Rabu, 09 Mei 2012

FILSAFAT PENDIDIKAN


Filsafat Pendidikan Islam Dalam Tinjauan Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologi
Oleh : Lutfi Kusuma Dewi

Untuk dapat mendidik diri sendiri, pertama-tama manusia harus memahami dirinya sendiri. Problema berikutnya bahwa manusia berhadapan dengan alam dan lingkungannya, dan manusia harus pula memahaminya. Begitu juga manusia hidup bersama keyakinan dan kepercayaannya, dengan pengalaman pengetahuan yang diperolehnya dalam proses hidupnya. Sementara itu dari masa ke masa, dari generasi ke generasi, nampak bahwa alam lingkungannya, pengetahuan, teknologi, kebudayaan berubah dan berkembang, sehingga nilai-nilai pun berubah pula. Dan tanpa dilihat dengan nyata, ternyata kualitas hidup dan kehidupannya pun berangsur-angsur berubah menuju pada kesempurnaan. Hal tersebut merupakan problema hidup dan kehidupan manusia yang menjadi problema pendidikan.
Sebagaimana diketahui bahwa manusia adalah sebagai khalifah Allah di bumi. Sebagai khalifah  manusia mendapat kuasa dan wewenang untuk melaksanakan pendidikan terhadap dirinya sendiri, dan manusia pun mempunyai potensi untuk melaksanakannya dan mengaturnya. Dengan demikian pendidikan merupakan urusan hidup dan kehidupan manusia, dan merupakan tanggung jawab manusia sendiri serta yang mampu merumuskan jawaban akan problema pendidikan yang dihadapi. Di sinilah letak peranan filsafat pendidikan.
Perkembangan filsafat dalam dunia Islam, telah menghasilkan berbagai macam alternative jawaban terhadap berbagai macam pertanyaan-pertanyaan tentang problema hidup dan kehidupan manusia seperti, Ilmu Kalam, Ilmu Tasawuf, Ilmu Fiqh, Ilmu Falaq, dan berbagai macam ilmu pengetahuan lainnya.
Ilmu-ilmu tersebut berhasil dikembangkan dalam dunia Islam, dengan menggunakan metode yang khas Islami, yaitu metode ijtihad. Ijtihad adalah menggunakan segenap daya akal dan potensi manusia lainnyauntuk mencari kebenaran dan mengambil kebijaksanaan, dengan bimbingan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW.
Dengan demikian filsafat Pendidikan Islam dapat diartikan sebagai studi tentang pandangan filosofis dari sistem dan aliran filsafat dalam Islam terhadap masalah-masalah kependidikan dan bagaimana pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan perkembangan manusia muslim dan umat islam. Di samping itu filsafat pendidikan Islam, juga merupakan studi tentang penggunaan dan penerapan metode dan system filsafat Islam, dan selanjutnya memberikan arah dan tujuan yang jelas terhadap pelaksanaan pendidikan umat islam.
Dan filsafat pendidikan menurut Muzayyin Arifin pada hakikatnya adalah konsep berfikir tentang kependidikan yang bersumberkan atau berlandaskan ajaran-ajaran agama islam tentang hakikat kemampuan manusia untuk dapat dibina dan dikembangkan serta dbimbing menjadi manusia muslim yang seluruh pribadinya dijiwai oleh ajaran islam.
Jadi filsafat Pendidikan Islam, bersifat tradisional dan kritis. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Imam Barnadib dalam “Filsafat pendidikan-nya”, bahwa filsafat pendidikan itu mempunyai dua corak, yaitu filsafat tradisional dan filsafat kritis. Filsafat tradisional adalah filsafat sebagaimana adanya, sistematika, jenis serta alirannya sebagaimana di jumpai dalam sejarah. Sehingga ketika diajukan pertanyaan-pertanyaan, maka jawaban yang diperlukan ada dan melekat pada masing-masing jenis dan aliran tersebut. Berbeda dengan filsafat kritis, pertanyaan-pertanyaan yang di ajukan dapat di susun dan dilepaskan dari ikatan waktu (historis) dan usaha mencari jawaban yang diperlukan dapat memobilisasikan berbagai aliran yang ada, dan dicari dari masing-masing aliran, diambilnya dari jenis masalah yang bersangkutan dengan aliran yang bersangkutan.

