Senin, 02 April 2012

Pengumpulan Al-Qur'an



 




A.    Pengertian Pengumpulan Al quran
Pengumpulan Al-Qur’an (jam’ul Qur’an) oleh para ulama adalah :
a.       Pengumpulan dalam arti hafazhahu (menghafalnya dalam hati). Jumma’ul Qur’an artinya huffazhuhu (para penghafalnya, yaitu orang-orang yang menghafalnya di dalam hati).
Dalam firman Allah (QS. Al-Qiyamah: 16-19) kepada Nabi, dimana Nabi senantiasa menggerak-gerakan kedua bibir dan lidahnya untuk membaca Al-Qur’an ketika Al-Qur’an itu turun kepadanya sebelum Jibril selesai membacakannya, karena hasrat besarnya untuk menghafalnya.
b.      Pengumpulan dalam arti kitabuhu kullihi (penulisan Al-Qur’an semuanya) baik dengan memisah-misahkan ayat-ayat dan surat-suratnya, atau menertibkan ayat-ayatnya semata dan setiap surat ditulis dalam satu lembaran yang terpisah, ataupun menertibkan ayat-ayat dan surat-suratnya dalam lembaran-lembaran yang terkumpul yang menghimpun semua surat, sebagiannya ditulis sesudah sebagian yang lain.



B.     Pengumpulan Al-Qur’an pada masa Rasulullah SAW

a.       Pengumpulan Al-Qur’an dalam Konteks Hafalan Pada Masa Nabi
        Rasulullah SAW sangat mencintai wahyu, ia senantiasa menunggu penurunan wahyu dengan rasa rindu, lalu menghafal dan memahaminya. Beliau adalah hafidz (penghafal) Al-Qur’an pertama dan merupakan contoh paling baik bagi para sahabat dalam menghafalnya. Hal itu sebagai bentuk rasa cinta mereka kepada sumber agama dan risalah islam.

      Dalam kitab shahih-nya, Al-Bukhari telah mengemukakan tentang tujuh penghafal Al-Qur’an dengan tiga riwayat. Mereka adalah Abdullah bin Mas’ud, Salim bin Ma’qil maula Abi Hudzaifah,  Muadz bin Jabal, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Said bin Sakan , dan Abu Darda.

Di samping semangat para sahabat untuk mempelajari dan menghafal Al-Qur’an, Rasulullah pun mendorong mereka kearah itu dan memilih orang-orang tertentu untuk mengajarkan Al-Qur’an kepada mereka. Ubadah bin Ash-Shamit berkata, “Apabila ada seseorang yang hujrah (masuk islam) Nabi menyerahkan kepada salah seorang di antara kami untuk mengajari Al-Qur’an, sehingga Rasulullah sering terdengar gemuruh suara orang membaca Al-Qur’an, sehingga Rasulullah memerintahkan mereka agar merendahkan suara supaya tidak saling mengganggu.”

Maksud dari pembatasan tujuh orang sebagaimana disebutkan Al-Bukhari dengan tiga riwayat di atas adalah mereka itulah yang hafal seluruh isi Al-Qur’an di luar kepala, dan selalu merujukkan hafalannya di hadapan Nabi, isnad-isnadnya sampai kepada kita. Sedangkan para penghafal Al-Qur’an lainnya yang berjumlah banyak tidak memenuhi hal-hal tersebut, terutama karena para sahabat telah tersebar di berbagai wilayah dan sebagian mereka menghafal dari yang lain. Cukuplah sebagai bukti tentang hal ini bahwa para sahabat yang terbunuh di Birru Ma’unnah semuanya disebut Qurra’, jumlahnya tujuh puluh orang sebagaimana disebutkan dalam hadist shahih. Menurut Al-Qurthubi, “Ada tujuh puluh orang qarri’ yang terbunuh pada Perang Yamamah. Pada masa Nabi, dalam pertempuran di Bi’ru Ma’unah, terbunuh juga sebanyak itu.”

b.      Pengumpulan Al-Qur’an dalam Konteks Penulisannya Pada Masa Nabi
    Rasulullah SAW mengangkat para penulis wahyu Al-Qur’an (asisten) dari sahabat-sahabat terkemuka, seperti Ali, Muawiyah, Ubay bin Ka’ab, dan Zaid bin Tsabit. Bila ayat turun, beliau memerintahkan kepada mereka untuk menuliskannya dan menunjukkan dimana tempat ayat tersebut dalam surat. Maka penulisan pada lembaran itu membantu penghafalan di dalam hati.

      Sebagian sahabat juga menulis Al-Qur’an atas inisiatif sendiri pada pelepah kurma, lempengan batu,  papan tipis, kulit, atau daun kayu, pelana, dan potongan tulang belulang binatang. Zaid bin Tsabit berkata, “Kami menyusun Al-Qur’an di hadapan Rasulullah pada kulit binatang.”

    Para sahabat senantiasa menyodorkan Al-Qur’an kepada Rasulullah baik dalam bentuk hafalan maupun tulisan. Tulisan- tulisan Al-Qur’an pada masa Nabi tidak terkumpul dalam satu mushaf. Dan biasanya yang ada di tangan seorang sahabat itu belum tentu dimiliki oleh orang lain.

      Az-Zarkasyi berkata, “Al-Qur’an tidak di tuliskan dalam satu mushaf pada zaman nabi agar ia tidak berubah pada setiap waktu. Oleh sebab itu penulisannya dilakukan kemudian sesudah Al-Qur’an selesai turun semua, yaitu dengan wafatnya Rasulullah.”

    Dengan pengertian inilah di tafsirkan apa yang diriwayatkan dari Zaid bin Tsabit yang mengatakan,”Rasulullah telah wafat, sedang Al-Qur’an belum dikumpulkan sama sekali.” Maksudnya, ayat-ayat dan surat-suratnya belum dikumpulkan secara tertib dalam satu mushaf. Al-Khatthabi berkata, “Rasulullah tidak mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu mushaf itu, sebab Nabi masih selalu menanti turunnya wahyu dari waktu ke waktu. Sesudah berakhir masa turunnya dengan wafatnya Rasulullah, maka Allah mengilhamkan penulisan mushaf secara lengkap kepada para Khulafa’ur Rasyidin sesuai dengan janji-Nya yang benar kepada umat ini tentang jaminan pemeliharaannya. Hal ini terjadi pertama kali pada masa Abu Bakar atas pertimbangan usulan Umar.”

     Dengan demikian, jam’u Al-Qur’an (pengumpulan Al-Qur’an) di masa Nabi ini dinamakan, Hifdzan (hafalan) dan Kitabatan (pembukuan) yang pertama.

C.    Pengumpulan Al-qur’an Pada Masa Abu Bakar ash-Shidiq RA
  
Abu Bakar menjabat sebagai Khalifah pertama dalam islam sesudah Rasulullah wafat. Ia dihadapkan kepada peristiwa-peristiwa besar berkenaan dengan murtadnya sejumlah orang Arab. Kerena itu ia segera menyiapkan pasukan dan mengirimkannya untuk memerangi orang-orang yang murtad itu. Peperangan Yamamah yang terjadi pada tahun dua belas Hijriah melibatkan sejumlah besar sahabat penghafal Al-Qur’an yaitu tujuh puluh qari’ dari para sahabat gugur. Umar bin Al-Khatab merasa sangat khawatir melihat kenyataan ini, lalu ia menghadap Abu Bakar dan mengajukan usul kepadanya agar mengumpulkan dan membukukan Al-Qur’an karena dikhawatirkan akan musnah, sebab peperangan Yamamah telah banyak menggugurkan para qari’.

Di sisi lain, Umar merasa khawatir juga kalau-kalau peperangan di tempat-tempat lain akan membunuh banyak qari’ pula sehingga Al-Qur’an akan hilang dan musnah. Akan tetapi, Abu Bakar menolak usulan ini dan keberatan melakukan apa yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah. Namun Umar tetap membujuknya, sehingga Allah membukakan hati Abu Bakar untuk memerintahkan Zaid bin Tsabit mengingat kedudukannya dalam masalah qira’at, hafalan, penulisan, pemahaman, dan kecerdasannya serta kehadirannya pada pembacaan yang terakhir kali.
Zaid bin Tsabit berkata,”Abu Bakar memanggilku untuk menyampaikan berita mengenai korban perang Yamamah. Ternyata Umarsudah ada disana. Abu Bakar berkata,’Umar telah datang kepadaku dan mengatakan bahwa perang di Yamamah telah menelan banyak korban dari kalangan qurra’ dan ia khawatir kalau-kalau terbunuhnya para qurra’ itu juga akan terjadi di tempat-tempat yang lain, sehingga sebagian besar Al-Qur’an akan musnah. Ia menganjurkan agar aku memerintahkan seseorang untuk mengumpulkan Al-Qur’an. Maka aku katakan kepadanya, ‘Bagaimana mungkin kita akan melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah?’. Tetapi Umar menjawab dan bersumpah, “Demi Allah, perbuatan tersebut baik.” Ia terus membujukku sehingga Allah membukakan hatiku untuk menerima usulnya, dan akhirnya aku sependapat dengan Umar. Lalu Abu Bakar berkata kepadaku, “Engkau seorang pemuda yang cerdas dan kami tidak meragukan kemampuanmu. Engkau telah menuliskan wahyu untuk Rasulullah. Oleh karena itu carilah Al-Qur’an dan kumpulkanlah.” Jawabku,”Demi Allah, sekiranya mereka memintaku untuk memindahkan gunung, rasanya tidak lebih berat bagiku daripada perintah mengumpulkan Al-Qur’an.” , “Mengapa anda berdua ingin melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan Rasulullah?”, Abu Bakar menjawab, “Demi Allah, ini adalah sesuatu yang baik.” Abu Bakar tetap membujukku sehingga Allah membukakan hatiku sebagaimana Ia telah membukakan hati Abu Bakar dan Umar. Maka aku pun mulai mencari Al-Qur’an. Kukumpulkan ia dari pelepah kurma, kepingan-kepingan batu, dan dari hafalan para penghafal, sampai akhirnya aku mendapatkan akhir surat At-Taubah berada pada Abu Khuzaimah Al-Anshari yang tidak kudapatkan pada orang lain, yaitu ayat ‘Laqad jaa’akum rasulun min anfusikum…’ hingga akhir ayat dalam QS. At-Taubah : 128. Lembaran-lembaran tersebut kemudian di simpan di tangan Abu Bakar hingga wafatnya. Sesudah itu, berpindah ke tangan Umar sewaktu masih hidup, dan selanjutnya berada di tangan Hafshah binti Umar.”

Para ulama berpendapat bahwa penanaman Al-Qur’an dengan mushaf, itu baru muncul sejak saat itu, yaitu ketika Abu Bakar mengumpulkan Al-Qur’an. Kata Ali,”Orang yang paling besar pahalanya berkenaan dengan mushaf ialah Abu Bakar. Semoga Allah melimpahkan rahmatNya kepada Abu Bakar. Dialah orang yang pertama mengumpulkan kitab Allah.” Jam’u Al-Qur’an pada periode Abu Bakar ini dinamakan Jam’u Al-Qur’an ats-tsani (pengumpulan Al-Qur’an kedua).

D.     Pengumpulan Al-Qur’an Pada Masa ‘Ustman ibn ‘Affan RA

Setelah wilayah kekuasaan Islam semakin luas, dan para qurra’ pun tersebar di berbagai wilayah, penduduk di setiap wilayah itu biasanya mempelajari qira’at (bacaan) ayat dari qari’ yang dikirim kepada mereka. Pembacaan Al-Qur’an yang mereka bawakan berbeda-beda, relevan dengan perbedaan huruf-huruf yang dengannya Al-Qur’an diturunkan. Apabila mereka berkumpul di suatu pertemuan atau di suatu medan peperangan, sebagian mereka merasa heran akan adanya perbedaan qira’at ini. Terkadang sebagian mereka merasa puas karena mengetahui bahwa perbedaan-perbedaan itu semuanya disandarkan kepada Rasulullah. Tetapi keadaan demikian ternyata tidak dapat membendung adanya keraguan di benak generasi baru yang tidak berjumpa Rasulullah, sehingga terjadilah pembicaraan tentang bacaan mana yang baku dan mana yang lebih baku. Akhirnya akan menimbulkan pertentangan bila terus tersiar, bahkan hampir menimbulkan permusuhan dan perbuatan dosa. Oleh karenanya fitnah seperti itu harus segera diselesaikan.

Anas meriwayatkan, bahwa Hudzaifah bin Al-Yaman dating kepada Utsman. Ia pernah ikut berperang melawan penduduk Syam bagian Armenia dan Azerbaijan bersama dengan penduduk Irak. Hudzaifah amat terkejut oleh perbedaan mereka dalam qiraat. Lalu ia berkata kepada Ustman, “Selamatkanlah umat ini sebelum mereka terlibat dalam perselisihan masalah Al-Qur’an sebagaimana perselisihan orang-orang Yahudi dan Nasrani.” Utsman kemudian mengirim surat kepada Hafshah, “Sudilah kiranya anda kirimkan kepada kami lembaran-lembaran yang bertuliskan Al-Qur’an itu, kami akan menyalinnya menjad beberapa mushaf, setelah itu kami akan mengembalikannya.” Hafshah pun mengirimkan mushaf tersebut kepada Utsman lalu Utsman memerintahkan Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Az-Zubair, Said bin Al-Ash, dan Abdurrahman bin Al-Harits bin Hisyam untuk menyalinnya. Mereka menyalinnya menjadi beberapa mushaf. Utsman berkata kepada ketiga orang Quraisy itu, “Bila kamu berselisih pendapat dengan Zaid bin Tsabit tentang sesuatu dari Al-Qur’an, maka tulislah dengan dialek Quraisy, karena Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Quraisy.” Mereka melaksanakan perintah itu. Setelah mereka selesai menyalinnya menjadi beberapa mushaf, Ustman mengembalikan lembaran-lembaran asli itu kepada Hafshah. Selanjutnya Utsman mengirimkan mushaf baru tersebut ke setiap wilayah dan memerintahkan agar semua Al-Qur’an atau mushaf lainnya di bakar.

Suwaid bin Ghaflah berkata, Ali mengatakan; “Katakanlah segala yang baik tentang Utsman. Demi Allah, apa yang telah dilakukannya mengenai mushaf-mushaf Al-Qur’an sudah atas persetujuan kami.” Utsman pernah berkata, “Bagaimana pendapatmu tentang isu qira’at ini? Saya mendapat berita bahwa sebagian mereka mengatakan bahwa qira’atnya lebih baik dari qira’at orang lain. Ini hampir menjadi suatu kekufuran.” Kami berkata, “Bagaimana pendapatmu?”, Ia menjawab, “Aku berpendapat agar umat bersatu pada satu mushaf, sehingga tidak terjadi lagi perpecahan dan perselisihan.” Kami berkata,”Pendapatmu sangat baik.”

Keterangan ini menunjukkan apa yang dilakukan Utsman telah disepakati oleh para sahabat. Mushaf-mushaf itu ditulis dengan satu huruf (dialek) dari tujuh huruf Al-Qur’an seperti yang di turunkan agar orang bersatu dalam satu qira’at. Utsman telah mengembalikan lembaran-lembaran yang asli kepada hafshah. Lalu dikirimkan pula ke setiap wilayah masing-masing satu mushaf, dan di tahannya satu mushaf di Madinah, yaitu mushafnya sendiri yang kemudian di kenal dengan nama “mushaf Imam.” Penamaan mushaf imam itu sesuai dengan apa yang terdapat dalam riwayat-riwayat terdahulu dimana ia mengatakan, “Bersatulah wahai sahabat-sahabat Muhammad, dan tulislah untuk semua orang sati imam (mushaf Al-Qur’an sebagai pedoman).”

Ibnu Jarir member komentar menarik tentang apa yang telah dilakukan oleh utsman, “Ia menyatukan umat islam dalam satu mushaf dan satu huruf, sedang mushaf yang lain di hancurkan. Ia memerintahkan agar setiap orang membakar mushaf yang berbeda dengan mushaf yang telah disepakati itu. Umat pun mendukungnya dengan taat, mereka melihat Utsman telah bertindak sesuai dengan petunjuk dan sangat bijaksana. Maka umat meninggalkan qira’at dengan enam huruf lainnya, sesuai dengan permintaan pemimpinnya yang adil itu, sebagai bukti ketaatan kepadanya dan karena pertimbangan kemaslahatan bagi mereka dan generasi sesudahnya. Dengan demikian segala qira’at yang lain sudah di musnakan tak tersisa. Kaum Muslimin menolak melanggengkan qira’at dengan huruf-huruf lain yang telah menimbulkan konflik besar, tanpa mengingkari kebenarannya. Hal itu dilakukan demi kebaikan kaum muslimin sendiri. Dan sekarang ini tidak ada lagi qira’at bagi kaum muslimin selain qira’at dengan satu huruf yang telah dipilih oleh pemimpin mereka yang baik itu.”

            Apabila sebagian orang yang dangkal ilmunya berkata, “Bagaimana mereka boleh meninggalkan qira’at yang telah dibacakan oleh Rasulullah dan diperintahkan pula membaca dengan cara itu?” Maka jawabnya ialah, “Bahwa perintah Rasulullah SAW itu bukan suatu perintah wajib dan fardhu, tetapi hanya menunjukkan kebolehan dan keringanan (rukhsah). Sebab andaikata qira’at dengan tujuh huruf di wajibkan kepada mereka, tentulah pengetahuan tentang setiap huruf dari ketujuh huruf itu wajib pula bagi orang yang mempunyai hujjah untuk menyampaikannya. Dan beritanya pun harus pasti dan tidak boleh ada hal yang di ragukan di benak para penghafal umat itu. Oleh karena mereka tidak menyampaikan hal tersebut, maka ini merupakan bukti bahwa dalam masalah qira’at mereka boleh memilih, sesudah adanya sebagian orang di kalangan umat yang menyampaikan Al-Qur’an menjadikan sebagian dari tujuh huruf sebagai hujjah.

Jika demikian halnya, maka mereka tidak dipandang telah meninggalkan tugas dalam menyampaikan semua qira’at yang tujuh tersebut. Kewajiban mereka ialah apa yang sudah mereka kerjakan itu, yaitu melakukan sesuatu yang sangat berguna bagi islam dan kaum muslimin. Oleh karena itu menjalankan apa yang menjadi kewajiban mereka sendiri lebih utama daripada melakukan sesuatu yang dapat membawa kepada tindakan criminal dan bencana terhadap islam dn pemeluknya.” 



DAFTAR PUSTAKA

Ash-Shiddieqy, Muhammad Hasby, Teungku, Prof. Dr., Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Pustaka Rizki Putra, ed.3.th 2009.
Al-Qaththan, Syaikh Manna’, Pangantar Studi Ilmu Al-Qur’an, Pustaka Al-Kautsar, cet.6.th 2011.
Ash-Shabuni, Ali, Syaikh Muhammad, Ikhtisar Ulumul Al-Qur’an Praktis, Pustaka Amani, th.2001.



lintasberita
3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar