Oleh : Lutfi Kusuma Dewi
Untuk dapat mendidik diri
sendiri, pertama-tama manusia harus memahami dirinya sendiri. Problema
berikutnya bahwa manusia berhadapan dengan alam dan lingkungannya, dan manusia
harus pula memahaminya. Begitu juga manusia hidup bersama keyakinan dan
kepercayaannya, dengan pengalaman pengetahuan yang diperolehnya dalam proses
hidupnya. Sementara itu dari masa ke masa, dari generasi ke generasi, nampak
bahwa alam lingkungannya, pengetahuan, teknologi, kebudayaan berubah dan
berkembang, sehingga nilai-nilai pun berubah pula. Dan tanpa dilihat dengan
nyata, ternyata kualitas hidup dan kehidupannya pun berangsur-angsur berubah
menuju pada kesempurnaan. Hal tersebut merupakan problema hidup dan kehidupan
manusia yang menjadi problema pendidikan.
Sebagaimana diketahui
bahwa manusia adalah sebagai khalifah Allah di bumi. Sebagai khalifah manusia mendapat kuasa dan wewenang untuk
melaksanakan pendidikan terhadap dirinya sendiri, dan manusia pun mempunyai
potensi untuk melaksanakannya dan mengaturnya. Dengan demikian pendidikan
merupakan urusan hidup dan kehidupan manusia, dan merupakan tanggung jawab
manusia sendiri serta yang mampu merumuskan jawaban akan problema pendidikan
yang dihadapi. Di sinilah letak peranan filsafat pendidikan.
Perkembangan filsafat
dalam dunia Islam, telah menghasilkan berbagai macam alternative jawaban terhadap
berbagai macam pertanyaan-pertanyaan tentang problema hidup dan kehidupan
manusia seperti, Ilmu Kalam, Ilmu Tasawuf, Ilmu Fiqh, Ilmu Falaq, dan berbagai
macam ilmu pengetahuan lainnya.
Ilmu-ilmu tersebut
berhasil dikembangkan dalam dunia Islam, dengan menggunakan metode yang khas
Islami, yaitu metode ijtihad. Ijtihad adalah menggunakan segenap daya akal dan
potensi manusia lainnyauntuk mencari kebenaran dan mengambil kebijaksanaan,
dengan bimbingan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW.
Dengan demikian filsafat
Pendidikan Islam dapat diartikan sebagai studi tentang pandangan filosofis dari
sistem dan aliran filsafat dalam Islam terhadap masalah-masalah kependidikan
dan bagaimana pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan perkembangan manusia muslim
dan umat islam. Di samping itu filsafat pendidikan Islam, juga merupakan studi
tentang penggunaan dan penerapan metode dan system filsafat Islam, dan
selanjutnya memberikan arah dan tujuan yang jelas terhadap pelaksanaan
pendidikan umat islam.
Dan filsafat pendidikan
menurut Muzayyin Arifin pada hakikatnya adalah konsep berfikir tentang
kependidikan yang bersumberkan atau berlandaskan ajaran-ajaran agama islam
tentang hakikat kemampuan manusia untuk dapat dibina dan dikembangkan serta
dbimbing menjadi manusia muslim yang seluruh pribadinya dijiwai oleh ajaran islam.
Jadi filsafat Pendidikan
Islam, bersifat tradisional dan kritis. Hal ini sejalan dengan apa yang
dikemukakan oleh Imam Barnadib dalam “Filsafat pendidikan-nya”, bahwa filsafat
pendidikan itu mempunyai dua corak, yaitu filsafat tradisional dan filsafat
kritis. Filsafat tradisional adalah filsafat sebagaimana adanya, sistematika,
jenis serta alirannya sebagaimana di jumpai dalam sejarah. Sehingga ketika
diajukan pertanyaan-pertanyaan, maka jawaban yang diperlukan ada dan melekat
pada masing-masing jenis dan aliran tersebut. Berbeda dengan filsafat kritis,
pertanyaan-pertanyaan yang di ajukan dapat di susun dan dilepaskan dari ikatan
waktu (historis) dan usaha mencari jawaban yang diperlukan dapat memobilisasikan
berbagai aliran yang ada, dan dicari dari masing-masing aliran, diambilnya dari
jenis masalah yang bersangkutan dengan aliran yang bersangkutan.
A.
Filsafat Pendidikan Islam dalam
Tinjauan Ontologis
Persoalan
ontologis sebagai salah satu cabang dari filsafat yang mencari dan menemukan
hakikat dari sesuatu yang ada dan merupakan persoalan filsafat yang paling tua.
Hal itu barangkali bermula karena kehidupan manusia adalah di lahirkan dan
berada dalam lingkungan yang ada sebelumnya tanpa campur tangan sedikitpun
darinya. Secara individual, seseorang lahir oleh proses di luar dirinya, ia
sudah ditentukan dan mau tidak mau harus menerima keadaan apa adanya, ia lahir
pada waktu, tempat, dan keadaan yang tidak mungkin ia pilih sebelumnya,
demikian juga jenis kelamin yang melekat pada dirinya serta ibu yang
mengandungnya, semuanya itu sama sekali bukan pilihan dirinya sendiri.
Sejalan
dengan perkembangan pemikirannya, usaha pencarian terhadap hakikat sesuatu yang
ada (ontologi) akan memberikan makna terhadap kehidupannya sendiri, yang hanya
dapat berlangsung di tengah-tengah komunikasi dan interaksi yang kompleks
dengan berbagai yang ada dalam kehidupannya itu. Melalui pemahamannya tentang
hakikat yang ada, maka seseorang dapat menempatkan dirinya pada posisi yang
tepat dalam mewujudkan hubungan komunikasi dan interaksi dengan yang ada di
sekitarnya, sehingga dapat berjalan secara lebih baik.
a.
Yang Ada (Being)
Apakah hakikat sesuatu yang ada itu diciptakan, atau ada
dengan sendirinya, jika diciptakan siapa yang menciptakan dan bagaimana proses
penciptaan itu berlangsung dan jika ada dengan sendirinya, apakah mungkin?
Dalam
pengalaman kehidupan, tidak ada yang ada secara sendiri, demikian juga
halnya, tidak ada yang ada secara kebetulan, karena yang disebut
kebetulan pada dasarnya ada oleh adanya proses yang ada di luar dirinya yang
tidak ia ketahui, sehingga ia mengatakan ada itu, ada secara kebetulan. maka
pada prinsipnya ada dua ada, yaitu ada yang menciptakan dan ada
yang diciptakan, ada yang menyebabkan dan ada yang di akibatkan.
Persoalan
muncul ketika terjadi konflik antara berbagai yang ada, terutama antara yang
ada yang bersandar pada manusia (yang manusiawi), sebagai contoh adalah konflik
antara cinta manusia dengan cinta Illahi, atau antara natural dan kultural.
Dalam kenyataannya, cinta manusia seringkali berlawanan dengan cinta Illahi
yaitu dalam dataran normatif sehingga cinta manusia dalam aktualisasinya
berlawanan dengan hukum agama. Demikian juga halnya, kultur manusia berlawanan
dengan alam (nature), dan dalam kenyataan hidup dpat dilihat bagaimana
kultur merusak nature, seperti yang terjadi dalam indutrialisasi yang
merusak lingkungan hidup.
Dalam
konsep filsafat Islam, dengan pendekatan yang rasional transedental, maka
konflik-konflik itu adalah wajar sebagai wujud ketegangan eksistensi manusia
berhadapan dengan eksistensi Illahi, dan pasti manusia tidak bisa menghancurkan
atau meniadakan sama sekali eksistensi Illahi itu.
Rasional transedental menegaskan bahwa pada hakikatnya
otoritas manusia (kultur) terhadap alam (nature) tidaklah mutlak, karena
manusia sama sekali tidak terlibat sedikitpun dalam penciptaan alam (nature)
itu, bahkan pada satu sisi fisik manusia pada dasarnya justru menjadi bagian
dari alam itu. Oleh karena itu merusak alam dapat di pandang sebagai tindakan
merusak dirinya sendiri, merusak sumber kehidupannya sendiri, karena hidup dan
kehidupan manusia ada dan bergantung pada alam.
Seharusnya
kultur sebagai wujud eksistensi kreatif dari diri manusia yang melahirkan
kesejahteraan dan kemakmuran bersama, dan merupakan harmonisasi dengan alam.
Jika Tuhan menciptakan kegelapan, manusia menciptakan pelita penerang, jika
Tuhan menciptakan lautan, manusia menciptakan kapal untuk bekerja dan berekreasi
membangun imajinasi kreatif, sehingga menjadikan kehidupan manusia lebih
nyaman, indah, dan damai. QS. Huud: 61 menegaskan:
61. ………Dia telah menciptakan kamu dari
bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya[726], karena itu mohonlah
ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya, Sesungguhnya Tuhanku Amat dekat
(rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya)."
[726] Maksudnya: manusia
dijadikan penghuni dunia untuk menguasai dan memakmurkan dunia.
b.
Yang Nyata (Realitas)
Filsafat
Islam memandang realitas pada hakikatnya adalah spiritual. Dalam prinsip
metafisika Islam, realitas berpusat dan berasal dari Allah. Dialah sang pemberi
segala sesuatu, yang merupakan sebab hakiki dari setiap kejadian. Prinsip ini
mengarah pada aspek fundamental dari spiritual Islam, yaitu bahwa segala
sesuatu yang mengitari kita, semua realitas materi atau kejadian merupakan
pelaksanaan efektifitas kekuasaanNYA.
Hakikat
spiritual dari realitas terdapat pada adanya dinamika dan perubahan, yang secara
kodrati selalu terjadi dan akan terus terjadi, dan merupakan suatu sunnatullah
yang tidak akan pernah berubah. Oleh karena itu, realitas harus didekati secara
dinamis dengan arif, agar tidak terjebak pada klaim mutlak-mutlakan, dan
membanggakan apa yang ada pada dirinya, yang seringkali justru akan mempersulit
keadaan.
QS. Ar-ruum: 32,
menegaskan :
32. Yaitu orang-orang
yang memecah-belah agama mereka[1169] dan mereka menjadi beberapa golongan.
tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.
[1169]
Maksudnya: meninggalkan agama tauhid dan menganut pelbagai kepercayaan menurut
hawa nafsu mereka.
c.
Esensi dan Eksistensi
Dalam
setiap yang ada baik yang nyata maupun yang tidak nyata, selalu ada dua sisi di
dalamnya, yaitu sis esensi dan eksistensi. Bagi yang ghoib sisi yang nampak
adalah eksistensi, sedangkan bagi yang ada yang konkret, sisi yang Nampak bisa
kedua-duanya, yaitu esensi dan eksistensi. Bagi kehidupan manusia, yang penting
adalah eksistensinya seperti kayu akan lebih bermakna ketika sebuah kayu
mempunyai eksistensi sebagai meja kursi.
Filsafat
Islam memandang pentingnya tindakan (amal shaleh) daripada gagasan spekulatif.
Persoalan esensi di pandang selasai, karena pada hakikatnya esensi akan kembali
dan berpusat pada Allah, karena Allah yang menciptakan segala sesuatu yang ada
dalam kehidupan ini dan eksistensi manusia berada dalam keselarasan dan
keseimbangan dengan hukum-hukum alam, hukum akal sehat, dan hukum agama.
d.
Hakikat Kemajemukan (Pluralitas)
Dalam
konsep filsafat Islam, konflik dan ketegangan pluralitas pada hakikatnya
sesuatu yang alamiah dan wajar saja, dan setiap konflik harus disikapi dengan
bijak, sehingga dapat dikembangkan untuk mencari bentuk-bentuk sintetik yang
baru, dimana konflik menjadi basis pertumbuhan untuk memunculkan bentuk-bentuk
kehidupan yang baru yang lebih baik.
e.
Hakikat Perubahan
Filsafat
Islam memandang perubahan kehidupan kesemestaan itu pada hakikatnya merupakan
sunnatullah yang mekanismenya terkendali dalam hukum-hukum alam yang ditetapkan
sejak proses penciptaan terjadi. Sedangkan perubahan yang berkaitan dengan
eksistensi manusia sepenuhnya menjadi tanggung jawab manusia sendiri. Manusia
telah dibekali kemampuan untuk mengatasi persoalan kebudayaan, baik secara
internal yang berkaitan dengan kemampuan berfikir menyusun konsep-konsep,
maupun eksternal yaitu alam semesta yang menyediakan bahan dan kitab suci
sebagai rujukan moralitas dan spiritualitas.
B.
Filsafat Pendidikan Islam dalam
Tinjauan Epistemologi
Epistemologi
adalah cabang filsafat yang membicarakan mengenai hakikat ilmu, dan ilmu
sebagai proses adalah usaha pemikiran yang sistematik dan metodik untuk
menemukan prinsip kebenaran yang terdapat pada suatu objek kajian ilmu
a.
Objek Kajian Ilmu
Dalam
konsep filsafat islam, objek kajian ilmu itu adalah ayat-ayat Tuhan sendiri,
yaitu ayat-ayat Tuhan yang tersurat dalam kitab suci Al-Qur’an. Kajian terhadab
kitab suci dan kembali melahirkan ilmu agama, sedangkan kajian terhadap alam
semesta, dalam dimensi fisik atau materi melahirkan ilmu alam dan ilmu pasti.
b.
Cara memperoleh ilmu
Dalam
konsep filsafat Islam, ilmu bisa diperoleh melalui dua jalan yaitu jalan kasbi
dan ladunni. Jalan kasbi adalah cara berfikir sistematik dan metodik yang
dilakukan secara konsisten dan bertahap melalui pengamatan, penelitian,
percobaan, dan penemuan. Sedangkan jalan ladunni adalah melalui proses
pencerahan oleh hadirnya cahaya Illahi dalam qalb, seakan-akan orang tersebut
memperoleh ilmu dari Tuhan secara langsung.
c.
Kebenaran Ilmu
Dalam
konsep filsafat Islam, kebenaran sesungguhnya dating dari Tuhan, melalui
hukum-hukum yang sudah ada dan di tetapkan pada setiap ciptaanNya, yaitu dalam
alam semesta, manusia, Al-Qur’an. Semua itu merupakan ayat-ayat Tuhan yang
menjadi sumber kebenaran yang terkandung dalam sunnatullah: hukum alam, hukum
akal sehat, dan juga hukum agam (moralitas).
d.
Tujuan Ilmu
Dalam
konsep Filsafat Islam, ilmu pada hakikatnya merupakan perpanjangan dan
pengembangan ayat-ayat Allah, yang merupakan eksistensi kebesaranNya, dan
manusia di wajibkan untuk berfikir tentang ayat-ayat Allah itu, untuk tujuan
yang tidak bertentangan dengan ajaran-ajaranNya, tidak untuk merusak dan
melahirkan kerusakan dalam kehidupan bersama, karena akibat buruknya akan juga
menimpa dirinya sendiri.
e.
Ilmu dan Etika
Dalam
pandangan Filsafat Islam, kebenaran dan ilmu tidak boleh berada di bawah
kekuasaan hawa nafsu, karena akan melahirkan kerusakan. Dengan demikian etika ilmu adalah keberpihakan kepada
kebenaran, pembebasan manusia dan kemandirian artinya tidak terkooptasi oleh
system yang menindas.
f.
Filsafat Pendidikan Islam dalam
Tinjauan Aksiologis
Filsafat
pendidikan Islam adalah ilmu normative, oleh karena itu diorientasikan kepada
nilai, baik yang bersifat insaniyah maupun illahiyah.
DAFTAR PUSTAKA
Zuhairini, Filsafat Pendidikan
Islam, Jakarta: Bina Aksara, 1991.
H. M. Arifin, Filsafat Pendidikan
Islam, Jakarta: Bina Aksara, 1984, cet. ke-4
Asy’arie, Musa, Filsafat Islam
Sunnah Nabi Dalam Berfikir, Yogyakarta: Lesfi, 2002.
Thoha, Chabib, dkk., Reformulasi
Filsafat Pendidikan Islam, Pustaka Pelajar, Tarbiyah IAIN Walisongo
Semarang, 1996.
![lintasberita](http://www.lintasberita.com/buttons_lb/lintasberita-100x20.gif)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar