Kamis, 31 Mei 2012

Tak Ada Alasan Untuk Menyerah

Hamil Tiga Bulan, Ibu Muda Gantung Diri. Dugaan penyebab
kenekadan wanita muda itu karena kesulitan ekonomi yang
membelenggunya. Tak cuma Ni Wayan Diah, begitu namanya, yang
melakukan aksi nekad. Belakangan, makin banyak berita yang
mengabarkan, pria dan wanita dari seluruh golongan usia memilih
untuk mengakhiri hidup karena tak tahan terhadap berbagai tekanan.
Tak hanya di Bali. Di beberapa daerah di Indonesia, masalah ini
merebak. Beberapa siswa SD juga dikabarkan melakukan aksi serupa
karena malu sekolah akibat orangtua tak bisa membayar SPP.
Hidup pada zaman yang serba mudah dan canggih ternyata
memiliki tingkat kesulitan yang lebih tinggi. Beberapa di antara
kita malah tak sanggup menyelesaikannya dan memilih jalan pintas :
bunuh diri. Hidup seakan tak punya harapan. Dalam dunia yang sama,
sebagian orang sangat mudah menyerah. Sebagian lagi, sebaliknya,
mirip perjuangan Susi Susanti dan Alan Budi Kusuma saat mengawinkan
medali emas dalam Olimpiade Barcelona; melelahkan namun sampai juga
ke puncak.

Kehidupan ini ibarat pohon. Makin tinggi, makin kencang
angin meniupnya. Sama halnya persoalan hidup. Berada dalam sekolah
kehidupan, sama halnya ketika kita harus menyelesaikan jenjang
pendidikan satu per satu, mulai TK, SD, SMP, SMA sampai perguruan
tinggi. Tiap naik kelas atau tingkat, kita wajib menyelesaikan ujian
dengan baik. Nilai standar kelulusan minimal 4 harus berhasil kita
lewati. Jika tidak, kita tak akan pernah naik tingkat. Demikian
halnya hidup.

Namun, apa yang telah membedakan kita?

Mengapa ada orang yang mudah menyerah dan sebagian lagi tidak?
Pendidikan kita yang lebih mementingkan intelligent quotient (IQ) perlahan mulai tergeser. Sebagian kalangan pendidikan mulai merasakan pentingnya mengembangkan emotional quotient (EQ) yang sampai sekarang masih dijadikan tolok ukur kemampuan berempati dengan orang lain.
Pemikiran Daniel Goleman itu pun kini ditambah lagi dengan
pentingnya mempertinggi spiritual quotient (SQ). Namun rupanya, itu
belum cukup. Masih ada yang ketinggalan, Adversity Quotient (AQ).

Kecerdasan yang dipopulerkan Paul G. Stoltz, Ph.D ini penting saat hidup serasa tak indah lagi. AQ mengukur kemampuan kita dalam mengatasi kesulitan. Hidup tentu tak akan pernah lepas dari
masalah dan karena masalah itulah kita menjadi lebih baik dalam
menyikapi hidup. Dalam kesulitan, selalu ada kesempatan, begitu kata orang.

Saat bergelut dengan masalah, sesungguhnya kita sedang menyempurnakan hidup.

Kadang, sesuatu yang tak nyaman dalam kehidupan ini, sesungguhnya
merupakan penyempurnaan sisi spiritual bagi diri kita.
Contohnya, pengalaman Anand Khrisna saat ia sekarat karena kanker darah.

Sayang, tak semua orang menyadarinya. Perjuangan Andrie
Wongso, pria yang tak lulus SD namun berhasil dengan pabrik kata-
kata mutiaranya, Harvest, bisa kita jadikan contoh. Ketika bertemu
beberapa waktu silam, ia berkata, "Jika lebih baik itu bisa, baik
saja tak cukup." Ia membuktikannya. Tak ada alasan untuk menyerah.

Musuh yang paling berbahaya sesungguhnya adalah diri kita sendiri.
Siapa orang pertama yang mengatakan kita tidak pintar?
Siapa pula yang pertama berkata, kita tak bisa berhasil?
Diri kita sendiri. Kita bahkan tidak mempercayai diri kita bahwa kecerdasan yang kita miliki lebih dari apa yang ada sekarang. Kemampuan otak yang kita gunakan seperti fenomena gunung es. Hanya puncaknya yang kelihatan. Sesedikit itulah kemampuan yang baru kita manfaatkan.

Menjadi anak zaman sekarang sebenarnya lebih banyak yang
harus dipelajari. Selain bertumpuknya kurikulum yang harus dikejar,
anak didik sudah selayaknya mendapat pelajaran mengenal hidup sejak
dini. Tekanan atas berbagai persoalan yang mereka rasakan harus bisa
mereka kenali sebagai suatu respons. Mengajarkan kepada mereka dalam
bahasa yang paling sederhana, tentu memberi pengertian agar mereka
tak mudah putus asa.

Ibarat terhalang tembok tinggi padahal mereka harus berada
di seberangnya, anak-anak harus diajari mencari jalan keluar. Jangan
bertindak bodoh dengan membenturkan diri ke tembok yang keras karena
itu sangat menyakitkan.

Ajak mereka berpikir, kita bisa melompati tembok itu dengan bantuan
sebuah tangga. Tak berhasil?  Hmm...pasti ada seutas tali untuk memanjat. Tak ada juga? Kita harus yakin, ada jalan lain untuk memutar; bukannya  berkutat di depan tembok yang keras.
SEMANGAT...!!!!^_^

lintasberita
3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar