Ya, budaya tafkir[1] semakin memudar di kalangan kaum muslim saat ini. Kemajuan teknologi memungkinkan informasi dari sebuah halaman website tersebar dan dibaca ribuan orang dalam hitungan menit. Kejadian dan fenomena satu menit yang lalu yang terjadi di Afrika dapat langsung diketahui oleh orang pedalaman Kalimantan. Dakwah Islam dari berbagai golongan bertebaran di dunia maya. Sayangnya, masyarakat terlalu mudah percaya dengan perkataan atau tulisan orang lain tanpa ada keinginan untuk tabayyun mencari kebenaran dari ilmu-ilmu yang didapatkan.
Tidak
bisa dipungkiri, budaya literasi saat ini semakin menurun. Perpustakaan yang
dahulu menjadi tempat rujukan memperoleh informasi saat ini banyak yang semakin
sepi. Masyarakat telah termudahkan oleh teknologi untuk mendapat informasi.
Tahun 90an ketika komputer dan laptop belum marak, tugas makalah dan karya
tulis dikerjakan sungguh-sungguh dengan mencari referensi dari berbagai buku.
Untuk mencari sebuah hukum syari’at
seseorang harus membuka berbagai buku-buku tebal. Sekarang dengan mengetikkan kata
kunci pada mesin pencari, Mbah Google dan Om Yahoo siap memberikan banyak
rujukan hukum. Dengan teknik ”copas” otak dan mata yang dulu harus diperas
untuk mendapat tulisan bermutu dapat diistirahatkan. Pertanyaan mendasar bagi
kaum akademisi adalah yakinkah informasi
yang didapatkan benar-benar valid dan dapat dipertanggungjawabkan? Lantas
benarkah kita telah taat pada “perintah Rasulullah”?
Masalah
serupa juga terjadi di kalangan khatib masjid. Sikap kebanyakan khatib di
masjid-masjid saat ini dapat diibaratkan sebagai “pemungut kayu di malam hari”.
Inilah jeleknya. Mereka ambil begitu saja hadits-hadits yang dijumpai dari
kitab apapun yang mereka baca atau dari perkataan dan pembicaraan siapapun yang
mereka dengar, tanpa mau bersusah-payah mencari sumber hadits tersebut. Mereka
tidak pernah berusaha mencari tahu siapa penyusun kitab hadits mu’tamad yang meriwayatkannya, siapa
nama sahabat yang meriwayatkannya, bagaimana kedudukannya, shahih, dhaif,
maqbul, atau mardud? Apakah hadits tersebut dapat dijadikan dalil dalam konteks
ini atau tidak? Layakkah disampaikan kepada masyarakat umum atau orang-orang
tertentu?
Penulis
juga sering mendengarkan khutbah Jum’at atau ceramah Ramadhan di masjid-masjid,
dan ditemui sejumlah hadits yang dinisbatkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, padahal
sanadnya tidak dapat diterima dan isi serta maknanya tertolak.
Apalagi
hadits yang dinisbatkan kepada kitab hadits selain Shahih al-Bukhari dan Shahih
Muslim, kesahihan dan kehasanannya tidak dapat dijamin bila tidak ada
pernyataan dari imam yang muktabar dari kalangan ahli hadits dan kritikus
hadits. Sebab di dalam kitab-kitab tersebut terkadang didapati hadits yang
dhaif, dha’if jiddan (sangat lemah),
dan maudhu’ (palsu)[2].
Contoh
nyata, penulis pernah menemukan sebuah nasihat tertempel apik di dinding sebuah
sekolah Islam di Yogyakarta bertuliskan, ”من الايمان النظافة “ kalimat arab yang
bermakna kebersihan sebagian dari iman itu dituliskan merupakan hadits Rasulullah
yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah. Padahal kalimat من الايمان النظافة (kebersihan itu sebagian dari iman) dengan
susunan lafal seperti itu bukanlah berasal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam baik melalui sanad yang shahih,
hasan, maupun dha’if[3].
Lantas begaimana bisa kalimat tersebut
diklaim sebagai riwayat Ibnu Majah? Sedangkan matan hadits yang dimaksud tidak
ditemukan dalam kitab manapun? Parahnya kalimat “kebersihan itu sebagian dari
iman” sudah sangat masyhur di kalangan masyarakat Indonesia dan didakwahkan ke
mana-mana.
Contoh
di atas masih sederhana dan tidak menimbulkan banyak masalah di kalangan kaum
muslimin. Walaupun tidak ditemukan lafalnya, pada hakikatnya Islam tetap
memperhatikan masalah kebersihan, bahkan ditekankan dan diberikan anjuran
khusus untuk menjaga kebersihan badan, pakaian, dan tempat ibadah, dan
sebagainya, seperti yang banyak ditemukan dalam shahihain (Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim).
Di
masyarakat saat ini juga sering dijumpai dalil “fitnah itu lebih kejam daripada
pembunuhan”. Dalil tersebut dinisbatkan kepada surat al-Baqarah ayat 191:
“Dan
bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat
mereka telah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah
itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi
mereka di Masjidil-haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu.
Jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), maka bunuhlah mereka. Demikianlah
balasan bagi orang-orang kafir.”
Padahal
fitnah dalam ayat yang dimaksud maknanya jauh berbeda daripada fitnah
sebagaimana anggapan masyarakat Indonesia kebanyakan. Dalam kamus besar bahasa
Indonesia, fitnah berarti perkataan bohong atau tanpa berdasarkan kebenaran
yang disebarkan dengan maksud menjelekkan orang (seperti menodai nama baik,
merugikan kehormatan orang, sedangkan dalam kamus al-Munawwir fitnah memiliki
makna kesesatan, batu ujian, cobaan, aib, dan noda. Sepanjang penelitian
penulis, tidak ada satupun kitab tafsir yang memaknai fitnah sebagaimana kamus
bahasa Indonesia.
Contoh
lain, ketika penentuan hari raya ‘Id, sering terlontar hadits Nabi ikhtilaafu ummaty rahmah yang maknanya
perbedaan di antara kaumku adalah rahmat. Namun ketika diteliti lebih dalam,
sanad untuk hadits ikhtilaafu ummaty
rahmah tidak ditemukan oleh ahli hadits, karena hadits tersebut umumnya
disebutkan oleh ahli fiqih tanpa sanad. Ada riwayat lain yang menyampaikan
dengan lafal ikhtilaafu ashhaaby lakum rahman,
dan hal itu dikatakan marfu’, artinya sampai kepada Nabi, disebutkan dalam
al-Firdaus dari sahabat Ibnu Abbas yang riwayatnya pun dhaif[4].
Dua
contoh terakhir jelas tidak sederhana dan dapat merusak kemurnian ajaran agama
Islam. Namun itulah kenyataan yang terjadi saat ini. Tidak hanya kaum awam,
para khatib yang biasa berbicara di depan mimbar kadang tidak sadar akan
kesalahan ini. Ketika masyarakat telah dibutakan oleh taqlid, saat itulah kemurnian paham agama Islam diuji. Lantas
bagaimanakah kita harus bersikap? Dalam hal inilah kaum akademisi menjadi
pionir utama dalam menumbuhkan kembali budaya tafkir.
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,
“Sesungguhnya Allah
tidak mencabut ilmu agama dengan cara mencabutnya dari hati manusia, tetapi
Allah mencabutnya dengan cara mewafatkan para ulama, sehingga apabila sudah
tidak ada lagi ulama yang tersisa, maka orang-orang akan menjadikan orang-orang
bodoh sebagai pemimpin yang apabila ditanya mereka akan menjawab tanpa dasar
ilmu agama, sehingga mereka tersesat dan menyesatkan semua orang[5]”
Begitulah
Allah Ta’ala meninggikan para ulama[6]
sebagai penentu masa depan ummat. Kaum akademisi sebagai ujung tombak masa
depan sudah semestinya paham bahwa masalah taqlid
buta, terutama dalam hal agama saat ini akan menjadi sebuah masalah besar
di masa yang akan datang. Bagaimana keadaan ummat di masa depan dapat dilihat
dari sedalam apa kaum akademisi muda saat ini belajar agama Islam, dan jika
budaya taqlid ini terus membudaya
tanpa akhir masa depan sesuai sabda Rasulullah di atas akan terwujud sesat dan
menyesatkan!
Khatimah
Di
zaman serba modern ini tidak mudah untuk menyaring ilmu agama yang masuk dalam
otak. Dahulu, ketika zaman Rasulullah masih hidup, untuk bisa mendapatkan kepastian
terkait suatu perkara Rasulullah dapat menjadi rujukan langsung. Namun bukan
berarti karena saat ini Rasulullah telah tiada lantas proses tabayyun itu terhenti. Kemajuan
teknologi saat ini bukanlah alasan untuk mencari jalan pintas dalam belajar
ilmu agama, tapi sebagai sarana dan jawaban dari Sang Pencipta agar manusia
dapat meneliti dan menelaah hukum-hukum agama dengan metode yang lebih canggih
daripada metode Bukhari!
Sesungguhnya
Islam ini telah sempurna. Allah ta’ala berfirman
dalam surat al-Maidah ayat 3:
“Pada hari ini telah
Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan
telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu”.
Dikuatkan
pula dengan sabda Rasulullah:
"Telah
aku tinggalkan untuk kamu sekalian dua perkara yang apabila kamu berpegang
teguh pada keduanya, niscaya tidak akan sesat selamanya, yaitu: Kitabullah dan
Sunnah-ku (HR. Imam Muslim)"
Jika memang kita beriman kepada Allah dan
Rasul-Nya, tentulah ketaatan menjadi bukti nyata keimanan tersebut. Namun
sebelum kita benar-benar mengaku taat, berpikirlah sejenak, dan renungkanlah, apakah perintah yang ditaati itu
benar-benar murni dari Allah dan Rasul-Nya? Saatnya tabayyun! ^_^
Daftar
Pustaka
Ahmad,
Zainudin. 1996. Mukhtashar Shahih
Al-Bukhari. Riyadh: Daar as-Salam
Bahreisj,
Hussein. 18987. Himpunan Hadits Shahih
Muslim. Surabaya: Al-Ikhlas
Haekal,
Muhammad Husein. 1972. Sejarah Hidup
Muhammad. Jakarta: Tintamas Indonesia
Hamka.
1992. Tafsir Al-Azhar Juz’u 15.
Jakarta: Pustaka Panjimas
Munawwir,
Ahmad Warson. Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia. Surabaya: Pustaka Progressif
Qardhawi,
Yusuf. 1995. Fatwa-Fatwa Kontemporer Jilid 2. Jakarta: Gema Insani
Shihab,
M. Quraish. 2002. Tafsir Al Mishbah:
Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati
Tim
PP Muhammadiyah Majlis Tarjih. 2003. Tanya Jawab Agama 4. Yogyakarta: Suara
Muhammadiyah
[1] Dalam
Kamus Al-Munawwir mashdar yang berasal dari kata fakkaro-yufakkiru yang berarti memikirkan. Lawan dari kata taqliid yang berarti mengikuti sesuatu tanpa dasar ilmu yang jelas
[2] Lihat
fatwa-fatwa Kontemporer Jilid 2 halaman 112. Yusuf Qardhawi menulis hal serupa
pada beberapa kitab karangan lain seperti Tsaqafah
ad-Da’iyah, Kaifa Nata’aamalu Ma’a as-Sunnah an-Nabawiyah, dan dalam
mukadimah al-Muntaqa min at-Targhib wa
at-Tarhib
[3]
Dikemukakan oleh Yusuf Qordhowi dalam kitab Fatwa-Fatwa Kontemporer Jilid 2.
[4] Lihat
Tanya Jawab Agama Jilid 4 yang disusun oleh Majelis Tarjih PP Muhammadiyah
halaman 23
[5] Hadits
ini diriwayatkan oleh al-Bukhari, hadits nomor 100. Diriwayatkan dari
Abdullah bin Amru bin Ash
[6] Ulama
adalah bentuk jamak dari kata ‘aalim dalam
bahasa arab yang berarti -orang yang berilmu, dalam hal ini, ulama adalah orang
yang memiliki keilmuan agama lebih.
assalaamu'alaikum.
BalasHapusjazakumullahu khairan atas artikel yang bermanfaat ini.
saya jadikan rujukan untuk tulisan bebas saya.
Wa'alaikumussalam warahmatullaahi wabarakaatuh..
HapusSama-sama... ^_^