Selasa, 03 Juli 2012

Pluralisme dan Peradaban Islam


Oleh: Prof. Dr. Ahmad Syafi'i Ma'arif 
Mantan Ketua Umum PP MUhammadiyah

Saya sepakat bahwa salah satu tesis Murrad Hoffman yang mengatakan bahwa lack of pluralism means decadence (kekurangan pluralisme berarti kemerosotan atau dekadensi). Pluralisme adalah pengakuan atas kemajemukan, baik dari segi etnis, suku, agama, ideologi, maupun filsafat yang berbeda. Pengakuan terhadap kemajemukan bukan kemudian mencampuradukkan semua menjadi satu.

Adalah kenyataan bahwa umat Islam tidak selalu menghormati pluralisme dengan segala buntut buruknya. Contoh-contoh berikut diberikan: berlakunya konflik antara Aisyah dan Ali, Khalifah keempat; perang antara Mu’awiyah dan Ali; konflik Ali dengan bekas pengikutnya kaum khawarij. Konflik itu tidak saja panas tetapi juga berdarah-darah. Konflik itu terus saja mewarnai sejarah Islam berikutnya. Perang saudara antara dinasti Umayyah dan Abbasiyah, konflik antara golongan Mu’tazilah dan Asy’ariyah, bentrokan Sunni-Syi’i, dan jangan lupa pembunuhan terhadap tokoh sufi al-Hallaj karena benturan teologis. Artinya, pluralisme faham keagamaan tidak punya tempat dalam wacana mereka. Ujungnya: konflik menjadi berkepanjangan.

Dalam hal yang sederhana, pluralisme adalah menghargai perbedaan pendapat. Dalam hidup yang majemuk, satu hal yang dipegang adalah jangan sombong, jangan merasa benar sendiri. Kita hargai orang lain untuk berpendapat berbeda dengan kita. Perbedaan itu jangan sampai merusak, menghancurkan, mengobrak-abrik persaudaraan antar orang beriman. Ini sudah saya coba sejak saya mengikuti gerakan lintas beragama di Indonesia.

Kalau Anda tanya tokoh-tokoh Katolik, Kristen, Budha, dan Hindu tentang saya, mereka pasti positif. Padahal saya tetap semacam ini, tetap Muslim dan tidak menjadi bagian dari mereka. Pengalaman beragama yang saling menghargai penting sekali untuk menatap masa depan. Kalau Anda mau membangun Indonesia, saya pikir Anda perlu banyak berlapang dada.

Berdasarkan pada sensus penduduk tahun 2010, umat Islam memiliki presentase 87,18%, 9,87% penduduk Kristen-Katolik, 2,41 penduduk Hindu-Budha, dan 0,18% menganut agama lain. Jadi, dari segi jumlah umat islam yang luar biasa banyak.

Dengan data yang demikian saya simpulkan pemurtadan Umat Islam sedikit sekali hasilnya. Saya setuju jika orang memurtadkan umat Islam harus dilawan, tapi jangan menghabiskan energi semata hanya untuk itu. Toh, jumlah kita ternyata masih begitu banyak.

Tahukah saudara, diproyeksikan pada tahun 2025 umat Islam akan menjadi 30% dari penduduk dunia? Sedangkan Katolik dan Kristen akan turun menjadi 20-25%. Apakah kita takut dengan jumlah demikian? Yang harus kita takutkan adalah kualitas. Kualitas yang di bawah standar. Saya berpesan, jika Anda menjadi ekonom, jadilah ekonom yang betul-betul; ahli teknologi harus membuat jembatan, fly over buatlah seagung mungkin.

Kalau kita sudah menggerai Islam dengan kualitas, maka tidak usah banyak bicara, orang akan berduyun-duyun masuk Islam. Penyakit peradaban umat Islam sekarang adalah masih berburu jumlah-jumlah, kuantitas, kuantitas, dan kuantitas!

Pada waktu seorang Karen Amstrong menulis hal positif tentang Islam, banyak yang bertanya-tanya, mengapa dia tidak masuk Islam? Pertanyaan itu adalah pertanyaan kuantitatif. Menurut saya biarkan saja. Soal pilihan agama itu pilihan dia.

Ketika peristiwa 9/11 terjadi hampir semua media barat menyebutkan Islam is identical with terrorist. Umat Islam dikejar-kejar di Amerik. Di Barat muncul ketakutan di masyarakat akan Islam. Lantas muncul Karen Amstrong dengan tulisan ”Peacefull Face of Islam”. Beberapa media besar barat  tidak mau memuat, karena tulisan ini melawan arus. Saat umat Islam dipukul oleh tuduhan teror, muncul orang lain yang membela kita. Menurut saya ini adalah hal yang luar biasa. Setidaknya ada dua orang yang membela Islam saat itu, yaitu Karen Amstrong dan John L. Eposito.

Jadi mari kita mulai berpikir secara kualitatif. Jumlah besar penting terutama untuk pemilu. Tapi jumlah besar itu akan menjadi beban jika minus kualitas atau dalam bahasa lain kualitasnya medioker, tidak menonjol. Seakan tidak paham dengan sajak puisi Chairil Anwar “Sekali berarti/setelah itu mati”. Berarti dulu! Meaning hanya bisa dimiliki jika kita punya goals/tujuan dalam hidup. Rumusnya, sebagai seorang muslim anda harus berkonsultasi juga berunding dengan al-Qur’an untuk menentukan tujuan hidup.

Sekarang kita sudah di abad 21, bagaimana kabar peradaban Islam? Ingat, sejarah Islam harus kita cerna dengan catatan. Apakah ada kelemahan-kelemahan? Seperti kita mengkafirkan yang lain, membangun dinasti, saling membunuh, ini tidak boleh diulangi. Ada peribahasa “Berani karena benar, takut karena salah”. Itu harus kita ubah menjadi “Berani adalah benar, takut adalah salah”. Tapi untuk semua itu kita perlu ilmu.

Maka bagilah 24 jam waktu Anda, baca apa saja! Saya sudah lama membaca Nietzche, orang yang mengatakan “Tuhan telah mati”. Bacalah dia, sebab ada yang menarik di sana. Salah seorang penulis biografi Nietzche mengatakan bahwa sebenarnya dia itu rindu Tuhan, tapi tidak pernah ketemu bahkan sampai dia gila selama 11 tahun. Dalam Zaratusta, Nietzche menulis “Tuhan telah mati, lantas siapa pembunuhnya?” itu adalah ungkapan yang sangat tajam, dilanjutkan oleh dia, “pembunuhnya adalah kau dan aku”. saya termenung-menung meresapi. Anda jangan pantangkan membaca buku jenis ini.

Teman-teman dari aktivis dakwah pernah datang kepada saya. Saya katakan pada mereka, Anda ini jangan hanya membaca satu kubu saja, tambah literatur! Sebab kalau hanya satu literatur saja yang dibaca kita akan menjadi penganut filsafat andong Kotagede. Kiri-kanan tak nampak.

Kalau saya misalnya, karena guru saya Fazlurrahman, maka hanya membaca Fazlurrahman saja. Tentu tidak boleh demikian. Tidak cukup membaca sedikit. Buang fanatisme buta, sikap membabi buta adalah anti al-Qur’an. Kalau Anda membaca M. Iqbal ada dialog imajiner antara manusia dan Tuhan. Saya rasa Iqbal juga dipengaruhi oleh Nietzche. Bedanya Iqbal beriman, sedangkan Nietzche tidak. Tapi muatannya sama.

Dialognya kira-kira seperti ini, “Tuhan menentukan harus begini”, kemudian manusia menjawab “mengapa tidak begin?”. Tuhan memberi bahan baku, potensi, alam, yang mengolah adalah manusia. Tuhan tidak membuat jembatan, tempat tinggal, jalanan. Jadi sebagai manusia, berusahalah! Menurut saya  kiamat masih lama kok,mari kita umat Islam bberbenah. Jangan saudara terlalu percaya akan akhir zaman yang “sempit” begitu, diskusilah tentang tema-tema yang memberikan optimisme.

Kemarin saya di jakarta, ada seorang khatib (bahasa arabnya sangat fasih) yang mengutip hadits Abu Dawud. Hadits tentang kiamat, dikatakannya, “Kapan hari kiamat itu? Hari jum’at sesudah ashar”. Lantas persoalannya apa? Jum’at sesudah ashar di Indonesia berbeda dengan Jum’at sesudah ashar di Eropa. Lantas yang mana yang dipakai?

Hadits-hadits yang semacam ini perlu dipelajari dahulu, jangan sampai disampaikan kepada publik begitu saja. Karena itu akan menimbulkan pertanyaan ilmu pengetahuan. Begitu juga umpamanya tentang hadits di setiap 100 tahun akan muncul pembaharu (mujaddid)  untuk memperbaharui agama dalam arti pemikiran. Hadits-hadits semacam ini, apa perlu? Ternyata kelompok-kelompok Muslim ini punya mujaddidnya masing-masing. Jadi mana yang benar?

Oleh sebab itu, apa yang dilakukan oleh pemerintahan Erdogan di Turki saat ini sangat maju, para pakar mereka melakukan penelitian tentang hadits. Proyek besar-besaran, dan kabarnya akan banyak sekali hadits yang akan disimpan, terutama hadits-hadits yang bersifat ramalan seperti akan turunnya nabi Isa, Imam Mahdi, dll.

Saya membaca sebuah majalah sekitar setahun yang lalu, dituliskan bahwa bila perempuan mau masuk surga salah satu syaratnya adalah taat kepada suami, kapanpun! Kapanpun suami meminta sesuatu, harus siapkan. Saya pikir itu mengerikan, oleh karena itulah terjadi perbudakan wanita dalam sejarah Islam selama berabad-abad. Nah, ini kan saya belum lama berpendapat demikian, baru sekitar 30 tahun terakhir. Jika pendapat saya ini saya mulai sejak usia Anda, saya pasti akan menggebrak di mana-mana. Oleh sebab itu selain membaca banyak buku, baca juga tulisan-tulisan Prof. Riffat Hasan, seorang Pakistan yang tinggal di Amerika, tulisannya menarik.

Kalau Anda ingin membangun peradaban, perempuan harus diberdayakan. Perjuangannya mungkin pelan-pelan, tergantung pada taraf. Undang-undang kita kan mengatur posisi wanita di parlemen sebesar 30%, itu okelah. Sebab memang pada waktu kita merdeka tahun1945 itu orang Indonesia yang buta huruf sebanyak 90%, sebagian besar perempuan. Coba Anda bayangkan? Walau ada peringatan Nuzulul Qur’an tapi kok kenyataannya umat buta huruf? Mengaku membaca al-Qur’an, tapi bersikap anti al-Qur’an. Al-Qur’an menyuruh kita untuk terus membaca kan?

Terus terang saya gelisah tentang kenyataan ini, saya gelisah tapi saya salurkan. Bukan lantas gelisah lalu kecewa. Kita berpikir masalah yang besar-besar. Sebab kata ahli, otak orang seumur saya bila tidak dipakai maka cepat sekali proses kepikunannya. Saya ingin seperti Rosihan Anwar, seorang wartawan yang sangat senior, berusia 88 tahun, masih terus menulis, terus berpikir, dan kalau sudah bicara tentang sejarah saya kalah, padahal saya orang sejarah. Beliau seperti ensiklopedia berjalan.

Terakhir pesan saya, radius pergaulan Anda harus luas. Bergaullah dengan para pemikir, seniman, budayawan. Walau mungkin Anda tidak setuju dengan pendapat orang-orang pintar tersebut, misalnya. Bergaullah yang luas, tapi tidak usah banyak bergaul. Dengan orang-orang yang tidak mau berpikir. Jika bertemu dengan orang seperti ini cukuplah Anda dengar sebentar. Tapi kalau pada orang yang berpikir, walaupun berbeda dengan Anda, tetap dengarlah baik-baik dan resapi! ^_^
lintasberita
3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar