Oleh: Prof. Dr. Ahmad Syafi'i Ma'arif
Mantan Ketua Umum PP MUhammadiyah
Saya sepakat bahwa salah satu tesis Murrad Hoffman yang mengatakan
bahwa lack of pluralism means decadence
(kekurangan pluralisme berarti kemerosotan atau dekadensi). Pluralisme adalah
pengakuan atas kemajemukan, baik dari segi etnis, suku, agama, ideologi, maupun
filsafat yang berbeda. Pengakuan terhadap kemajemukan bukan kemudian
mencampuradukkan semua menjadi satu.
Adalah kenyataan bahwa umat Islam
tidak selalu menghormati pluralisme dengan segala buntut buruknya.
Contoh-contoh berikut diberikan: berlakunya konflik antara Aisyah dan Ali,
Khalifah keempat; perang antara Mu’awiyah dan Ali; konflik Ali dengan bekas
pengikutnya kaum khawarij. Konflik itu tidak saja panas tetapi juga
berdarah-darah. Konflik itu terus saja mewarnai sejarah Islam berikutnya.
Perang saudara antara dinasti Umayyah dan Abbasiyah, konflik antara golongan
Mu’tazilah dan Asy’ariyah, bentrokan Sunni-Syi’i, dan jangan lupa pembunuhan
terhadap tokoh sufi al-Hallaj karena benturan teologis. Artinya, pluralisme
faham keagamaan tidak punya tempat dalam wacana mereka. Ujungnya: konflik
menjadi berkepanjangan.
Dalam hal yang sederhana,
pluralisme adalah menghargai perbedaan pendapat. Dalam hidup yang majemuk, satu
hal yang dipegang adalah jangan sombong, jangan merasa benar sendiri. Kita
hargai orang lain untuk berpendapat berbeda dengan kita. Perbedaan itu jangan
sampai merusak, menghancurkan, mengobrak-abrik persaudaraan antar orang
beriman. Ini sudah saya coba sejak saya mengikuti gerakan lintas beragama di
Indonesia.
Kalau Anda tanya tokoh-tokoh
Katolik, Kristen, Budha, dan Hindu tentang saya, mereka pasti positif. Padahal
saya tetap semacam ini, tetap Muslim dan tidak menjadi bagian dari mereka.
Pengalaman beragama yang saling menghargai penting sekali untuk menatap masa
depan. Kalau Anda mau membangun Indonesia, saya pikir Anda perlu banyak
berlapang dada.
Berdasarkan pada sensus penduduk
tahun 2010, umat Islam memiliki presentase 87,18%,
9,87% penduduk Kristen-Katolik, 2,41 penduduk Hindu-Budha, dan 0,18% menganut
agama lain. Jadi, dari segi jumlah umat islam yang luar biasa banyak.
Dengan data yang demikian saya
simpulkan pemurtadan Umat Islam sedikit sekali hasilnya. Saya setuju jika orang
memurtadkan umat Islam harus dilawan, tapi jangan menghabiskan energi semata
hanya untuk itu. Toh, jumlah kita
ternyata masih begitu banyak.
Tahukah saudara, diproyeksikan
pada tahun 2025 umat Islam akan menjadi 30% dari penduduk dunia? Sedangkan
Katolik dan Kristen akan turun menjadi 20-25%. Apakah kita takut dengan jumlah
demikian? Yang harus kita takutkan adalah kualitas. Kualitas yang di bawah
standar. Saya berpesan, jika Anda menjadi ekonom, jadilah ekonom yang
betul-betul; ahli teknologi harus membuat jembatan, fly over buatlah seagung mungkin.
Kalau kita sudah menggerai Islam
dengan kualitas, maka tidak usah banyak bicara, orang akan berduyun-duyun masuk
Islam. Penyakit peradaban umat Islam sekarang adalah masih berburu
jumlah-jumlah, kuantitas, kuantitas, dan kuantitas!
Pada waktu seorang Karen Amstrong
menulis hal positif tentang Islam, banyak yang bertanya-tanya, mengapa dia
tidak masuk Islam? Pertanyaan itu adalah pertanyaan kuantitatif. Menurut saya
biarkan saja. Soal pilihan agama itu pilihan dia.
Ketika peristiwa 9/11 terjadi
hampir semua media barat menyebutkan Islam
is identical with terrorist. Umat Islam dikejar-kejar di Amerik. Di Barat
muncul ketakutan di masyarakat akan Islam. Lantas muncul Karen Amstrong dengan
tulisan ”Peacefull Face of Islam”.
Beberapa media besar barat tidak mau
memuat, karena tulisan ini melawan arus. Saat umat Islam dipukul oleh tuduhan
teror, muncul orang lain yang membela kita. Menurut saya ini adalah hal yang
luar biasa. Setidaknya ada dua orang yang membela Islam saat itu, yaitu Karen
Amstrong dan John L. Eposito.
Jadi mari kita mulai berpikir
secara kualitatif. Jumlah besar penting terutama untuk pemilu. Tapi jumlah
besar itu akan menjadi beban jika minus kualitas atau dalam bahasa lain
kualitasnya medioker, tidak menonjol. Seakan tidak paham dengan sajak puisi
Chairil Anwar “Sekali berarti/setelah itu mati”. Berarti dulu! Meaning hanya bisa dimiliki jika kita
punya goals/tujuan dalam hidup.
Rumusnya, sebagai seorang muslim anda harus berkonsultasi juga berunding dengan
al-Qur’an untuk menentukan tujuan hidup.
Sekarang kita sudah di abad 21,
bagaimana kabar peradaban Islam? Ingat, sejarah Islam harus kita cerna dengan
catatan. Apakah ada kelemahan-kelemahan? Seperti kita mengkafirkan yang lain,
membangun dinasti, saling membunuh, ini tidak boleh diulangi. Ada peribahasa
“Berani karena benar, takut karena salah”. Itu harus kita ubah menjadi “Berani
adalah benar, takut adalah salah”. Tapi untuk semua itu kita perlu ilmu.
Maka bagilah 24 jam waktu Anda,
baca apa saja! Saya sudah lama membaca Nietzche, orang yang mengatakan “Tuhan
telah mati”. Bacalah dia, sebab ada yang menarik di sana. Salah seorang penulis
biografi Nietzche mengatakan bahwa sebenarnya dia itu rindu Tuhan, tapi tidak
pernah ketemu bahkan sampai dia gila
selama 11 tahun. Dalam Zaratusta, Nietzche menulis “Tuhan telah mati, lantas
siapa pembunuhnya?” itu adalah ungkapan yang sangat tajam, dilanjutkan oleh
dia, “pembunuhnya adalah kau dan aku”. saya termenung-menung meresapi. Anda
jangan pantangkan membaca buku jenis ini.
Teman-teman dari aktivis dakwah
pernah datang kepada saya. Saya katakan pada mereka, Anda ini jangan hanya
membaca satu kubu saja, tambah literatur! Sebab kalau hanya satu literatur saja
yang dibaca kita akan menjadi penganut filsafat andong Kotagede. Kiri-kanan tak
nampak.
Kalau saya misalnya, karena guru
saya Fazlurrahman, maka hanya membaca Fazlurrahman saja. Tentu tidak boleh
demikian. Tidak cukup membaca sedikit. Buang fanatisme buta, sikap membabi buta
adalah anti al-Qur’an. Kalau Anda membaca M. Iqbal ada dialog imajiner antara
manusia dan Tuhan. Saya rasa Iqbal juga dipengaruhi oleh Nietzche. Bedanya Iqbal
beriman, sedangkan Nietzche tidak. Tapi muatannya sama.
Dialognya kira-kira seperti ini, “Tuhan
menentukan harus begini”, kemudian manusia menjawab “mengapa tidak begin?”.
Tuhan memberi bahan baku, potensi, alam, yang mengolah adalah manusia. Tuhan
tidak membuat jembatan, tempat tinggal, jalanan. Jadi sebagai manusia,
berusahalah! Menurut saya kiamat masih
lama kok,mari kita umat Islam
bberbenah. Jangan saudara terlalu percaya akan akhir zaman yang “sempit” begitu,
diskusilah tentang tema-tema yang memberikan optimisme.
Kemarin saya di jakarta, ada
seorang khatib (bahasa arabnya sangat fasih) yang mengutip hadits Abu Dawud. Hadits
tentang kiamat, dikatakannya, “Kapan hari kiamat itu? Hari jum’at sesudah ashar”.
Lantas persoalannya apa? Jum’at sesudah ashar di Indonesia berbeda dengan Jum’at
sesudah ashar di Eropa. Lantas yang mana yang dipakai?
Hadits-hadits yang semacam ini
perlu dipelajari dahulu, jangan sampai disampaikan kepada publik begitu saja. Karena
itu akan menimbulkan pertanyaan ilmu pengetahuan. Begitu juga umpamanya tentang
hadits di setiap 100 tahun akan muncul pembaharu (mujaddid) untuk
memperbaharui agama dalam arti pemikiran. Hadits-hadits semacam ini, apa perlu?
Ternyata kelompok-kelompok Muslim ini punya mujaddidnya
masing-masing. Jadi mana yang benar?
Oleh sebab itu, apa yang
dilakukan oleh pemerintahan Erdogan di Turki saat ini sangat maju, para pakar
mereka melakukan penelitian tentang hadits. Proyek besar-besaran, dan kabarnya
akan banyak sekali hadits yang akan disimpan, terutama hadits-hadits yang
bersifat ramalan seperti akan turunnya nabi Isa, Imam Mahdi, dll.
Saya membaca sebuah majalah
sekitar setahun yang lalu, dituliskan bahwa bila perempuan mau masuk surga
salah satu syaratnya adalah taat kepada suami, kapanpun! Kapanpun suami meminta
sesuatu, harus siapkan. Saya pikir itu mengerikan, oleh karena itulah terjadi
perbudakan wanita dalam sejarah Islam selama berabad-abad. Nah, ini kan saya belum lama berpendapat demikian, baru sekitar 30
tahun terakhir. Jika pendapat saya ini saya mulai sejak usia Anda, saya pasti
akan menggebrak di mana-mana. Oleh sebab itu selain membaca banyak buku, baca
juga tulisan-tulisan Prof. Riffat Hasan, seorang Pakistan yang tinggal di
Amerika, tulisannya menarik.
Kalau Anda ingin membangun
peradaban, perempuan harus diberdayakan. Perjuangannya mungkin pelan-pelan,
tergantung pada taraf. Undang-undang kita kan
mengatur posisi wanita di parlemen sebesar 30%, itu okelah. Sebab memang pada waktu kita merdeka tahun1945 itu orang
Indonesia yang buta huruf sebanyak 90%, sebagian besar perempuan. Coba Anda
bayangkan? Walau ada peringatan Nuzulul
Qur’an tapi kok kenyataannya umat
buta huruf? Mengaku membaca al-Qur’an, tapi bersikap anti al-Qur’an. Al-Qur’an
menyuruh kita untuk terus membaca kan?
Terus terang saya gelisah tentang
kenyataan ini, saya gelisah tapi saya salurkan. Bukan lantas gelisah lalu
kecewa. Kita berpikir masalah yang besar-besar. Sebab kata ahli, otak orang
seumur saya bila tidak dipakai maka cepat sekali proses kepikunannya. Saya ingin
seperti Rosihan Anwar, seorang wartawan yang sangat senior, berusia 88 tahun,
masih terus menulis, terus berpikir, dan kalau sudah bicara tentang sejarah
saya kalah, padahal saya orang sejarah. Beliau seperti ensiklopedia berjalan.
Terakhir pesan saya, radius
pergaulan Anda harus luas. Bergaullah dengan para pemikir, seniman, budayawan. Walau
mungkin Anda tidak setuju dengan pendapat orang-orang pintar tersebut,
misalnya. Bergaullah yang luas, tapi tidak usah banyak bergaul. Dengan orang-orang
yang tidak mau berpikir. Jika bertemu dengan orang seperti ini cukuplah Anda
dengar sebentar. Tapi kalau pada orang yang berpikir, walaupun berbeda dengan
Anda, tetap dengarlah baik-baik dan resapi! ^_^
![lintasberita](http://www.lintasberita.com/buttons_lb/lintasberita-100x20.gif)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar