Pengumpulan
Al-Qur’an (jam’ul Qur’an) oleh para ulama adalah :
a.
Pengumpulan
dalam arti hafazhahu (menghafalnya dalam hati). Jumma’ul Qur’an artinya huffazhuhu
(para penghafalnya, yaitu orang-orang yang menghafalnya di dalam hati).
Dalam firman
Allah (QS. Al-Qiyamah: 16-19) kepada Nabi, dimana Nabi senantiasa
menggerak-gerakan kedua bibir dan lidahnya untuk membaca Al-Qur’an ketika
Al-Qur’an itu turun kepadanya sebelum Jibril selesai membacakannya, karena
hasrat besarnya untuk menghafalnya.
b.
Pengumpulan
dalam arti kitabuhu kullihi (penulisan Al-Qur’an semuanya) baik dengan
memisah-misahkan ayat-ayat dan surat-suratnya, atau menertibkan ayat-ayatnya
semata dan setiap surat ditulis dalam satu lembaran yang terpisah, ataupun
menertibkan ayat-ayat dan surat-suratnya dalam lembaran-lembaran yang terkumpul
yang menghimpun semua surat, sebagiannya ditulis sesudah sebagian yang lain.
B.
Pengumpulan Al-Qur’an pada masa Rasulullah SAW
a.
Pengumpulan
Al-Qur’an dalam Konteks Hafalan Pada Masa Nabi
Rasulullah SAW
sangat mencintai wahyu, ia senantiasa menunggu penurunan wahyu dengan rasa
rindu, lalu menghafal dan memahaminya. Beliau adalah hafidz (penghafal)
Al-Qur’an pertama dan merupakan contoh paling baik bagi para sahabat dalam
menghafalnya. Hal itu sebagai bentuk rasa cinta mereka kepada sumber agama dan
risalah islam.
Dalam kitab shahih-nya,
Al-Bukhari telah mengemukakan tentang tujuh penghafal Al-Qur’an dengan tiga
riwayat. Mereka adalah Abdullah bin Mas’ud, Salim bin Ma’qil maula Abi
Hudzaifah, Muadz bin Jabal, Ubay bin
Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Said bin Sakan , dan Abu Darda.
Di samping semangat para sahabat untuk mempelajari dan menghafal
Al-Qur’an, Rasulullah pun mendorong mereka kearah itu dan memilih orang-orang
tertentu untuk mengajarkan Al-Qur’an kepada mereka. Ubadah bin Ash-Shamit
berkata, “Apabila ada seseorang yang hujrah (masuk islam) Nabi menyerahkan
kepada salah seorang di antara kami untuk mengajari Al-Qur’an, sehingga
Rasulullah sering terdengar gemuruh suara orang membaca Al-Qur’an, sehingga
Rasulullah memerintahkan mereka agar merendahkan suara supaya tidak saling
mengganggu.”
Maksud dari pembatasan tujuh orang sebagaimana disebutkan
Al-Bukhari dengan tiga riwayat di atas adalah mereka itulah yang hafal seluruh
isi Al-Qur’an di luar kepala, dan selalu merujukkan hafalannya di hadapan Nabi,
isnad-isnadnya sampai kepada kita. Sedangkan para penghafal Al-Qur’an lainnya
yang berjumlah banyak tidak memenuhi hal-hal tersebut, terutama karena para
sahabat telah tersebar di berbagai wilayah dan sebagian mereka menghafal dari
yang lain. Cukuplah sebagai bukti tentang hal ini bahwa para sahabat yang
terbunuh di Birru Ma’unnah semuanya disebut Qurra’, jumlahnya
tujuh puluh orang sebagaimana disebutkan dalam hadist shahih. Menurut
Al-Qurthubi, “Ada tujuh puluh orang qarri’ yang terbunuh pada Perang Yamamah.
Pada masa Nabi, dalam pertempuran di Bi’ru Ma’unah, terbunuh juga
sebanyak itu.”
b.
Pengumpulan
Al-Qur’an dalam Konteks Penulisannya Pada Masa Nabi
Rasulullah SAW
mengangkat para penulis wahyu Al-Qur’an (asisten) dari sahabat-sahabat terkemuka,
seperti Ali, Muawiyah, Ubay bin Ka’ab, dan Zaid bin Tsabit. Bila ayat turun,
beliau memerintahkan kepada mereka untuk menuliskannya dan menunjukkan dimana
tempat ayat tersebut dalam surat. Maka penulisan pada lembaran itu membantu
penghafalan di dalam hati.
Sebagian
sahabat juga menulis Al-Qur’an atas inisiatif sendiri pada pelepah kurma,
lempengan batu, papan tipis, kulit, atau
daun kayu, pelana, dan potongan tulang belulang binatang. Zaid bin Tsabit
berkata, “Kami menyusun Al-Qur’an di hadapan Rasulullah pada kulit binatang.”
Para sahabat
senantiasa menyodorkan Al-Qur’an kepada Rasulullah baik dalam bentuk hafalan
maupun tulisan. Tulisan- tulisan Al-Qur’an pada masa Nabi tidak terkumpul dalam
satu mushaf. Dan biasanya yang ada di tangan seorang sahabat itu belum tentu
dimiliki oleh orang lain.
Az-Zarkasyi
berkata, “Al-Qur’an tidak di tuliskan dalam satu mushaf pada zaman nabi agar ia
tidak berubah pada setiap waktu. Oleh sebab itu penulisannya dilakukan kemudian
sesudah Al-Qur’an selesai turun semua, yaitu dengan wafatnya Rasulullah.”
Dengan
pengertian inilah di tafsirkan apa yang diriwayatkan dari Zaid bin Tsabit yang
mengatakan,”Rasulullah telah wafat, sedang Al-Qur’an belum dikumpulkan sama
sekali.” Maksudnya, ayat-ayat dan surat-suratnya belum dikumpulkan secara
tertib dalam satu mushaf. Al-Khatthabi berkata, “Rasulullah tidak mengumpulkan
Al-Qur’an dalam satu mushaf itu, sebab Nabi masih selalu menanti turunnya wahyu
dari waktu ke waktu. Sesudah berakhir masa turunnya dengan wafatnya Rasulullah,
maka Allah mengilhamkan penulisan mushaf secara lengkap kepada para Khulafa’ur
Rasyidin sesuai dengan janji-Nya yang benar kepada umat ini tentang jaminan
pemeliharaannya. Hal ini terjadi pertama kali pada masa Abu Bakar atas
pertimbangan usulan Umar.”
Dengan
demikian, jam’u Al-Qur’an (pengumpulan Al-Qur’an) di masa Nabi ini
dinamakan, Hifdzan (hafalan) dan Kitabatan (pembukuan) yang
pertama.
C.
Pengumpulan Al-qur’an Pada Masa Abu Bakar ash-Shidiq RA
Abu Bakar
menjabat sebagai Khalifah pertama dalam islam sesudah Rasulullah wafat. Ia
dihadapkan kepada peristiwa-peristiwa besar berkenaan dengan murtadnya sejumlah
orang Arab. Kerena itu ia segera menyiapkan pasukan dan mengirimkannya untuk
memerangi orang-orang yang murtad itu. Peperangan Yamamah yang terjadi pada
tahun dua belas Hijriah melibatkan sejumlah besar sahabat penghafal Al-Qur’an
yaitu tujuh puluh qari’ dari para sahabat gugur. Umar bin Al-Khatab merasa
sangat khawatir melihat kenyataan ini, lalu ia menghadap Abu Bakar dan
mengajukan usul kepadanya agar mengumpulkan dan membukukan Al-Qur’an karena
dikhawatirkan akan musnah, sebab peperangan Yamamah telah banyak menggugurkan
para qari’.
Di sisi lain,
Umar merasa khawatir juga kalau-kalau peperangan di tempat-tempat lain akan
membunuh banyak qari’ pula sehingga Al-Qur’an akan hilang dan musnah. Akan
tetapi, Abu Bakar menolak usulan ini dan keberatan melakukan apa yang tidak
pernah dilakukan oleh Rasulullah. Namun Umar tetap membujuknya, sehingga Allah
membukakan hati Abu Bakar untuk memerintahkan Zaid bin Tsabit mengingat
kedudukannya dalam masalah qira’at, hafalan, penulisan, pemahaman, dan
kecerdasannya serta kehadirannya pada pembacaan yang terakhir kali.
Zaid bin Tsabit berkata,”Abu Bakar
memanggilku untuk menyampaikan berita mengenai korban perang Yamamah. Ternyata
Umarsudah ada disana. Abu Bakar berkata,’Umar telah datang kepadaku dan
mengatakan bahwa perang di Yamamah telah menelan banyak korban dari kalangan qurra’
dan ia khawatir kalau-kalau terbunuhnya para qurra’ itu juga akan
terjadi di tempat-tempat yang lain, sehingga sebagian besar Al-Qur’an akan
musnah. Ia menganjurkan agar aku memerintahkan seseorang untuk mengumpulkan
Al-Qur’an. Maka aku katakan kepadanya, ‘Bagaimana mungkin kita akan melakukan
sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah?’. Tetapi Umar menjawab dan
bersumpah, “Demi Allah, perbuatan tersebut baik.” Ia terus membujukku sehingga
Allah membukakan hatiku untuk menerima usulnya, dan akhirnya aku sependapat
dengan Umar. Lalu Abu Bakar berkata kepadaku, “Engkau seorang pemuda yang
cerdas dan kami tidak meragukan kemampuanmu. Engkau telah menuliskan wahyu
untuk Rasulullah. Oleh karena itu carilah Al-Qur’an dan kumpulkanlah.”
Jawabku,”Demi Allah, sekiranya mereka memintaku untuk memindahkan gunung,
rasanya tidak lebih berat bagiku daripada perintah mengumpulkan Al-Qur’an.” ,
“Mengapa anda berdua ingin melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan
Rasulullah?”, Abu Bakar menjawab, “Demi Allah, ini adalah sesuatu yang baik.”
Abu Bakar tetap membujukku sehingga Allah membukakan hatiku sebagaimana Ia
telah membukakan hati Abu Bakar dan Umar. Maka aku pun mulai mencari Al-Qur’an.
Kukumpulkan ia dari pelepah kurma, kepingan-kepingan batu, dan dari hafalan
para penghafal, sampai akhirnya aku mendapatkan akhir surat At-Taubah berada
pada Abu Khuzaimah Al-Anshari yang tidak kudapatkan pada orang lain, yaitu ayat
‘Laqad jaa’akum rasulun min anfusikum…’ hingga akhir ayat dalam QS.
At-Taubah : 128. Lembaran-lembaran tersebut kemudian di simpan di tangan Abu
Bakar hingga wafatnya. Sesudah itu, berpindah ke tangan Umar sewaktu masih
hidup, dan selanjutnya berada di tangan Hafshah binti Umar.”
Para ulama
berpendapat bahwa penanaman Al-Qur’an dengan mushaf, itu baru muncul sejak saat
itu, yaitu ketika Abu Bakar mengumpulkan Al-Qur’an. Kata Ali,”Orang yang paling
besar pahalanya berkenaan dengan mushaf ialah Abu Bakar. Semoga Allah
melimpahkan rahmatNya kepada Abu Bakar. Dialah orang yang pertama mengumpulkan
kitab Allah.” Jam’u Al-Qur’an pada periode Abu Bakar ini dinamakan Jam’u
Al-Qur’an ats-tsani (pengumpulan Al-Qur’an kedua).
D.
Pengumpulan Al-Qur’an Pada Masa ‘Ustman ibn ‘Affan RA
Setelah wilayah
kekuasaan Islam semakin luas, dan para qurra’ pun tersebar di berbagai
wilayah, penduduk di setiap wilayah itu biasanya mempelajari qira’at
(bacaan) ayat dari qari’ yang dikirim kepada mereka. Pembacaan Al-Qur’an yang
mereka bawakan berbeda-beda, relevan dengan perbedaan huruf-huruf yang
dengannya Al-Qur’an diturunkan. Apabila mereka berkumpul di suatu pertemuan
atau di suatu medan peperangan, sebagian mereka merasa heran akan adanya
perbedaan qira’at ini. Terkadang sebagian mereka merasa puas karena mengetahui
bahwa perbedaan-perbedaan itu semuanya disandarkan kepada Rasulullah. Tetapi keadaan
demikian ternyata tidak dapat membendung adanya keraguan di benak generasi baru
yang tidak berjumpa Rasulullah, sehingga terjadilah pembicaraan tentang bacaan
mana yang baku dan mana yang lebih baku. Akhirnya akan menimbulkan pertentangan
bila terus tersiar, bahkan hampir menimbulkan permusuhan dan perbuatan dosa.
Oleh karenanya fitnah seperti itu harus segera diselesaikan.
Anas
meriwayatkan, bahwa Hudzaifah bin Al-Yaman dating kepada Utsman. Ia pernah ikut
berperang melawan penduduk Syam bagian Armenia dan Azerbaijan bersama dengan
penduduk Irak. Hudzaifah amat terkejut oleh perbedaan mereka dalam qiraat. Lalu
ia berkata kepada Ustman, “Selamatkanlah umat ini sebelum mereka terlibat dalam
perselisihan masalah Al-Qur’an sebagaimana perselisihan orang-orang Yahudi dan
Nasrani.” Utsman kemudian mengirim surat kepada Hafshah, “Sudilah kiranya anda
kirimkan kepada kami lembaran-lembaran yang bertuliskan Al-Qur’an itu, kami
akan menyalinnya menjad beberapa mushaf, setelah itu kami akan
mengembalikannya.” Hafshah pun mengirimkan mushaf tersebut kepada Utsman lalu
Utsman memerintahkan Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Az-Zubair, Said bin Al-Ash,
dan Abdurrahman bin Al-Harits bin Hisyam untuk menyalinnya. Mereka menyalinnya
menjadi beberapa mushaf. Utsman berkata kepada ketiga orang Quraisy itu, “Bila
kamu berselisih pendapat dengan Zaid bin Tsabit tentang sesuatu dari Al-Qur’an,
maka tulislah dengan dialek Quraisy, karena Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa
Quraisy.” Mereka melaksanakan perintah itu. Setelah mereka selesai menyalinnya
menjadi beberapa mushaf, Ustman mengembalikan lembaran-lembaran asli itu kepada
Hafshah. Selanjutnya Utsman mengirimkan mushaf baru tersebut ke setiap wilayah
dan memerintahkan agar semua Al-Qur’an atau mushaf lainnya di bakar.
Suwaid bin
Ghaflah berkata, Ali mengatakan; “Katakanlah segala yang baik tentang Utsman.
Demi Allah, apa yang telah dilakukannya mengenai mushaf-mushaf Al-Qur’an sudah
atas persetujuan kami.” Utsman pernah berkata, “Bagaimana pendapatmu tentang
isu qira’at ini? Saya mendapat berita bahwa sebagian mereka mengatakan bahwa
qira’atnya lebih baik dari qira’at orang lain. Ini hampir menjadi suatu
kekufuran.” Kami berkata, “Bagaimana pendapatmu?”, Ia menjawab, “Aku
berpendapat agar umat bersatu pada satu mushaf, sehingga tidak terjadi lagi
perpecahan dan perselisihan.” Kami berkata,”Pendapatmu sangat baik.”
Keterangan ini
menunjukkan apa yang dilakukan Utsman telah disepakati oleh para sahabat.
Mushaf-mushaf itu ditulis dengan satu huruf (dialek) dari tujuh huruf Al-Qur’an
seperti yang di turunkan agar orang bersatu dalam satu qira’at. Utsman telah
mengembalikan lembaran-lembaran yang asli kepada hafshah. Lalu dikirimkan pula
ke setiap wilayah masing-masing satu mushaf, dan di tahannya satu mushaf di
Madinah, yaitu mushafnya sendiri yang kemudian di kenal dengan nama “mushaf
Imam.” Penamaan mushaf imam itu sesuai dengan apa yang terdapat dalam
riwayat-riwayat terdahulu dimana ia mengatakan, “Bersatulah wahai
sahabat-sahabat Muhammad, dan tulislah untuk semua orang sati imam (mushaf
Al-Qur’an sebagai pedoman).”
Ibnu Jarir
member komentar menarik tentang apa yang telah dilakukan oleh utsman, “Ia
menyatukan umat islam dalam satu mushaf dan satu huruf, sedang mushaf yang lain
di hancurkan. Ia memerintahkan agar setiap orang membakar mushaf yang berbeda
dengan mushaf yang telah disepakati itu. Umat pun mendukungnya dengan taat,
mereka melihat Utsman telah bertindak sesuai dengan petunjuk dan sangat
bijaksana. Maka umat meninggalkan qira’at dengan enam huruf lainnya, sesuai
dengan permintaan pemimpinnya yang adil itu, sebagai bukti ketaatan kepadanya
dan karena pertimbangan kemaslahatan bagi mereka dan generasi sesudahnya.
Dengan demikian segala qira’at yang lain sudah di musnakan tak tersisa. Kaum
Muslimin menolak melanggengkan qira’at dengan huruf-huruf lain yang telah
menimbulkan konflik besar, tanpa mengingkari kebenarannya. Hal itu dilakukan
demi kebaikan kaum muslimin sendiri. Dan sekarang ini tidak ada lagi qira’at
bagi kaum muslimin selain qira’at dengan satu huruf yang telah dipilih oleh
pemimpin mereka yang baik itu.”
Apabila
sebagian orang yang dangkal ilmunya berkata, “Bagaimana mereka boleh
meninggalkan qira’at yang telah dibacakan oleh Rasulullah dan diperintahkan
pula membaca dengan cara itu?” Maka jawabnya ialah, “Bahwa perintah Rasulullah
SAW itu bukan suatu perintah wajib dan fardhu, tetapi hanya menunjukkan
kebolehan dan keringanan (rukhsah). Sebab andaikata qira’at dengan tujuh huruf
di wajibkan kepada mereka, tentulah pengetahuan tentang setiap huruf dari ketujuh
huruf itu wajib pula bagi orang yang mempunyai hujjah untuk menyampaikannya.
Dan beritanya pun harus pasti dan tidak boleh ada hal yang di ragukan di benak
para penghafal umat itu. Oleh karena mereka tidak menyampaikan hal tersebut,
maka ini merupakan bukti bahwa dalam masalah qira’at mereka boleh memilih,
sesudah adanya sebagian orang di kalangan umat yang menyampaikan Al-Qur’an
menjadikan sebagian dari tujuh huruf sebagai hujjah.
Jika demikian
halnya, maka mereka tidak dipandang telah meninggalkan tugas dalam menyampaikan
semua qira’at yang tujuh tersebut. Kewajiban mereka ialah apa yang sudah mereka
kerjakan itu, yaitu melakukan sesuatu yang sangat berguna bagi islam dan kaum
muslimin. Oleh karena itu menjalankan apa yang menjadi kewajiban mereka sendiri
lebih utama daripada melakukan sesuatu yang dapat membawa kepada tindakan
criminal dan bencana terhadap islam dn pemeluknya.”
DAFTAR PUSTAKA
Ash-Shiddieqy,
Muhammad Hasby, Teungku, Prof. Dr., Sejarah
dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Pustaka Rizki Putra, ed.3.th 2009.
Al-Qaththan, Syaikh Manna’, Pangantar
Studi Ilmu Al-Qur’an, Pustaka Al-Kautsar, cet.6.th 2011.
Ash-Shabuni, Ali, Syaikh Muhammad, Ikhtisar Ulumul Al-Qur’an Praktis, Pustaka Amani, th.2001.
![lintasberita](http://www.lintasberita.com/buttons_lb/lintasberita-100x20.gif)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar