan industri dengan sektor lain, dan peningkatan nilai
tambah produk dalam negeri; (3) penciptaan iklim usaha yang kondusif bagi
industri dan investasi; (4) revisi berbagai perjanjian dan kerjasama
perdagangan internasional, dan kontrak karya yang tidak memberikan manfaat bagi
rakyat; dan (5) peningkatan peran
diplomasi ekonomi pada institusi-institusi terkait.
C.
Sosial
Budaya
Kemajuan suatu
bangsa terkait dengan karakteristik budaya yang dimilikinya. Beberapa negara
maju dengan sumberdaya alam yang terbatas memiliki prestasi luar biasa dalam
perkembangan ekonomi, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Indonesia sesungguhnya
memiliki potensi untuk maju dengan pesat, tetapi perlu ditopang oleh sistem
sosial-budaya yang positif. Karena itu diperlukan revitalisasi sosial-budaya sebagai berikut:
Pertama,
penguatan rasa dan ikatan kebangsaan. Meningkatkan
pendidikan kewarganegaraan (civic education) yang menekankan pada
penanaman nilai-nilai yang menguatkan rasa cinta bangsa dan kesadaran hidup
berdampingan secara damai dalam kemajemukan bangsa. Langkah ini dapat
diintegrasikan dalam pendidikan formal, informal, dan nonformal sehingga
merupakan satu kesatuan gerakan nasional dalam kehidupan bangsa.
Kedua,
penguatan pengamalan nilai keagamaan. Reorientasi
pendidikan agama dari pengajaran agama ke penanaman nilai-nilai dan budaya
mengamalkan agama dalam kehidupan sehari-hari. Di samping itu perlu dilakukan
pelembagaan nilai-nilai agama dalam kehidupan keluarga dan masyarakat.
Memperluas gerakan keteladanan elite agama dan elite masyarakat termasuk
pejabat publik yang mempraktekkan kata sejalan dengan perbuatan. Dalam konteks
ini organisasi-organisasi keagamaan perlu didukung untuk meningkatkan
peranannya dalam membangun moral dan karakter bangsa.
Ketiga,
penguatan integrasi sosial. Membangkitkan kembali fungsi gotong royong
dan pranata-pranata sosial setempat untuk merekat solidaritas kolektif dan
ikatan kebangsaan. Membangun budaya saling percaya antar individu dan kelompok
masyarakat melalui pendidikan, baik formal, informal, maupun non formal. Menumbuhkan
“pusat masyarakat” (community center) sebagai simpul kerukunan dan kerja
sama antar berbagai elemen masyarakat terutama di komunitas basis. Mengembangkan dialog budaya dan norma-norma sosial yang menyadarkan
semua komponen masyarakat untuk hidup berdampingan secara damai dalam
kemajemukan. Mendorong budaya empati yang menumbuhkan kepedulian dan tanggung
jawab sosial melalui program-program pelayanan sosial.
Keempat,
penguatan mentalitas positif. Menanamkan
sikap dan kebiasaan berperilaku positif sejak usia dini seperti bertindak
jujur, bersih, displin, menghargai waktu, dan tanggung jawab. Penegakan
disiplin melalui penerapan aturan dan kebiasaan, dengan memberikan penghargaan
kepada yang patuh dan sanksi tegas kepada yang melanggar. Dalam hal ini peranan
lembaga pendidikan, keluarga, dan instiusi-institusi sosial di masyarakat
menjadi sangat penting sebagai wahana penananam dan pengembangan nilai-nilai
menuju pembentukan mentalitas positif di tubuh bangsa.
V. KARAKTER BANGSA
Kemajuan dan kemunduran suatu bangsa atau negara
tergantung pada faktor manusianya sebagai pelaku sejarah. Perjuangan
kemerdekaan Indonesia melawan penjajahan tidak terlepas dari kekuatan tekad dan
ikhtiar rakyat sebagai kumpulan manusia yang memiliki jiwa kejuangan yang
tinggi, meskipun kala itu belum terbentuk Indonesia sebagai sebuah nation
atau bangsa sebagaimana mestinya. Pembentukan kebudayaan nasional yang berwatak
majemuk, yang menjadi ciri keindonesiaan,
juga tidak terlepas dari sifat-sifat orang Indonesia yang cenderung
moderat atau tengahan serta terbiasa hidup rukun dan damai dalam keberagaman.
Kehadiran agama-agama besar dunia yaitu Hindu, Budha, Islam, dan Katolik, dan
Prostestan, yang kemudian berinteraksi dengan kebudayaan setempat telah
membentuk orientasi nilai dan pola kepribadian manusia Indonesia yang relijius,
menjunjung tinggi moral, dan hidup saling menghargai dengan menjunjung tinggi
kebaikan bersama.
Namun karena berbagai sebab dalam perkembangan berikutnya
terdapat kelemahan-kelamahan mentalitas di tubuh bangsa Indonesia. Para ahli
menemukan kecenderungan mentalitas orang Indonesia yang tidak sejalan dengan
etos kemajuan dan keunggulan peradaban seperti sifat malas, meremehkan mutu,
suka menerabas (jalan pintas), tidak percaya pada diri sendiri; tidak
berdisiplin murni; suka mengabaikan tanggungjawab, berjiwa feodal, suka pada
hal-hal beraroma mistik, mudah meniru gaya hidup luar dengan kurang selektif,
gaya hidup mewah, dan lain-lain. Kendati kecenderungan mentalitas teresbut
tidak bersifat menyeluruh tetapi manakala dibiarkan akan menjadi penyakit
mentalitas secara kesluruhan di tubuh bangsa ini.
Dalam menghadapi berbagai persaingan peradaban yang
tinggi dengan bangsa-bangsa lain dan demi masa depan Indonesia yang lebih maju
maka diperlukan revitalisasi mentalitas bangsa ke arah pembentukan manusia
Indonesia yang berkarakter kuat. Manusia yang berkarakter kuat dicirikan oleh
kapsitas mental yang membedakan dari orang lain seperti keterpercayaan,
ketulusan, kejujuran, keberanian, ketegasan, ketegaran, kuat dalam memegang
prinsip, dan sifat-sifat khusus lainnya yang melekat dalam dirinya.
Manusia Indonesia yang berkarakter kuat dan melekat
dengan kepribadian bangsa yaitu manusia yang memiliki sifat-sifat: (1) Relijius;
yang dicirikan oleh sikap hidup dan kepribadian taat beribadah, jujur,
terpercaya, dermawan, saling tolong menolong, dan toleran; (2) Moderat;
yang dicirikan oleh sikap hidup yang tidak radikal dan tercermin dalam
kepribadian yang tengahan antara individu dan sosial, berorientasi materi dan
ruhani, serta mampu hidup dan kerjasama dalam kemajemukan; (3) Cerdas;
yang dicirikan oleh sikap hidup dan kepribadian yang rasional, cinta ilmu,
terbuka, dan berpikiran maju; dan (4) Mandiri; yang dicirikan oleh sikap
hidup dan kepribadian merdeka, disiplin tinggi, hemat, menghargai waktu, ulet,
wirausaha, kerja keras, dan memiliki cinta kebangsaan yang tinggi tanpa kehilangan orientasi nilai-nilai kemanusiaan universal dan
hubungan antarperadaban bangsa-bangsa.
Bagi suatu bangsa karakter adalah
nilai-nilai keutamaan yang melekat pada setiap individu warga negara dan
kemudian mengejawantah sebagai personalitas dan identitas kolektif bangsa.
Karakter berfungsi sebagai kekuatan mental dan etik yang mendorong suatu bangsa
merealisasikan cita-cita kebangsaannya dan menampilkan keunggulan-keunggulan
komparatif, kompetitif, dan dinamis di antara bangsa-bangsa lain. Nilai-nilai
keutamaan seperti bekerja keras, menghargai waktu, dan berhemat dalam etika
Protestan, umpamanya, telah mendorong kebangkitan dan kemajuan bangsa-bangsa
Barat. Demikian pula nilai-nilai keutamaan serupa dalam etika Konfusianisme
dianggap telah mendorong kebangkitan negara-negara di kawasan Asia Pasifik
dewasa ini. Sejarah juga menunjukan bahwa etos kemajuan dalam kehidupan kaum
muslimin di masa lampau telah berhasil membangun kejayaan peradaban Islam
selama beberapa abad.
Bangsa Indonesia secara relatif
memiliki nilai-nilai keutamaan yang mengkristal menjadi modal sosial dan budaya
penting. Di antara nilai-nilai itu adalah daya juang, tahan menderita,
mengutamakan harmoni, dan gotong royong. Nilai-nilai keutamaan tersebut masih
relevan, namun memerlukan penyesuaian dan pengembangan sejalan dengan dinamika
dan tantangan zaman. Tantangan globalisasi yang meniscayakan orientasi kepada
kualitas, persaingan dan daya saing menuntut bangsa Indonesia memiliki karakter
yang bersifat kompetitif, dinamis, berkemajuan, dan berkeunggulan.
Karena itu cukup mendesak untuk
dilakukan revitalisasi karakter bangsa, yaitu dengan memelihara dan
meningkatkan nilai-nilai keutamaan yang sudah terbangun sejak dahulu dan
mengembangkan nilai-nilai keutamaan baru, termasuk membuka diri terhadap
nilai-nilai keutamaan bangsa-bangsa yang lebih maju. Di antara nilai-nilai
keutamaan atau karakter yang perlu dimiliki bangsa Indonesia, baik secara
individual maupun kolektif adalah sebagai berikut:
Pertama, nilai-nilai
spiritualitas. Kecenderungan spiritualisitik bangsa yang tinggi dapat
dikembangkan menjadi spiritualisme dinamis. Spiritualisme ini menampilkan
keberagamaan berkemajuan, yaitu keberagamaan yang berorientasi kepada etika
atau akhlak, dan penyeimbangan antara kesalehan individual dan kesalehan
sosial. Karakter untuk hidup
berkebudayaan yang maju dan unggul. Karakter yang demikian dapat ditampilkan
dalam idiom “taat beragama, maju
berbudaya”.
Kedua, nilai-nilai
solidaritas. Kecenderungan warga bangsa untuk berkumpul, berserikat, dan
berorganisasi dapat dikembangkan menjadi solidaritas kebangsaan yang harmonis
dan dinamis. Solidaritas ini diharapkan mengejawantah dalam bentuk
kesetiakawanan sosial dan toleransi terhadap perbedaan. Selain itu, solidaritas
kebangsaan menampilkan orientasi yang mengedepankan kepentingan bangsa di atas
kepentingan kelompok atau golongan.
Perlu ditanamkan kebiasaan untuk hidup berdampingan secara damai atas
dasar saling memahami, saling menghormati, dan saling tolong menolong untuk
kepentingan dan kemajuan bersama.
Ketiga, nilai-nilai
kedisiplinan. Kemajuan bangsa terkendala oleh lemahnya disiplin terhadap
waktu dan norma-norma hukum yang berlaku.
Akibatnya, bangsa ini kurang berdaya saing serta menjadi permisif
terhadap pelanggaran norma-norma hukum. Kebiasaan yang tidak positif ini perlu
diubah menjadi karakter bangsa yang menghargai waktu sehingga mendorong
produktifitas dan daya saing, serta mematuhi norma-norma hukum untuk
terwujudnya ketertiban sosial serta menghindari tindak kekerasan dan
kecenderungan main hakim sendiri.
Keempat, nilai-nilai
kemandirian. Perkembangan internasional telah membuat negara-negara
berkembang termasuk Indonesia mempunyai ketergantungan yang kuat terhadap
negara-negara besar dan maju dalam bidang ekonomi, politik, dan budaya. Kini
saatnya dikembangkan karakter bangsa yang menghilangkan rasa rendah diri untuk
menjadi bangsa yang memiliki kepercayaan diri untuk berdiri sama tinggi dengan
bangsa-bangsa lain.
Kelima, nilai-nilai
kemajuan dan keunggulan. Bangsa Indonesia sebagai bangsa besar dan kaya
dengan sumber
daya alam memiliki peluang untuk bangsa maju dan unggul. Karena
itu diperlukan karakter yang berorientasi kepada prestasi dengan semangat kerja
keras. Dalam hal ini dapat ditanamkan semangat kepada segenap anak bangsa,
bahwa “kita mampu jika kita mau” dan “mengapa tidak menjadi yang terbaik?”.
VI. FAKTOR-FAKTOR STRATEGIS
Kemajuan Indonesia secara objektif ditentukan oleh
faktor-faktor strategis. Di antara faktor-faktor strategis yang menjadi
prasyarat kemajuan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Kepemimpinan Reformatif
Indonesia ke depan memerlukan kepemimpinan yang
reformatif sebagai prasyarat untuk membawa Indonesia menjadi negara dan bangsa
yang maju, adil, makmur, berdaulat, dan bermartabat. Kepemimpinan reformatif
ditandai oleh kepemimpinan yang kuat dan membawa pada perubahan. Kepemimpinan
reformatif merupakan perpaduan antara kualitas kenegarawanan dengan kemampuan
transformatif, yakni kepemimpinan yang berkarakter dan berkepribadian kuat,
mengutamakan kepentingan bangsa dan negara, mampu melakukan memobilisasi
potensi, mengagendakan perubahan, dan memproyeksikan masa depan. Kepemimpinan
tersebut mampu memadukan kekuatan visi, pengambilan keputusan, kapabilitas,
integritas, dan akseptabilitas yang kuat sebagai manifestasi kenegarawanan,
serta mampu memecahkan persoalan-persoalan bangsa.
Kepemimpinan reformatif memiliki kriteria sebagai
berikut: (a) relijius, kata sejalan dengan laku, dan bertanggungjawab; (b) visi
dan karakter kuat sebagai negarawan, yang mengutamakan kepentingan bangsa dan
negara ketimbang diri sendiri, partai politik, dan kroni; (c) berani mengambil
berbagai keputusan strategis dan memecahkan masalah-masalah krusial bangsa;
(d) mewujudkan good governance, tegas dalam melakukan pemberantasan korupsi,
penegakkan hukum, serta penyelamatan aset dan kekayaan negara; (e) menjaga kewibawaan
dan kedaulatan nasional dari berbagai ancaman di dalam dan luar negeri; (f)
melepaskan jabatan partai politik dan jabatan-jabatan lain yang dapat
menimbulkan konflik-kepentingan serta mengganggu jalannya pemerintahan dalam
memimpin bangsa dan negara; dan (g) memiliki strategi perubahan yang membawa
pada kemajuan bangsa.
Para pemimpin di berbagai sektor dan tingkatan perlu
memiliki sifat sidiq, amanah, tabligh, dan fathanah, yang melahirkan
keteladanan yang baik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Keteladanan elite menjadi kunci penting bagi tumbuhnya kepercayaan, sebagai
pusat identifikasi diri bagi rakyat, serta
menjadi modal sosial dan ruhaniah yang berharga untuk kemajuan bangsa.
2. Good
Governance
Faktor dan prasyarat Good Governance di seluruh
struktur pemerintahan baik di eksekutif, legislatif, dan yudikatif tingkat
nasional maupun di lingkungan pemerintahan di daerah. Good Governance
atau tata pemerintahan yang baik merupakan seperangkat tindakan dalam bidang
politik, ekonomi dan administrasi untuk mengelola negara/pemerintahan dengan
benar dan baik; yang menunjuk pada praktik pemerintahan yang bersih dalam
penggunaan kewenangan di bidang politik, ekonomi dan administrasi untuk
mengelola urusan negara dan masyarakat pada setiap peringkat dengan prinsip
sidiq, amanah, tabligh, dan fatanah.
Syarat-syarat untuk terwujudnya Good Governance
antara lain sebagai berikut: (a) Adanya partisipasi publik dalam
penyelenggaraan negara dan pemerintahan., (b) Semua unsur masyarakat memiliki
komitmen untuk menegakkan hukum, (c) Adanya transparansi (keterbukaan) dan
akuntabilitas (pertanggungjawaban) dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara,
(d) Adanya kepekaan dan kepedulian dalam merespon tantangan dan problem
masyarakat, (e) Mengutamakan kepentingan umum, yaitu adanya orientasi kepada
konsensus untuk menciptakan kemaslahatan masyarakat; (f) Setiap warga negara
memiliki kedudukan yang sama/sederajat di depan hukum, (g) Adanya efisiensi dan
efektivitas dalam pengelolaan SDA dan SDM, (h) Adanya visi strategis tentang
negara yang maju dan berdaulat, (i) Kekuasaan yang kuat (powerfull) untuk
menentukan nasib sendiri, dan tidak didikte oleh kekuatan asing.
3. Trust
atau Kepercayaan
Kepercayaan (trust) merupakan modal terpenting untuk mentransformasikan
Indonesia menjadi negara yang maju dan bermartabat tinggi sebagaimana dicapai
oleh negara-negara lain. Kepercayaan terkait dengan penghargaan dan rasa aman
dari berbagai pihak, baik dari rakyat di dalam negeri maupun berbagai pihak di
luar negeri, bahwa bangsa dan pemerintah Indonesia memang dapat mengurus diri
sendiri dengan sebaik-baiknya dan memberikan jaminan seluas-luasnya untuk
kemajuan di berbagai bidang kehidupan. Kepercayaan merupakan modal spiritual
dan sosial yang terkait dengan dukungan rakyat dan pihak lain, kerja keras,
hemat, jujur, amanah, dan kondisi-kondisi internal yang memungkinkan tumbuhnya
segala hal yang positif dan hilangnya segala hal yang negatif di tubuh bangsa
ini.
Kepercayaan di tubuh pemerintahan bukan sekadar berkaitan
dengan legitimasi politik formal, tetapi juga berkaitan dengan kondisi good
governance, termasuk pemerintahan yang tidak korupsi. Iklim investasi yang
kondusif untuk kegiatan ekonomi juga terkait dengan tingkat trust atau
kepercayaan yang dimiliki bangsa Indonesia. Terdapat kecenderungan bahwa faktor
trust mengalami peluruhan di tubuh bangsa ini seperti indeks korupsi yang
tinggi, country risk, buruknya etika kerja, dan pandangan negatif tentang
negara lembek (soft state).
VII. PENUTUP
Indonesia lima tahun ke depan memerlukan
revitalisasi visi dan karakter bangsa sebagai sebagai titik-tumpu dan strategi
perubahan ke arah penguatan yang bersifat konsolidasi, percepatan,
pengembangan, dan pembaruan. Startegi perubahan tersebut diperlukan dengan
dasar pemikiran bahwa berbagai masalah, kesulitan, dan stagnasi yang menjadi beban nasional dan
membuat bangsa ini kehilangan banyak peluang positif untuk bangkit karena dari
segi idealisme dan fondasi kebangsaan sampai batas tertentu kehilangan orientasi
visi dan karakter kepribadiannya sebagai bangsa yang maju, adil, makmur,
berdaulat, dan bermartabat sebagaimana
termaktub dalam Pembukaan UUD 1945.
Revitalisasi visi dan karakter tersebut dapat memacu
akselerasi kemajuan bangsa, yang pilihan aspek dan strateginya secara prioritas
dilakukan melalui revitalisasi politik, ekonomi, dan sosial-budaya terutama
untuk lima tahun ke depan. Revitalisasi visi dan karakter bangsa
tersebut merupakan bagian penting dari reformasi kehidupan nasional di segala
bidang kehidupan yang memiliki implikasi perubahan ke arah kemajuan pada masa
berikutnya. Revitalisasi yang diagendakan itu dapat diwujudkan secara konsisten
apabila didukung oleh faktor-faktor strategis yaitu adanya kepemimpinan yang
reformatif, tata pemerintahan yang baik, dan kepercayaan yang tinggi di tubuh
bangsa ini. Selain itu diperlukan kemauan politik dan kerja keras pemerintah
serta seluruh kekuatan politik yang melibatkan segenap komponen nasional
termasuk organisasi-organisasi kemasyarakatan sebagai pilar strategis
bangsa. Dengan segenap potensi,
kesungguhan, dan ikhtiar yang dilakukan melalui revitalisasi yang strategis
itu, disertai limpahan berkah Allah Yang
Maha Kuasa, maka Indonesia akan menjadi
bangsa dan negara yang maju, adil, makmur, berdaulat, dan bermartabat
sebagaimana cita-cita kemerdekaan.
***
~Pimpinan Pusat Muhammadiyah~
![lintasberita](http://www.lintasberita.com/buttons_lb/lintasberita-100x20.gif)
Thank's gan infonya !!!!
BalasHapuswww.bisnistiket.co.id