A.           Filsafat Pendidikan Islam dalam Tinjauan Ontologis
Persoalan ontologis sebagai salah satu cabang dari filsafat yang mencari dan menemukan hakikat dari sesuatu yang ada dan merupakan persoalan filsafat yang paling tua. Hal itu barangkali bermula karena kehidupan manusia adalah di lahirkan dan berada dalam lingkungan yang ada sebelumnya tanpa campur tangan sedikitpun darinya. Secara individual, seseorang lahir oleh proses di luar dirinya, ia sudah ditentukan dan mau tidak mau harus menerima keadaan apa adanya, ia lahir pada waktu, tempat, dan keadaan yang tidak mungkin ia pilih sebelumnya, demikian juga jenis kelamin yang melekat pada dirinya serta ibu yang mengandungnya, semuanya itu sama sekali bukan pilihan dirinya sendiri.
Sejalan dengan perkembangan pemikirannya, usaha pencarian terhadap hakikat sesuatu yang ada (ontologi) akan memberikan makna terhadap kehidupannya sendiri, yang hanya dapat berlangsung di tengah-tengah komunikasi dan interaksi yang kompleks dengan berbagai yang ada dalam kehidupannya itu. Melalui pemahamannya tentang hakikat yang ada, maka seseorang dapat menempatkan dirinya pada posisi yang tepat dalam mewujudkan hubungan komunikasi dan interaksi dengan yang ada di sekitarnya, sehingga dapat berjalan secara lebih baik.
a.      Yang Ada (Being)
Apakah hakikat sesuatu yang ada itu diciptakan, atau ada dengan sendirinya, jika diciptakan siapa yang menciptakan dan bagaimana proses penciptaan itu berlangsung dan jika ada dengan sendirinya, apakah mungkin?
Dalam pengalaman kehidupan, tidak ada yang ada secara sendiri, demikian juga halnya, tidak ada yang ada secara kebetulan, karena yang disebut kebetulan pada dasarnya ada oleh adanya proses yang ada di luar dirinya yang tidak ia ketahui, sehingga ia mengatakan ada itu, ada secara kebetulan. maka pada prinsipnya ada dua ada, yaitu ada yang menciptakan dan ada yang diciptakan, ada yang menyebabkan dan ada yang di akibatkan.
Persoalan muncul ketika terjadi konflik antara berbagai yang ada, terutama antara yang ada yang bersandar pada manusia (yang manusiawi), sebagai contoh adalah konflik antara cinta manusia dengan cinta Illahi, atau antara natural dan kultural. Dalam kenyataannya, cinta manusia seringkali berlawanan dengan cinta Illahi yaitu dalam dataran normatif sehingga cinta manusia dalam aktualisasinya berlawanan dengan hukum agama. Demikian juga halnya, kultur manusia berlawanan dengan alam (nature), dan dalam kenyataan hidup dpat dilihat bagaimana kultur merusak nature, seperti yang terjadi dalam indutrialisasi yang merusak lingkungan hidup.
Dalam konsep filsafat Islam, dengan pendekatan yang rasional transedental, maka konflik-konflik itu adalah wajar sebagai wujud ketegangan eksistensi manusia berhadapan dengan eksistensi Illahi, dan pasti manusia tidak bisa menghancurkan atau meniadakan sama sekali eksistensi Illahi itu.
Rasional transedental menegaskan bahwa pada hakikatnya otoritas manusia (kultur) terhadap alam (nature) tidaklah mutlak, karena manusia sama sekali tidak terlibat sedikitpun dalam penciptaan alam (nature) itu, bahkan pada satu sisi fisik manusia pada dasarnya justru menjadi bagian dari alam itu. Oleh karena itu merusak alam dapat di pandang sebagai tindakan merusak dirinya sendiri, merusak sumber kehidupannya sendiri, karena hidup dan kehidupan manusia ada dan bergantung pada alam.
Seharusnya kultur sebagai wujud eksistensi kreatif dari diri manusia yang melahirkan kesejahteraan dan kemakmuran bersama, dan merupakan harmonisasi dengan alam. Jika Tuhan menciptakan kegelapan, manusia menciptakan pelita penerang, jika Tuhan menciptakan lautan, manusia menciptakan kapal untuk bekerja dan berekreasi membangun imajinasi kreatif, sehingga menjadikan kehidupan manusia lebih nyaman, indah, dan damai. QS. Huud: 61 menegaskan: 
61. ………Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya[726], karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya, Sesungguhnya Tuhanku Amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya)."
[726] Maksudnya: manusia dijadikan penghuni dunia untuk menguasai dan memakmurkan dunia.
b.   Yang Nyata (Realitas)
Filsafat Islam memandang realitas pada hakikatnya adalah spiritual. Dalam prinsip metafisika Islam, realitas berpusat dan berasal dari Allah. Dialah sang pemberi segala sesuatu, yang merupakan sebab hakiki dari setiap kejadian. Prinsip ini mengarah pada aspek fundamental dari spiritual Islam, yaitu bahwa segala sesuatu yang mengitari kita, semua realitas materi atau kejadian merupakan pelaksanaan efektifitas kekuasaanNYA.
Hakikat spiritual dari realitas terdapat pada adanya dinamika dan perubahan, yang secara kodrati selalu terjadi dan akan terus terjadi, dan merupakan suatu sunnatullah yang tidak akan pernah berubah. Oleh karena itu, realitas harus didekati secara dinamis dengan arif, agar tidak terjebak pada klaim mutlak-mutlakan, dan membanggakan apa yang ada pada dirinya, yang seringkali justru akan mempersulit keadaan.
QS. Ar-ruum: 32, menegaskan :
32. Yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka[1169] dan mereka menjadi beberapa golongan. tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.
[1169] Maksudnya: meninggalkan agama tauhid dan menganut pelbagai kepercayaan menurut hawa nafsu mereka.
c.    Esensi dan Eksistensi
Dalam setiap yang ada baik yang nyata maupun yang tidak nyata, selalu ada dua sisi di dalamnya, yaitu sis esensi dan eksistensi. Bagi yang ghoib sisi yang nampak adalah eksistensi, sedangkan bagi yang ada yang konkret, sisi yang Nampak bisa kedua-duanya, yaitu esensi dan eksistensi. Bagi kehidupan manusia, yang penting adalah eksistensinya seperti kayu akan lebih bermakna ketika sebuah kayu mempunyai eksistensi sebagai meja kursi.
Filsafat Islam memandang pentingnya tindakan (amal shaleh) daripada gagasan spekulatif. Persoalan esensi di pandang selasai, karena pada hakikatnya esensi akan kembali dan berpusat pada Allah, karena Allah yang menciptakan segala sesuatu yang ada dalam kehidupan ini dan eksistensi manusia berada dalam keselarasan dan keseimbangan dengan hukum-hukum alam, hukum akal sehat, dan hukum agama.
d.      Hakikat Kemajemukan (Pluralitas)
Dalam konsep filsafat Islam, konflik dan ketegangan pluralitas pada hakikatnya sesuatu yang alamiah dan wajar saja, dan setiap konflik harus disikapi dengan bijak, sehingga dapat dikembangkan untuk mencari bentuk-bentuk sintetik yang baru, dimana konflik menjadi basis pertumbuhan untuk memunculkan bentuk-bentuk kehidupan yang baru yang lebih baik.
e.      Hakikat Perubahan
Filsafat Islam memandang perubahan kehidupan kesemestaan itu pada hakikatnya merupakan sunnatullah yang mekanismenya terkendali dalam hukum-hukum alam yang ditetapkan sejak proses penciptaan terjadi. Sedangkan perubahan yang berkaitan dengan eksistensi manusia sepenuhnya menjadi tanggung jawab manusia sendiri. Manusia telah dibekali kemampuan untuk mengatasi persoalan kebudayaan, baik secara internal yang berkaitan dengan kemampuan berfikir menyusun konsep-konsep, maupun eksternal yaitu alam semesta yang menyediakan bahan dan kitab suci sebagai rujukan moralitas dan spiritualitas.

B.      Filsafat Pendidikan Islam dalam Tinjauan Epistemologi
Epistemologi adalah cabang filsafat yang membicarakan mengenai hakikat ilmu, dan ilmu sebagai proses adalah usaha pemikiran yang sistematik dan metodik untuk menemukan prinsip kebenaran yang terdapat pada suatu objek kajian ilmu
a.      Objek Kajian Ilmu
Dalam konsep filsafat islam, objek kajian ilmu itu adalah ayat-ayat Tuhan sendiri, yaitu ayat-ayat Tuhan yang tersurat dalam kitab suci Al-Qur’an. Kajian terhadab kitab suci dan kembali melahirkan ilmu agama, sedangkan kajian terhadap alam semesta, dalam dimensi fisik atau materi melahirkan ilmu alam dan ilmu pasti.
b.      Cara memperoleh ilmu
Dalam konsep filsafat Islam, ilmu bisa diperoleh melalui dua jalan yaitu jalan kasbi dan ladunni. Jalan kasbi adalah cara berfikir sistematik dan metodik yang dilakukan secara konsisten dan bertahap melalui pengamatan, penelitian, percobaan, dan penemuan. Sedangkan jalan ladunni adalah melalui proses pencerahan oleh hadirnya cahaya Illahi dalam qalb, seakan-akan orang tersebut memperoleh ilmu dari Tuhan secara langsung.
c.       Kebenaran Ilmu
Dalam konsep filsafat Islam, kebenaran sesungguhnya dating dari Tuhan, melalui hukum-hukum yang sudah ada dan di tetapkan pada setiap ciptaanNya, yaitu dalam alam semesta, manusia, Al-Qur’an. Semua itu merupakan ayat-ayat Tuhan yang menjadi sumber kebenaran yang terkandung dalam sunnatullah: hukum alam, hukum akal sehat, dan juga hukum agam (moralitas).
d.      Tujuan Ilmu
Dalam konsep Filsafat Islam, ilmu pada hakikatnya merupakan perpanjangan dan pengembangan ayat-ayat Allah, yang merupakan eksistensi kebesaranNya, dan manusia di wajibkan untuk berfikir tentang ayat-ayat Allah itu, untuk tujuan yang tidak bertentangan dengan ajaran-ajaranNya, tidak untuk merusak dan melahirkan kerusakan dalam kehidupan bersama, karena akibat buruknya akan juga menimpa dirinya sendiri.
e.      Ilmu dan Etika
Dalam pandangan Filsafat Islam, kebenaran dan ilmu tidak boleh berada di bawah kekuasaan hawa nafsu, karena akan melahirkan kerusakan. Dengan demikian  etika ilmu adalah keberpihakan kepada kebenaran, pembebasan manusia dan kemandirian artinya tidak terkooptasi oleh system yang menindas.

f.        Filsafat Pendidikan Islam dalam Tinjauan Aksiologis
Filsafat pendidikan Islam adalah ilmu normative, oleh karena itu diorientasikan kepada nilai, baik yang bersifat insaniyah maupun illahiyah.


DAFTAR PUSTAKA
Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bina Aksara, 1991.
H. M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bina Aksara, 1984, cet. ke-4
Asy’arie, Musa, Filsafat Islam Sunnah Nabi Dalam Berfikir, Yogyakarta: Lesfi, 2002.
Thoha, Chabib, dkk., Reformulasi Filsafat Pendidikan Islam, Pustaka Pelajar, Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, 1996.

lintasberita
3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar