Selasa, 04 September 2012

Urgensi Tafkir & Tabayyun dalam Beragama


Ya, budaya tafkir[1] semakin memudar di kalangan kaum muslim saat ini. Kemajuan teknologi memungkinkan informasi dari sebuah halaman website tersebar dan dibaca ribuan orang dalam hitungan menit. Kejadian dan fenomena satu menit yang lalu yang terjadi di Afrika dapat langsung diketahui oleh orang pedalaman Kalimantan. Dakwah Islam dari berbagai golongan bertebaran di dunia maya. Sayangnya, masyarakat terlalu mudah percaya dengan perkataan atau tulisan orang lain tanpa ada keinginan untuk tabayyun mencari kebenaran dari ilmu-ilmu yang didapatkan.

Tidak bisa dipungkiri, budaya literasi saat ini semakin menurun. Perpustakaan yang dahulu menjadi tempat rujukan memperoleh informasi saat ini banyak yang semakin sepi. Masyarakat telah termudahkan oleh teknologi untuk mendapat informasi. Tahun 90an ketika komputer dan laptop belum marak, tugas makalah dan karya tulis dikerjakan sungguh-sungguh dengan mencari referensi dari berbagai buku. Untuk mencari sebuah hukum syari’at seseorang harus membuka berbagai buku-buku tebal. Sekarang dengan mengetikkan kata kunci pada mesin pencari, Mbah Google dan Om Yahoo siap memberikan banyak rujukan hukum. Dengan teknik ”copas” otak dan mata yang dulu harus diperas untuk mendapat tulisan bermutu dapat diistirahatkan. Pertanyaan mendasar bagi kaum akademisi adalah yakinkah informasi yang didapatkan benar-benar valid dan dapat dipertanggungjawabkan? Lantas benarkah kita telah taat pada “perintah Rasulullah”?
Masalah serupa juga terjadi di kalangan khatib masjid. Sikap kebanyakan khatib di masjid-masjid saat ini dapat diibaratkan sebagai “pemungut kayu di malam hari”. Inilah jeleknya. Mereka ambil begitu saja hadits-hadits yang dijumpai dari kitab apapun yang mereka baca atau dari perkataan dan pembicaraan siapapun yang mereka dengar, tanpa mau bersusah-payah mencari sumber hadits tersebut. Mereka tidak pernah berusaha mencari tahu siapa penyusun kitab hadits mu’tamad yang meriwayatkannya, siapa nama sahabat yang meriwayatkannya, bagaimana kedudukannya, shahih, dhaif, maqbul, atau mardud? Apakah hadits tersebut dapat dijadikan dalil dalam konteks ini atau tidak? Layakkah disampaikan kepada masyarakat umum atau orang-orang tertentu?
Penulis juga sering mendengarkan khutbah Jum’at atau ceramah Ramadhan di masjid-masjid, dan ditemui sejumlah hadits yang dinisbatkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, padahal sanadnya tidak dapat diterima dan isi serta maknanya tertolak.
Apalagi hadits yang dinisbatkan kepada kitab hadits selain Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, kesahihan dan kehasanannya tidak dapat dijamin bila tidak ada pernyataan dari imam yang muktabar dari kalangan ahli hadits dan kritikus hadits. Sebab di dalam kitab-kitab tersebut terkadang didapati hadits yang dhaif, dha’if jiddan (sangat lemah), dan maudhu’ (palsu)[2].
Contoh nyata, penulis pernah menemukan sebuah nasihat tertempel apik di dinding sebuah sekolah Islam di Yogyakarta bertuliskan, ”من الايمان النظافة “ kalimat arab yang bermakna kebersihan sebagian dari iman itu dituliskan merupakan hadits Rasulullah yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah. Padahal kalimat   من الايمان النظافة (kebersihan itu sebagian dari iman) dengan susunan lafal seperti itu bukanlah berasal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam baik melalui sanad yang shahih, hasan, maupun dha’if[3]. Lantas begaimana bisa  kalimat tersebut diklaim sebagai riwayat Ibnu Majah? Sedangkan matan hadits yang dimaksud tidak ditemukan dalam kitab manapun? Parahnya kalimat “kebersihan itu sebagian dari iman” sudah sangat masyhur di kalangan masyarakat Indonesia dan didakwahkan ke mana-mana.
Contoh di atas masih sederhana dan tidak menimbulkan banyak masalah di kalangan kaum muslimin. Walaupun tidak ditemukan lafalnya, pada hakikatnya Islam tetap memperhatikan masalah kebersihan, bahkan ditekankan dan diberikan anjuran khusus untuk menjaga kebersihan badan, pakaian, dan tempat ibadah, dan sebagainya, seperti yang banyak ditemukan dalam shahihain (Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim).
Di masyarakat saat ini juga sering dijumpai dalil “fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan”. Dalil tersebut dinisbatkan kepada surat al-Baqarah ayat 191:
“Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil-haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. Jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), maka bunuhlah mereka. Demikianlah balasan bagi orang-orang kafir.”
Padahal fitnah dalam ayat yang dimaksud maknanya jauh berbeda daripada fitnah sebagaimana anggapan masyarakat Indonesia kebanyakan. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, fitnah berarti perkataan bohong atau tanpa berdasarkan kebenaran yang disebarkan dengan maksud menjelekkan orang (seperti menodai nama baik, merugikan kehormatan orang, sedangkan dalam kamus al-Munawwir fitnah memiliki makna kesesatan, batu ujian, cobaan, aib, dan noda. Sepanjang penelitian penulis, tidak ada satupun kitab tafsir yang memaknai fitnah sebagaimana kamus bahasa Indonesia.
Contoh lain, ketika penentuan hari raya ‘Id, sering terlontar hadits Nabi ikhtilaafu ummaty rahmah yang maknanya perbedaan di antara kaumku adalah rahmat. Namun ketika diteliti lebih dalam, sanad untuk hadits ikhtilaafu ummaty rahmah tidak ditemukan oleh ahli hadits, karena hadits tersebut umumnya disebutkan oleh ahli fiqih tanpa sanad. Ada riwayat lain yang menyampaikan dengan lafal ikhtilaafu ashhaaby lakum rahman, dan hal itu dikatakan marfu’, artinya sampai kepada Nabi, disebutkan dalam al-Firdaus dari sahabat Ibnu Abbas yang riwayatnya pun dhaif[4].
Dua contoh terakhir jelas tidak sederhana dan dapat merusak kemurnian ajaran agama Islam. Namun itulah kenyataan yang terjadi saat ini. Tidak hanya kaum awam, para khatib yang biasa berbicara di depan mimbar kadang tidak sadar akan kesalahan ini. Ketika masyarakat telah dibutakan oleh taqlid, saat itulah kemurnian paham agama Islam diuji. Lantas bagaimanakah kita harus bersikap? Dalam hal inilah kaum akademisi menjadi pionir utama dalam menumbuhkan kembali budaya tafkir.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,
“Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu agama dengan cara mencabutnya dari hati manusia, tetapi Allah mencabutnya dengan cara mewafatkan para ulama, sehingga apabila sudah tidak ada lagi ulama yang tersisa, maka orang-orang akan menjadikan orang-orang bodoh sebagai pemimpin yang apabila ditanya mereka akan menjawab tanpa dasar ilmu agama, sehingga mereka tersesat dan menyesatkan semua orang[5]
Begitulah Allah Ta’ala meninggikan para ulama[6] sebagai penentu masa depan ummat. Kaum akademisi sebagai ujung tombak masa depan sudah semestinya paham bahwa masalah taqlid buta, terutama dalam hal agama saat ini akan menjadi sebuah masalah besar di masa yang akan datang. Bagaimana keadaan ummat di masa depan dapat dilihat dari sedalam apa kaum akademisi muda saat ini belajar agama Islam, dan jika budaya taqlid ini terus membudaya tanpa akhir masa depan sesuai sabda Rasulullah di atas akan terwujud sesat dan menyesatkan!
Khatimah
Di zaman serba modern ini tidak mudah untuk menyaring ilmu agama yang masuk dalam otak. Dahulu, ketika zaman Rasulullah masih hidup, untuk bisa mendapatkan kepastian terkait suatu perkara Rasulullah dapat menjadi rujukan langsung. Namun bukan berarti karena saat ini Rasulullah telah tiada lantas proses tabayyun itu terhenti. Kemajuan teknologi saat ini bukanlah alasan untuk mencari jalan pintas dalam belajar ilmu agama, tapi sebagai sarana dan jawaban dari Sang Pencipta agar manusia dapat meneliti dan menelaah hukum-hukum agama dengan metode yang lebih canggih daripada metode Bukhari!
Sesungguhnya Islam ini telah sempurna. Allah ta’ala berfirman dalam surat al-Maidah ayat 3:
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu”.
Dikuatkan pula dengan sabda Rasulullah:
"Telah aku tinggalkan untuk kamu sekalian dua perkara yang apabila kamu berpegang teguh pada keduanya, niscaya tidak akan sesat selamanya, yaitu: Kitabullah dan Sunnah-ku (HR. Imam Muslim)"
Jika memang kita beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, tentulah ketaatan menjadi bukti nyata keimanan tersebut. Namun sebelum kita benar-benar mengaku taat, berpikirlah sejenak, dan renungkanlah, apakah perintah yang ditaati itu benar-benar murni dari Allah dan Rasul-Nya? Saatnya tabayyun! ^_^




Daftar Pustaka
Ahmad, Zainudin. 1996. Mukhtashar Shahih Al-Bukhari. Riyadh: Daar as-Salam
Bahreisj, Hussein. 18987. Himpunan Hadits Shahih Muslim. Surabaya: Al-Ikhlas
Haekal, Muhammad Husein. 1972. Sejarah Hidup Muhammad. Jakarta: Tintamas Indonesia
Hamka. 1992. Tafsir Al-Azhar Juz’u 15. Jakarta: Pustaka Panjimas
Munawwir, Ahmad Warson. Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia. Surabaya: Pustaka Progressif
Qardhawi, Yusuf. 1995. Fatwa-Fatwa Kontemporer Jilid 2. Jakarta: Gema Insani
Shihab, M. Quraish. 2002. Tafsir Al Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati
Tim PP Muhammadiyah Majlis Tarjih. 2003. Tanya Jawab Agama 4. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah




[1] Dalam Kamus Al-Munawwir mashdar yang berasal dari kata fakkaro-yufakkiru yang berarti memikirkan. Lawan dari kata taqliid yang berarti  mengikuti sesuatu tanpa dasar ilmu yang jelas
[2] Lihat fatwa-fatwa Kontemporer Jilid 2 halaman 112. Yusuf Qardhawi menulis hal serupa pada beberapa kitab karangan lain seperti Tsaqafah ad-Da’iyah, Kaifa Nata’aamalu Ma’a as-Sunnah an-Nabawiyah, dan dalam mukadimah al-Muntaqa min at-Targhib wa at-Tarhib
[3] Dikemukakan oleh Yusuf Qordhowi dalam kitab Fatwa-Fatwa Kontemporer Jilid 2.
[4] Lihat Tanya Jawab Agama Jilid 4 yang disusun oleh Majelis Tarjih PP Muhammadiyah halaman 23
[5] Hadits ini diriwayatkan oleh al-Bukhari, hadits nomor 100. Diriwayatkan dari Abdullah bin Amru bin Ash
[6] Ulama adalah bentuk jamak dari kata ‘aalim dalam bahasa arab yang berarti -orang yang berilmu, dalam hal ini, ulama adalah orang yang memiliki keilmuan agama lebih.
lintasberita
3

2 komentar:

  1. assalaamu'alaikum.
    jazakumullahu khairan atas artikel yang bermanfaat ini.
    saya jadikan rujukan untuk tulisan bebas saya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wa'alaikumussalam warahmatullaahi wabarakaatuh..
      Sama-sama... ^_^

      Hapus